Semarang (ANTARA) - Hari ini tanggal 22 Juni Jakarta memasuki usia ke-498 tahun. Menuju ke-500 pada 22 Juni 2027 akan datang, Jakarta memasuki fase penting dalam lintasan sejarah.
Sejak berdiri sebagai Jayakarta tahun 1527, kota ini telah menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan berkembang sebagai simpul urban terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Lima abad perjalanan bukan sekadar penanda waktu, melainkan momentum untuk memaknai kembali posisi Jakarta sebagai kota budaya, kota global, dan kota masa depan.
Mengusung tema "Jakarta Kota Global dan Berbudaya", transformasi ke arah kemajuan menjadi tujuan bersama.
Menegaskan bahwa kota global tidak dibangun hanya dengan infrastruktur fisik. Identitas kota tidak sekadar ditentukan oleh gedung pencakar langit dan jaringan transportasi, tetapi juga oleh kekuatan naratifnya.
Di sinilah peran penyiaran menjadi strategis sebagai arsitek identitas kultural dan sosial kota.
Melalui media televisi, radio, serta platform digital, Jakarta memiliki peluang besar untuk menegaskan eksistensi sebagai kota inklusif, berdaya saing global, namun tetap berakar kuat pada budayanya.
Penyiaran menjadi medium utama dalam memperkuat identitas lokal, membangun konektivitas sosial, dan mengomunikasikan nilai-nilai ke-Indonesiaan kepada dunia.
Jakarta: Kota Global yang Berkultur Lokal
Berdasarkan data Geographic Information System (GIS) Disdukcapil Kemendagri, jumlah penduduk Jakarta per 31 Desember 2024 mencapai 11,04 juta jiwa, mencakup sekitar 3,87 persen dari total populasi Indonesia yang mencapai 284,97 juta jiwa. Jakarta adalah miniatur Indonesia, tempat bertemunya berbagai etnis dan budaya dalam satu simpul metropolitan.
Jakarta tidak hanya menjadi pusat ekonomi (dengan kontribusi 17 persen terhadap PDB nasional) dan pemerintahan, tetapi juga barometer gaya hidup serta kebudayaan nasional. Dalam keberagamannya, kota ini memiliki kekayaan budaya yang luar biasa.
Namun tantangan terbesarnya adalah membangun identitas kultural yang kuat sebagai dasar menjadi kota global. Disini Penyiaran berperan sebagai kurator budaya, mengangkat nilai-nilai lokal dan menjadikannya narasi bersama warga serta etalase budaya ke kancah internasional.
Penyiaran: Infrastruktur Kultural Menuju Kota Global
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jakarta mencatat, hingga 2025 terdapat lebih dari 70 lembaga penyiaran di Jakarta (38 televisi dan 39 radio), belum termasuk platform digital. Namun, realisasi kewajiban kuota konten lokal minimal 10 persen masih belum optimal. Ini menjadi tantangan serius di tengah kompetisi media digital yang begitu dinamis.
Pengalaman dari kota-kota global menunjukkan bahwa penyiaran lokal dapat menjadi kekuatan budaya yang strategis. Seoul, Tokyo, Paris, dan Istanbul membuktikan bahwa siaran lokal mampu memperkuat citra kota sekaligus menjadi instrumen diplomasi budaya.
Korea Selatan, misalnya, memberlakukan kewajiban siaran konten budaya nasional (K-pop, K-drama) sebesar 40–60 persen terutama pada jam tayang utama.
Lembaga penyiaran seperti KBS, MBC, SBS dan Arirang TV menjadi garda terdepan dalam menyebarkan budaya Korea secara global, didukung penuh oleh KOCCA (Korea Creative Content Agency) yang mendanai dan melatih kreator konten lokal.
Jepang memiliki dua kota budaya: Tokyo untuk budaya pop modern (anime, musik J-pop, teknologi digital), dan Kyoto sebagai pusat budaya tradisional (seni klasik, budaya Zen, kuliner, arsitektur). Setiap prefektur diwajibkan menyiarkan konten lokal dalam bahasa Jepang atau dialek daerah. Pemerintah pusat melalui METI (Ministry of Economy, Trade and Industry) dan Agency for Cultural Affairs menyediakan hibah untuk mendukung produksi lokal.
Di Prancis, Paris menjadi kota seni dan budaya Eropa, dengan pengaruh kuat di dunia film, sastra, dan musik klasik. Memanfaatkan France Television dan TV5 Monde untuk menyebarkan budaya Prancis ke seluruh dunia. Undang-undang mensyaratkan 60 persen siaran berbahasa Prancis, dengan 40 persen di antaranya merupakan konten lokal.
Istanbul di Turkiye, dikenal sebagai kota budaya yang menjembatani budaya Timur dan Barat. Sekaligus eksportir budaya melalui penyiaran juga berhasil mengekspor serial drama ke lebih dari 150 negara, dengan dukungan regulasi informal dan insentif produksi lokal.
