Purwokerto (ANTARA) - Suasana haru menyelimuti Auditorium Ukhuwah Islamiyah, Kampus I Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (20/9), saat seribuan mahasiswa dari berbagai program studi dikukuhkan sebagai wisudawan dalam Wisuda Ke-77.
Dari seribuan toga hitam yang memenuhi ruangan, kisah seorang mahasiswi penyandang disabilitas, Eprisa Nova Rahmawati, mencuri perhatian dan menghadirkan inspirasi bagi banyak orang. Dia pun lulus dengan pujian besar (magna cum laude) karena mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,77.
Perempuan asal Desa Panusupan, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara, itu resmi menyandang gelar sarjana komputer dari Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknik dan Sains UMP. Dengan kursi roda yang setia menemaninya sejak remaja, ia menapaki perjalanan penuh liku, hingga tiba di momen kelulusan yang sangat bersejarah.
Perjalanan Eprisa tidak dimulai dari kemudahan. Sejak duduk di bangku kelas tiga SMP, hidupnya berubah drastis, ketika ia divonis mengalami kelumpuhan akibat penyumbatan pada sumsum tulang belakang yang memutus saraf motoriknya. Kondisi itu membuatnya harus menggunakan kursi roda dalam aktivitas sehari-hari.
"Waktu itu dunia saya seperti runtuh. Saya sempat merasa tidak punya masa depan," kata Eprisa, mengenang masa itu
Meskipun demikian, semangatnya untuk tetap berjuang perlahan bangkit berkat doa dan dorongan orang tua. Kedua orang tuanya, Slamet Riyadi dan Sulasih, yang berprofesi sebagai petani, tak pernah lelah mendampingi, di tengah keterbatasan ekonomi.
Kisah perjuangan Eprisa mendapat titik terang ketika dia bertemu langsung dengan Rektor UMP Prof Dr Jebul Suroso empat tahun silam. Kala itu, sang rektor bersama rombongan berkunjung ke kampung halamannya di Banjarnegara, dan pertemuan itu menjadi awal lahirnya secercah harapan.
Rektor itu datang ke rumah Eprisa dan memberi motivasi. Rektor mengatakan bahwa kehidupan harus terus diperjuangkan dan dimenangkan. Saat itu juga, Eprisa diberi beasiswa penuh. Itu momentum yang membuat dia kembali percaya diri untuk melanjutkan kuliah.
Bagi Prof Jebul Suroso, perjumpaan dengan Eprisa tidak pernah terlupakan. Dia masih ingat betul saat pertama kali bertemu. Eprisa penuh semangat meski tidak bisa berdiri dari kursinya. Kini, dia membuktikan bahwa keterbatasan tidak menghalangi prestasi.

Rektor menegaskan bahwa UMP berkomitmen menjadi kampus ramah disabilitas dan inklusif. Apapun agamanya, latar belakangnya, bahkan kondisi fisiknya, semua bisa belajar nyaman di UMP. Keberhasilan Eprisa adalah bukti nyata bahwa dukungan lingkungan bisa mengantarkan mahasiswa mencapai cita-cita.
Selama menempuh pendidikan, Eprisa tidak pernah benar-benar sendiri. Ia dikelilingi teman-teman yang selalu siap membantu tanpa pamrih.
Mereka sering membantu mendorong kursi roda saat jalanan tidak rata, mengangkat kursi roda ketika ada kegiatan di luar kampus, atau sekadar menunggu Eprisa agar bisa berjalan bersama. Lebih dari itu, mereka selalu menjadi penyemangat ketika Eprisa lelah.
Menurut dia, dukungan teman-teman membuatnya merasa setara. Di mata mereka, dia bukan disabilitas yang harus dikasihani, melainkan diperlakukan sebagai teman biasa, sehingga hal itu membuat Eprisa merasa normal, diterima, dan dihargai.
Oleh karena itu, dia menyebut para sahabatnya sebagai "malaikat tak bersayap" yang dikirim Tuhan untuk mendampingi perjalanan panjangnya.
Ibunda Eprisa, Sulasih mengaku kerap menginap hingga berminggu-minggu di Purwokerto demi memastikan putrinya bisa mengikuti perkuliahan dengan lancar.
Empat tahun itu bukan waktu singkat, sehingga kadang dia hampir menyerah, tapi dia selalu ingat, tanpa sekolah Eprisa tidak punya teman dan masa depan. Maka meski jauh, meski capek, si ibu terus mendampingi.
