Sistem pengecekan data KPU berjalan baik terkait temuan WNA masuk DPT
Masuknya KTP-el dalam DPT jangan sampai menimbulkan kecurigaan yang berujung fitnah terhadap penyelenggara pemilu....
Semarang (ANTARA) - Di balik pemberitaan mengenai warga negara asing (WNA) masuk daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019, sistem pengecekan data pemilih KPU dinilai relatif baik. Pasalnya, kasus ini terungkap berkat informasi dari masyarakat.
Kendati demikian, kata dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Dr. Pratama Persadha, perlu mendapatkan pengamanan lebih agar tidak menjadi bulan-bulanan pihak tidak bertanggung jawab.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mengungkapkan 103 WNA pemilik KTP elektronik yang masuk dalam daftar pemilih tetap Pemilu 2019 berasal dari 29 negara.
Berdasarkan informasi rekapitulasi daftar 103 WNA dalam DPT yang disampaikan Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh di Jakarta, Rabu (6/3), masing-masing WNA itu berasal dari Afrika Selatan satu orang, Amerika Serikat (7 orang), Australia (5), Bangladesh (3), Belanda (8), Cina (4), Filipina (4), India (1), Inggris (4), Italia (2), Jepang (18), Jerman (6), Kanada (2), dan Korea Selatan (4).
Selanjutnya, tujuh warga negara Malaysia, Mauritius (1 orang), Pakistan (1), Polandia (1), Portugal (1), Perancis (3), Singapura (3), Spanyol (1), Swiss (7), Taiwan (3), Tanzania (1), Thailand (2), Turki (1), Vietnam (1), dan Yunani (1).
Dukcapil telah memberikan 103 nama WNA itu kepada KPU RI untuk dihapus dari DPT. Dukcapil tidak memberikan keseluruhan data WNA pemilik KTP elektronik yang berjumlah 1.680 orang karena nama WNA yang harus dihapus dari DPT hanya 103 nama.
Anggota KPU RI Viryan Azis menyebutkan 103 WNA itu tersebar di 17 provinsi dan 54 kabupaten/kota. KPU siap menghapus seluruh nama tersebut dari DPT Pemilu 2019.
Akar Masalah
Untuk menuntaskan persoalan data WNA masuk daftar pemilih tetap, penyelenggara pemilu perlu mencari akar masalahnya. Setidaknya menjawab keingintahuan pubik terkait dengan latar belakang masuknya orang asing dalam DPT. Kenapa bisa terjadi?
Penjelasan mengenai itu penting agar tidak menimbulkan kecurigaan yang berujung fitnah terhadap penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu RI), pasangan calon presiden/wakil presiden, peserta pemilu anggota legislatif, maupun pemerintah.
Apa yang telah dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, tampaknya patut ditiru oleh penyelenggara pemilu di daerah lain.
Begitu menerima informasi Sleman merupakan salah satu dari 54 kabupaten/kota yang DPT-nya terdapat WNA, bawaslu setempat langsung menelusuri alamat orang asing yang namanya tertera dalam daftar pemilih tetap.
Ketua Bawaslu Kabupaten Sleman Abdul Karim Mustofa lantas menginformasikan kepada wartawan, Rabu (6/3), bahwa Yokosuka Tomomi (48) yang tercatat dalam DPT Pemilu 2019 di daerah setempat masih berstatus warga negara Jepang. Orang asing ini beralamat di Jogotirto, Kecamatan Berbah.
Atas temuan tersebut, pihaknya memberikan rekomendasi ke KPU Kabupaten Sleman agar menjadi rekomendasi dalam rapat pleno daftar pemilih tetap tambahan (DPTb) pada tanggal 17 Maret 2019.
Bawaslu setempat juga menemukan 32 nama. Namun, pihaknya belum bisa memastikan nama itu merupakan WNA atau sudah menjadi warga negara Indonesia. Hal ini harus diverifikasi lebih lanjut.
