Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset merupakan instrumen hukum penting yang perlu segera diselesaikan pembahasannya melalui mekanisme pembuktian terbalik
"RUU Perampasan Aset saya kira suatu hal yang segera harus diproses karena itu sebagai bentuk jalan tepat untuk merampas aset. Ini memang pilihan yang pahit, tetapi dampaknya luar biasa bagi negara," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.
Oleh karena itu, kata dia, RUU Perampasan Aset harus disusun secara objektif karena dampaknya bisa menyasar pada semua orang.
Menurut dia, hal itu disebabkan potensi cakupan subjek yang terlalu luas, tidak hanya menyasar pejabat negara, juga pihak swasta.
"Jadi jangan sampai hanya untuk pegawai negeri atau pejabat negara. Di luar itu juga harus diperhatikan," katanya menegaskan.
Ia mengatakan ada dua hal pokok harus diperhatikan, yakni kejelasan subjek hukum yang menjadi sasaran dan konsep pembuktian yang berimbang.
Dengan demikian, kata dia, setiap pihak harus diberi kesempatan yang cukup untuk membuktikan.
"Jangan sampai hanya main rampas begitu saja," katanya.
Ia mengatakan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, perampasan itu idealnya dilakukan di depan namun sekarang ini di belakang atau setelah putusan.
Akan tetapi dalam RUU tersebut, kata dia, in rem --sebuah proses atau tindakan hukum yang fokus pada suatu benda atau aset, bukan pada orangnya, untuk menyelesaikan hak atau kepentingan terkait benda tersebut-- perampasan aset yang tidak terkait dengan putusan pidana.
"Itu yang potensi harus hati-hatinya seperti itu, semangatnya oke, tapi harus objektif," katanya.
Lebih lanjut, Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu mengusulkan agar RUU Perampasan Aset dikecualikan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena pembuktian dalam KUHAP hanya untuk tersangka itu sendiri.
Sementara dalam RUU Perampasan Aset, kedua belah pihak, baik tersangka maupun negara, sama-sama membuktikan.
"Pembuktian RUU Perampasan Aset itu dikecualikan dari KUHAP. Ini 'kan sama-sama membuktikan, artinya tersangka juga punya nilai bukti, kemudian negara punya bukti, sehingga berimbang," katanya menjelaskan.
Oleh karena keterangan tersangka memiliki nilai bukti yang sama, kata dia, dalam RUU Perampasan Aset hendaknya ada pembuktian terbalik, sehingga lebih efektif dan adil dalam proses perampasan aset.
Dengan pembuktian terbalik, lanjut dia, setiap pihak memiliki kesempatan yang sama untuk membuktikan kepemilikan aset.
"Jadi dalam RUU Perampasan Aset, nafasnya pembuktian terbalik. Kalau dulu 'kan pembuktian terbalik tidak pernah muncul karena memang politik hukum, namun sekarang, kalau bisa, dalam RUU Perampasan Aset mencantumkan tentang pembuktian terbalik," kata Prof Hibnu.

