Dalam siaran pers Solidaritas Para Pekerja Tambang Nasional (Spartan) yang disampaikan oleh Juan Forti Silalahi kepada Antara Jateng, Senin, menilai imbauan agar pekerja tambang merebut dan menduduki perusahaan-perusahaan tambang nasional menunjukkan Kementerian Tenaga Kerja tidak memahami secara utuh persoalan sebenarnya yang terjadi,
Ditegaskan bahwa PHK massal timbul bukan karena konflik antara pekerja tambang dan pengusaha, melainkan lebih disebabkan ketidakpastian aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Pembangunan smelter yang menjadi kewajiban turunan dari kebijakan hilirisasi mineral dalam pemahaman kami bukanlah persoalan utama bagi pengusaha nasional, katanya.
Ketidaksiapan Pemerintah membangun powerplant (listrik) dan menyediakan infrastruktur menjadi kendala utama. Jika benar Pemerintah siap mengambil alih pembangunan smelter, menurut dia, harusnya itu dilakukan sejak saat ini, dan sudah terencana sejak UU diterbitkan.
Bukan kemudian baru melakukan persiapan dan menjadikan pekerja tambang sebagai alat negara untuk mengambil alih perusahaan tambang. Ini artinya, kata dia, Pemerintah justru bertepuk tangan atas konflik sosial yang dialami pekerja tambang dan mengambil keuntungan diatas darah, airmata,dan penderitaan pekerja tambang beserta keluarganya.
Sebanyak 585.557 orang pekerja yang di-PHK pasca-Peraturan Pemerintah Nomor 01 Tahun 2014 bukan sekadar angka, melainkan itu jumlah pekerja yang di-PHK dan harus menanggung akibat langsung dari kebijakan pemerintah saat ini. Jumlah itu akan bertambah jika dikalikan beban yang harus ditanggung tiap pekerja, istri/suami, anak, dan orang tua dari para pekerja tambang yang turut menderita akibat kepala keluarga kehilangan sumber penghidupan.
Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar, lanjut dia, yang menjadi atasan langsung Faisol Reza seharusnya bisa berbicara sebagai pemangku kebijakan, bukan provokator yang hanya bisa memicu konflik dan mengadu domba pekerja dengan pengusaha.
Ketidakmampuan dan kesalahan pemerintah dalam mengelola SDA demi kemakmuran rakyat Indonesia termasuk di dalamnya para pekerja tambang tidak bisa dilempar begitu saja menjadi kewajiban rakyat untuk merebut pengelolaan sumber daya alam (SDA) dari tangan para pengusaha.
Untuk itu, kami meminta agar Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar dan staf khususnya Faisol Reza dapat bertanggung jawab atas ucapannya yang provokatif tersebut dan berpotensi memicu kerawanan social, katanya.
Konflik lanjutan yang timbul dari pernyataan tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan karena keluar dari mulut kementerian negara yang merupakan pemangku kebijakan di Republik ini.
Spartan meminta kepada Pemerintah agar lebih sensitif dalam mempertimbangkan segala aspek sebelum regulasi mengenai pelarangan ekspor mineral mentah ini diterbitkan, apalagi jelas-jelas jika regulasi ini resmi diberlakukan, akan merampas hak-hak pekerja kami sebagai warga negara pembayar pajak untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana terkmaktub serta dilindungi oleh konstitusi (Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945).
Untuk itu bersama ini kami sampaikan Tiga Seruan (Trisera) Spartan:
1. Pemerintah harus meninjau ulang kembali regulasi pelarangan ekspor mineral mentah agar tidak mengorbakan para pekerja tambang nasional.
2. Bagi seluruh pekerja tambang nasional di seluruh Indonesia agar bersatu dan menghimpun seluruh kekuatan untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
3. Segera nasionaliasi seluruh aset tambang dan migas di seluruh Indonesia.