Belajar dari pengalaman tersebut, Jakarta memiliki potensi untuk mengembangkan strategi penyiaran budaya serupa. Dengan dukungan regulasi daerah, insentif ekonomi, dan sinergi lintas sektor, penyiaran Jakarta dapat menjadi pilar penting dalam membangun citra kota global yang berakar pada nilai-nilai lokal.
Penyiaran sebagai Etalase dan Identitas
Perayaan Jakarta 500 Tahun menjadi momentum strategis bagi dunia penyiaran. Ini bukan sekadar panggung festival, tetapi kesempatan untuk menampilkan narasi kota kepada dunia. Penyiaran harus berperan sebagai penjaga memori kolektif, pelestari budaya, dan penghubung antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Pertama, penyiaran harus menjadi cermin keberagaman kota. Narasi tentang Betawi sebagai identitas lokal utama perlu diperkuat, tentu dengan tetap membuka ruang bagi budaya lain untuk tampil secara inklusif dan sinergis. Program budaya lokal yang mengangkat bahasa, musik, dan kisah warga akan memperkuat rasa kebersamaan dan memperkaya wawasan publik.
Televisi dan radio dapat menghidupkan kembali dokumenter sejarah kota, cerita tokoh lokal, dan refleksi budaya Jakarta. Sinetron legendaris seperti Si Doel Anak Sekolahan adalah contoh kuat bagaimana cerita lokal bisa membentuk identitas bersama.
Jakarta membutuhkan lebih banyak produksi serupa yang menampilkan sejarah, nilai, dan perjuangan kota, misalnya kisah Pangeran Jayakarta atau kehidupan urban masyarakat Jakarta dalam format modern di platform TV dan OTT.
Kedua, Jakarta perlu menjadi etalase budaya Indonesia. Penyiaran di Jakarta harus berstandar internasional. Produksi dokumenter "Jakarta 500 Tahun" dapat menjadi proyek kolaboratif yang ditayangkan di media nasional dan internasional. Film, animasi, dan serial budaya dengan kualitas ekspor harus menjadi agenda bersama, tentu dengan dukungan anggaran dan kebijakan dari pemerintah provinsi.
Di tengah kondisi media nasional yang sedang kritis, dukungan ini menjadi krusial. Kapasitas produksi konten budaya yang bisa menjangkau dunia perlu diperkuat, termasuk siaran multibahasa, program sejarah, dan promosi budaya kota melalui berbagai platform. Gagasan menjadikan Jakarta sebagai Kota Film oleh Wakil Gubernur Rano Karno adalah inisiatif yang perlu segera diwujudkan secara nyata.
Ketiga, penyiaran harus membangun ketahanan sosial. Jakarta sangat rentan terhadap polarisasi sosial dan informasi yang tidak diverifikasi. Penyiaran memiliki peran sebagai penjernih informasi, pelurus hoaks, serta pemersatu masyarakat. Melalui tayangan edukatif, informatif sekaligus menghibur, media penyiaran dapat menguatkan kohesi sosial yang makin penting di era digital.
Penyiaran berperan menjaga anak bangsa agar tidak tercerabut dari akar budaya. Televisi, radio, podcast, media sosial, dan kanal digital dapat menjaga anak muda Jakarta dengan akar budayanya.
Pemerintah bersama KPID, lembaga penyiaran, dan komunitas kreatif harus mendorong produksi konten disemua platform bertema "Jakarta Masa Depan, Budaya dan Tantangan Zaman", dengan format yang segar dan inspiratif, selain memperkuat literasi dan edukasi di masyarakat kota.
Dari Kota Administrasi ke Kota Narasi
Kota yang besar tidak hanya ditentukan oleh bangunannya, tetapi juga oleh jiwanya. Tanpa narasi kultural yang kuat, Jakarta hanyalah deretan beton dan statistik. Melalui penyiaran, Jakarta dapat memancarkan identitasnya sebagai kota global yang bercita rasa lokal.
Ulang tahun ke-500 adalah saat yang tepat bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, KPID, dan ekosistem media untuk bersinergi membangun konvergensi antara budaya dan teknologi. Penyiaran harus ditempatkan sebagai infrastruktur budaya, penopang identitas kota, serta instrumen diplomasi budaya Jakarta di mata dunia.
KPID Jakarta percaya bahwa penyiaran bukan sekadar media teknis, melainkan cermin jiwa kota. Kini saatnya Jakarta menyiarkan. Bukan hanya untuk didengar dan disaksikan, tetapi untuk dikenang dan dibanggakan oleh dunia.
Selamat Ulang Tahun Kota Jakarta ke-498 Tahun. Melalui penyiaran, dari Jakarta untuk Indonesia dan dunia. “Sebab tak ada budaya yang tumbuh dalam diam. Hanya lewat identitas yang disiarkan, sebuah kota dapat merebut tempatnya dalam ingatan.
*Rizky Wahyuni, Wakil Ketua KPID Jakarta