Menjawab pertanyaan mengapa sampai orang asing itu masuk DPT? Ketua KPU Kabupaten Sleman Trapsi Haryadi mengungkapkan bahwa Yokosuka bisa masuk ke dalam DPT karena ada kesalahan saat menginput data.
Trapsi Haryadi menjelaskan bahwa suami Yokosuka berstatus warga negara Indonesia. Ketika mendata, kemungkinan petugas mengira yang bersangkutan sudah berstatus WNI. Namun, adanya temuan itu, pihaknya langsung menindaklanjutinya dengan mencoret nama Yokosuka dari DPT.
Tidak Terkait Peretasan
Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014 menegaskan bahwa masuknya 103 data KTP-el warga negara asing dalam DPT pemilu tidak terkait dengan peretasan.
Informasi yang diterima Pratama, KPU mengaku kemungkinan besar karena warna dan model KTP-el WNA dan WNI sangat mirip sehingga terinput. Hal ini menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada faktor luar, seperti peretasan, meski hal tersebut bisa saja terjadi.
Sebenarnya, kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC), WNA wajib ber-KTP-el ini sejak 2013.
Ketentuan itu termaktub di dalam Pasal 63 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan. Disebutkan bahwa penduduk warga negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el.
KTP-el warga negara asing, kata pakar keamanan siber ini, merupakan salah satu bentuk perwujudan sistem nomor identitas tunggal (single identity number). Sistem ini memungkinkan seorang WNA mendapatkan fasilitas pelayanan publik, seperti perbankan dan fasilitas kesehatan. Namun, WNA tidak memiliki hak untuk memilih.
Bedanya, KTP-el WNA tidak berlaku seumur hidup dan ada masa berlakunya, sedangkan KTP-el milik WNI berlaku seumur hidup. Isian tiga kolom yang tercantum dalam KTP-el milik WNA ditulis dalam bahasa Inggris. Ketiga kolom itu adalah kolom agama, status perkawinan, dan pekerjaan.
Meskipun masuknya data KTP-el WNA dalam DPT, salah satunya berkat informasi masyarakat melalui sistem pengecekan data KPU yang sudah berjalan baik, Pratama memandang perlu KPU menggandeng Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang memiliki kemampuan untuk pengamanan sistem elektronik lebih dalam.
Kendati demikian, kata dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Dr. Pratama Persadha, perlu mendapatkan pengamanan lebih agar tidak menjadi bulan-bulanan pihak tidak bertanggung jawab.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mengungkapkan 103 WNA pemilik KTP elektronik yang masuk dalam daftar pemilih tetap Pemilu 2019 berasal dari 29 negara.
Berdasarkan informasi rekapitulasi daftar 103 WNA dalam DPT yang disampaikan Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh di Jakarta, Rabu (6/3), masing-masing WNA itu berasal dari Afrika Selatan satu orang, Amerika Serikat (7 orang), Australia (5), Bangladesh (3), Belanda (8), Cina (4), Filipina (4), India (1), Inggris (4), Italia (2), Jepang (18), Jerman (6), Kanada (2), dan Korea Selatan (4).
Selanjutnya, tujuh warga negara Malaysia, Mauritius (1 orang), Pakistan (1), Polandia (1), Portugal (1), Perancis (3), Singapura (3), Spanyol (1), Swiss (7), Taiwan (3), Tanzania (1), Thailand (2), Turki (1), Vietnam (1), dan Yunani (1).
Dukcapil telah memberikan 103 nama WNA itu kepada KPU RI untuk dihapus dari DPT. Dukcapil tidak memberikan keseluruhan data WNA pemilik KTP elektronik yang berjumlah 1.680 orang karena nama WNA yang harus dihapus dari DPT hanya 103 nama.
Anggota KPU RI Viryan Azis menyebutkan 103 WNA itu tersebar di 17 provinsi dan 54 kabupaten/kota. KPU siap menghapus seluruh nama tersebut dari DPT Pemilu 2019.