Dia mengharapkan sang putri bisa meraih pekerjaan yang lebih baik dan bisa membuktikan bahwa disabilitas tidak ketinggalan, bahkan bisa menjadi pemimpin atau tokoh penting dengan karakternya.
Inovasi untuk petani
Meskipun menghadapi keterbatasan fisik, Eprisa membuktikan dirinya mampu berkontribusi melalui karya akademik. Dalam skripsinya, dia mengembangkan aplikasi berbasis kamera untuk mendeteksi penyakit pada daun tomat.
Dengan aplikasi tersebut, petani pemula dapat lebih mudah mengetahui kondisi tanaman hanya dengan memindai daun menggunakan kamera gawai.
Tujuan dia dengan penelitian itu untuk memudahkan petani agar bisa langsung mengenali penyakit tanaman secara praktis.
Inovasi itu lahir dari keprihatinannya melihat banyak petani kesulitan mengenali gejala penyakit tanaman. Dengan pendekatan teknologi, diharapkan hasil pertanian lebih produktif dan kesejahteraan petani meningkat.
Selain berprestasi di bidang akademik, Eprisa juga menyalurkan bakatnya dalam seni lukis. Ia pernah menggelar pameran tunggal berisi 20 karya yang merefleksikan pengalaman hidup serta pergulatan batinnya.
Bagi Eprisa, melukis menjadi terapi karena lewat kuas dan warna, dia bisa menyalurkan rasa lelah, harapan, juga semangat.
Rektor UMP Prof Jebul mengatakan karya seni Eprisa adalah bukti lain bahwa kreativitas tidak terbatas oleh kondisi fisik. Eprisa membuktikan bahwa ketika keterbatasan diolah dengan tekad dan kreativitas, hasilnya adalah kemenangan yang tak terduga.
Kisah Eprisa memberi warna tersendiri bagi Wisuda Ke-77 UMP yang diikuti ribuan mahasiswa. Dia menjadi cermin bagaimana keterbatasan bukan penghalang untuk meraih mimpi, selama ada tekad, doa, dan dukungan lingkungan.
Kisah Eprisa mengajarkan kita bahwa pendidikan bukan hanya soal ilmu, tetapi juga tentang keberanian, solidaritas, dan kemanusiaan. UMP akan terus menjadi rumah yang ramah untuk semua.
Momentum paling menyentuh terjadi ketika Eprisa mendapat kesempatan menyampaikan pidato mewakili seluruh wisudawan. Dengan suara lantang, ia mengungkap rasa syukur, terima kasih kepada dosen, sahabat, orang tua, dan terutama kepada dirinya sendiri.
"Terima kasih untuk hati yang lebih memilih bangkit daripada menyerah, meskipun berkali-kali terjatuh dan merasa tidak ada lagi kekuatan untuk melanjutkan. Terima kasih untuk keberanian memilih bangga menjadi berbeda daripada menyembunyikannya, dan memilih merayakan perbedaan ini daripada menyesalinya seumur hidup," katanya
Pidato itu menjadi refleksi perjalanan hidupnya. Dia menutup dengan lantunan bait lagu "Manusia Kuat" yang dipopulerkan oleh Tulus dan menjadi penguatnya di masa-masa sulit. Seisi auditorium larut dalam keharuan dan beberapa turut menyenandungkan lagu itu.
Meskipun resmi menyandang gelar sarjana, perjalanan Eprisa belum usai. Dia bercita-cita melanjutkan karier di bidang desain antarmuka (UI/UX) dan membuka kesempatan studi lanjut ke jenjang magister.
Setelah lulus, dia ingin fokus bekerja, menambah ilmu, dan mulai menerima pekerjaan freelance di bidang teknologi.
Di ujung kisahnya, Eprisa menitipkan pesan sederhana, namun kuat, "Keterbatasan bukan alasan untuk berhenti bermimpi. Setiap orang punya potensi, dan setiap mimpi layak diperjuangkan".
Pesan itu menggaung dari auditorium UMP hingga ke hati para hadirin, menjadikan Wisuda Ke-77 bukan sekadar perayaan akademik, melainkan perayaan atas kemenangan manusia melawan keterbatasan.
Baca juga: Mahasiswi penyandang disabililtas lulus dengan pujian besar di UMP

