Semarang (ANTARA) - Koalisi Ojol Nasional (KON) menyuarakan
keresahan mendalam para mitra pengemudi atas berbagai kebijakan dan narasi publik yang dinilai menyesatkan, memecah belah, dan mempolitisasi keberadaan ojek online (ojol).
Desakan itu disuarakan pada aksi di Kantor Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), Jakarta, Kamis, yang diikuti ratusan pengemudi ojol dari berbagai komunitas.
Ketua Presidium KON Andi Kristianto, dalam pernyataan, di Semarang, Minggu, menyampaikan bahwa isu pengemudi ojol belakangan ini bukan lagi sekadar persoalan kesejahteraan atau perlindungan, tapi telah berubah menjadi alat komoditas politik oleh sejumlah pihak yang tidak memahami akar persoalan di lapangan.
"Yang perlu kita ketahui, ojol sedang tidak baik-baik saja. Banyak kepentingan elite
yang memanfaatkan ojol dengan cara membelah-belah kami demi kepentingan
pribadi dan kelompoknya," katanya.
Menurut dia, isu-isu seperti tunjangan hari raya (THR), jaminan pensiun, hingga desakan perubahan status menjadi
pekerja tetap, kerap muncul bukan dari aspirasi asli komunitas pengemudi, tapi digulirkan oleh kelompok tertentu demi pencitraan atau kepentingan elektoral.
Pengemudi, kata dia, kerap dijadikan panggung, tetapi tidak pernah dilibatkan secara sejati dalam proses pengambilan keputusan.
"Kami bukan panggung politik. Kami bukan properti narasi. Jangan jadikan driver ojol
sebagai alat untuk meraih dukungan, menambah suara, atau memperkuat posisi
tawar di politik nasional," katanya.
Sejak awal, ia mengatakan bahwa para pengemudi sadar bahwa hubungan kerja mereka bersifat kemitraan, dan bukan sebagai buruh formal.
Namun, selama ini, sistem kemitraan itu
belum didukung oleh regulasi yang memadai sehingga menempatkan driver dalam posisi yang serba tidak pasti.
"Kami tahu dari awal, saat mendaftar, status kami adalah mitra. Tapi yang kami
sayangkan, sampai sekarang belum ada aturan yang menjamin kemitraan ini adil
dan seimbang. Kami tidak ingin jadi buruh, tapi juga tidak mau terus-menerus jadi
mitra yang dirugikan," katanya.
Dalam konteks tersebut, Andi menilai bahwa narasi elite soal perubahan status kerja pengemudi bukanlah solusi, melainkan jebakan yang justru berpotensi merugikan banyak pihak, khususnya driver yang sudah tidak memenuhi kriteria usia kerja formal.
"Kalau dipaksa masuk ke sistem ketenagakerjaan formal, bagaimana nasib driver berusia lanjut? Apakah mereka harus tersingkir? Apakah keluarga mereka akan
tetap bisa bertahan?" katanya.
Ia juga menyinggung soal pernyataan-pernyataan publik dari pejabat negara yang dianggap menyesatkan dan memicu kebingungan di kalangan driver.
"Kami tidak butuh janji kosong. Yang kami perlukan adalah sikap yang konsisten
dan bertanggung jawab. Jangan membuat gaduh dengan ucapan tanpa dasar.
Kalau ucapan sudah dibuat di ruang publik, maka seharusnya punya keberanian
untuk dievaluasi secara terbuka," katanya.
Selain itu, ia juga mengingatkan agar Kementerian Ketenagakerjaan tidak memaksakan para mitra pengemudi untuk masuk dalam kerangka hubungan industrial yang tidak sesuai dengan praktik kemitraan digital.
"Kami minta jangan paksakan kami jadi buruh, serikat, atau apapun yang tidak
sesuai dengan realitas kami di lapangan. Kami bukan bagian dari struktur kerja
konvensional. Kami butuh solusi yang sesuai zaman, bukan copy-paste dari UU
lama," pungkasnya.