Akar Masalah
Untuk menuntaskan persoalan data WNA masuk daftar pemilih tetap, penyelenggara pemilu perlu mencari akar masalahnya. Setidaknya menjawab keingintahuan pubik terkait dengan latar belakang masuknya orang asing dalam DPT. Kenapa bisa terjadi?
Penjelasan mengenai itu penting agar tidak menimbulkan kecurigaan yang berujung fitnah terhadap penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu RI), pasangan calon presiden/wakil presiden, peserta pemilu anggota legislatif, maupun pemerintah.
Apa yang telah dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, tampaknya patut ditiru oleh penyelenggara pemilu di daerah lain.
Begitu menerima informasi Sleman merupakan salah satu dari 54 kabupaten/kota yang DPT-nya terdapat WNA, bawaslu setempat langsung menelusuri alamat orang asing yang namanya tertera dalam daftar pemilih tetap.
Ketua Bawaslu Kabupaten Sleman Abdul Karim Mustofa lantas menginformasikan kepada wartawan, Rabu (6/3), bahwa Yokosuka Tomomi (48) yang tercatat dalam DPT Pemilu 2019 di daerah setempat masih berstatus warga negara Jepang. Orang asing ini beralamat di Jogotirto, Kecamatan Berbah.
Atas temuan tersebut, pihaknya memberikan rekomendasi ke KPU Kabupaten Sleman agar menjadi rekomendasi dalam rapat pleno daftar pemilih tetap tambahan (DPTb) pada tanggal 17 Maret 2019.
Bawaslu setempat juga menemukan 32 nama. Namun, pihaknya belum bisa memastikan nama itu merupakan WNA atau sudah menjadi warga negara Indonesia. Hal ini harus diverifikasi lebih lanjut.
Menjawab pertanyaan mengapa sampai orang asing itu masuk DPT? Ketua KPU Kabupaten Sleman Trapsi Haryadi mengungkapkan bahwa Yokosuka bisa masuk ke dalam DPT karena ada kesalahan saat menginput data.
Trapsi Haryadi menjelaskan bahwa suami Yokosuka berstatus warga negara Indonesia. Ketika mendata, kemungkinan petugas mengira yang bersangkutan sudah berstatus WNI. Namun, adanya temuan itu, pihaknya langsung menindaklanjutinya dengan mencoret nama Yokosuka dari DPT.
Tidak Terkait Peretasan
Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014 menegaskan bahwa masuknya 103 data KTP-el warga negara asing dalam DPT pemilu tidak terkait dengan peretasan.
Informasi yang diterima Pratama, KPU mengaku kemungkinan besar karena warna dan model KTP-el WNA dan WNI sangat mirip sehingga terinput. Hal ini menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada faktor luar, seperti peretasan, meski hal tersebut bisa saja terjadi.
Sebenarnya, kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC), WNA wajib ber-KTP-el ini sejak 2013.
Ketentuan itu termaktub di dalam Pasal 63 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan. Disebutkan bahwa penduduk warga negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el.
KTP-el warga negara asing, kata pakar keamanan siber ini, merupakan salah satu bentuk perwujudan sistem nomor identitas tunggal (single identity number). Sistem ini memungkinkan seorang WNA mendapatkan fasilitas pelayanan publik, seperti perbankan dan fasilitas kesehatan. Namun, WNA tidak memiliki hak untuk memilih.
Bedanya, KTP-el WNA tidak berlaku seumur hidup dan ada masa berlakunya, sedangkan KTP-el milik WNI berlaku seumur hidup. Isian tiga kolom yang tercantum dalam KTP-el milik WNA ditulis dalam bahasa Inggris. Ketiga kolom itu adalah kolom agama, status perkawinan, dan pekerjaan.
Meskipun masuknya data KTP-el WNA dalam DPT, salah satunya berkat informasi masyarakat melalui sistem pengecekan data KPU yang sudah berjalan baik, Pratama memandang perlu KPU menggandeng Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang memiliki kemampuan untuk pengamanan sistem elektronik lebih dalam.