Cilacap (ANTARA) - Sebuah tonggak sejarah baru dalam industri bahan bakar nasional lahir dari tepi pantai selatan Jawa, tepatnya di Kilang RU IV Cilacap, Jawa Tengah.
PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), resmi mengirimkan produk perdana Sustainable Aviation Fuel (SAF) berbahan baku minyak jelantah atau used cooking oil (UCO).
Pengiriman perdana pada Selasa (12/8) itu dilakukan setelah rangkaian panjang uji kualitas di laboratorium KPI Unit Cilacap dan Lemigas. Sebanyak 32 kiloliter SAF dikirim sebagai pasokan awal untuk penerbangan komersial maskapai Pelita Air Service pada 20 Agustus 2025, rute Jakarta–Denpasar.
Bukan sekadar transaksi niaga, momentum ini menandai hadirnya inovasi yang menggabungkan dua urgensi sekaligus: transisi energi rendah karbon dan pengelolaan limbah minyak goreng yang kerap terbuang.
Wakil Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Oki Muraza mengatakan langkah tersebut menunjukkan kemampuan teknologi dalam negeri mengolah bahan baku nabati dan limbah menjadi energi bersih.
“Kami akan terus meningkatkan kapasitas co-processing di kilang, termasuk Dumai dan Balongan, sehingga Indonesia siap menjadi regional hub untuk bahan bakar ramah lingkungan,” ujarnya.
Oki menyebut, produksi SAF berbasis minyak nabati Indonesia ---mulai dari kelapa sawit, nyamplung, hingga UCO--- telah mencapai persentase tertinggi dibandingkan penyedia teknologi global.
Bagi Oki, SAF dari Cilacap ini adalah salah satu “kado kemerdekaan” untuk Indonesia pada Agustus 2025. Hal itu memperkuat komitmen Pertamina mengurangi emisi di sektor penerbangan nasional.
Pertamina kini menjadi satu-satunya produsen SAF co-processing di ASEAN, bahkan berhasil melampaui kemampuan teknologi lisensor internasional dalam memproses UCO.
“Kita berani mengambil langkah strategis yang profitable dan berkelanjutan, dari level pekerja hingga manajemen puncak,” kata Oki.
Direktur Operasi KPI Didik Bahagia menguraikan kapasitas produksi SAF di Cilacap mencapai sekitar 1.200 kiloliter per hari dengan campuran 3 persen minyak jelantah. Kebutuhan bahan baku per hari berkisar 40 kiloliter UCO.
Sementara itu Direktur Utama KPI, Taufik Aditiyawarman, menambahkan kadar minyak jelantah dalam SAF saat ini berkisar 2,5–3 persen, sisanya minyak fosil. Proses pengolahan dilakukan di Green Refinery Cilacap pada unit Treated Distillate Hydro Treating (TDHT) menggunakan Katalis Merah Putih, hasil formulasi dan produksi dalam negeri oleh PT Katalis Sinergi Indonesia (KSI).
Produk ini telah memenuhi standar internasional ASTM D1655 dan DefStan 91-091, serta bersertifikasi International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) untuk skema CORSIA dari ICAO dan regulasi Uni Eropa.
“Ini menjadikan Pertamina SAF sebagai produk SAF pertama di Indonesia dan Asia Tenggara yang tersertifikasi resmi,” tegas Taufik.
Oleh karena pasokan minyak jelantah menjadi kunci kesinambungan bisnis, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Mars Legowo Putra mengatakan pengumpulan bahan baku produk SAF dilakukan melalui dua jalur, yakni ritel melalui SPBU dan grosir lewat asosiasi pengumpul.
Saat ini, 25 SPBU sudah ditetapkan sebagai titik pengumpulan UCO. Ke depan, lebih kurang 6.700 SPBU dan 6.000 pertashop di seluruh Indonesia akan dimanfaatkan sebagai pusat pengumpulan minyak jelantah.
Mars optimistis, pengalaman sukses pengembangan biosolar --yang kini mencapai porsi 40-50 persen bahan bakar terbarukan-- dapat menjadi model peningkatan kandungan SAF di masa depan.
Selain infrastruktur ritel, pengumpulan juga melibatkan masyarakat sekitar kilang melalui program tanggung jawab sosial lingkungan. Di Cilacap, 2.978 kepala keluarga ikut mengumpulkan minyak jelantah rumah tangga, disalurkan lewat bank sampah Beo Asri, serta dari lingkungan rumah dinas pekerja kilang.
Dengan demikian, produksi SAF menciptakan efek sirkular ekonomi, yakni limbah rumah tangga menjadi bahan bakar pesawat, riset katalis dalam negeri berkembang, peluang bisnis UCO terbuka, dan masyarakat mendapat manfaat ekonomi langsung dari pengumpulan minyak jelantah.
Proses ini juga meneguhkan penerapan prinsip People, Profit, Planet, di mana masyarakat, industri, dan lingkungan sama-sama diuntungkan.
Penggunaan SAF
Maskapai Pelita Air Service akan mencatat sejarah sebagai operator penerbangan komersial pertama di Indonesia yang menggunakan SAF berbasis minyak jelantah. Direktur Utama Pelita Air Dendy Kurniawan mengatakan penerbangan perdana pada 20 Agustus mendatang akan menjadi kampanye edukasi publik.
“Penumpang akan kami sampaikan bahwa mereka turut berkontribusi bagi bumi yang lebih baik,” ujarnya.
Penggunaan SAF dapat mengurangi emisi karbon hingga 84 persen dibandingkan avtur fosil. Dampaknya langsung terasa bagi industri penerbangan, yang menyumbang 2-4 persen emisi karbon global.
Inovasi produk SAF berbahan baku minyak jelantah atau UCO sejalan dengan peta jalan pemerintah menuju net zero emission (bebas dari emisi) pada 2060 atau lebih cepat. Pertamina SAF menjadi bagian dari ekosistem terintegrasi yang melibatkan KPI, Pertamina Patra Niaga, dan Pelita Air Service.
Komisaris Independen KPI Prabunindya Revta Revolusi menyebut SAF dapat meningkatkan daya tawar Indonesia di panggung internasional.
Hal itu karena saat sekarang hanya Indonesia yang memiliki avtur dengan kandungan SAF tertinggi di dunia, yaitu 2,5 persen.
Komisaris Utama Pertamina Mochamad Iriawan menegaskan pentingnya menjaga mutu produk dan memperluas produksi ke kilang lain. “Dumai dan Balongan akan menjadi simpul penting rantai pasok energi berkelanjutan,” katanya.
Pertamina menargetkan, keberhasilan tahap awal ini akan diikuti peningkatan kapasitas produksi, termasuk melalui pengiriman SAF dengan kapal sebanyak 1,7 juta liter untuk Bandara Soekarno-Hatta.
Bukan pemain baru
Pertamina bukan pemain baru dalam SAF. Sebelumnya, KPI telah memproduksi SAF berbasis minyak inti sawit (Refined, Bleached, and Deodorized Palm Kernel Oil atau RBDPKO), yang digunakan dalam uji terbang bersama Garuda Indonesia pada 2021 dan 2023.
Bedanya, SAF dari UCO kini membawa kandungan lokal dan keberlanjutan lebih kuat, karena bahan baku berasal dari limbah rumah tangga dan komersial yang dikumpulkan di dalam negeri.
Proses komersialisasi memerlukan kesiapan teknis dan administratif, termasuk sertifikasi keberlanjutan dari lembaga internasional. Pertamina dan Patra Niaga telah memperoleh sertifikat ISCC–CORSIA dan ISCC–EU, memastikan produk SAF diakui secara global.
Distribusi dilakukan dengan sistem mass balance, yakni mencampur SAF dengan avtur konvensional menggunakan infrastruktur distribusi yang sudah ada.
Ke depan, SAF berbasis minyak jelantah diharapkan menjadi standar baru dalam bahan bakar penerbangan nasional, sehingga mengurangi ketergantungan pada impor avtur fosil, dan membuka peluang Indonesia menjadi pemasok regional.
Bila ambisi ini tercapai, maka dari tetes minyak goreng bekas di dapur rumah tangga, Indonesia bisa menerbangkan pesawat berbahan bakar hijau yang mengangkasa membawa misi keberlanjutan.
Baca juga: Pertamina kirim perdana bahan bakar pesawat berbahan baku jelantah

