Kudus (ANTARA) - Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Jawa Tengah dan DIY menerapkan ultimum remidium terhadap 340-an kasus rokok ilegal dari seribuan kasus yang diungkap hingga November 2024, sehingga pelanggar cukai hanya dikenakan denda cukai rokok.
"Dari jumlah kasus sebanyak itu, total dendanya sebesar Rp7,5 triliun," kata Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Kanwil DJBC Jateng DIY Khoirul Hadziq di Kudus, Kamis.
Ia mengungkapkan denda sebanyak itu, berasal dari pembayaran denda sebesar tiga kali nilai cukai yang harus dibayar, sedangkan barang bukti rokoknya menjadi barang milik negara.
Sementara penindakan yang dilakukan di wilayah Jateng dan DIY, kata dia, mencapai 1.875 kali penindakan, termasuk etil alkohol.
Untuk jumlah barang bukti rokok ilegal yang diamankan hingga bulan ini mencapai 105 juta batang, untuk menekan kebocoran cukai ilegal yang nilai potensi cukainya mencapai Rp99 miliar.
"Kasus yang masuk tahap penyidikan ada 43 kasus. Sedangkan 340 kasus di antaranya diselesaikan melalui skema ultimum remidium dan sisanya barang dirampas untuk penindakan," ujarnya.
Ia mengungkapkan kasus rokok ilegal yang diungkap di wilayah Jateng dan DIY, tidak hanya dari wilayah hukum Bea Cukai Jateng dan DIY, namun banyak pula yang berasal dari luar daerah melalui jasa pengiriman paket.
"Barang bukti rokok ilegalnya memang tidak banyak, tetapi volume pengirimannya cukup tinggi meskipun setiap paket berisi antara dua slop hingga lima slop rokok ilegal," ujarnya.
Terkait dominasi pengungkapan rokok ilegal, kata dia, dalam penindakannya selama ini saling berkolaborasi, sehingga ketika upaya penindakan dari wilayah KPPBC Kudus tidak berhasil bisa dilanjutkan oleh KPPBC di wilayah lain yang memungkinkan pengedar rokok ilegalnya melintas.
Ultimum remidium merupakan salah satu asas yang terdapat dalam hukum pidana Indonesia yang menyebutkan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Remidium merupakan salah satu asas yang terdapat dalam hukum pidana Indonesia yang menyebutkan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum.
Sehingga dalam pemberian sanksi terhadap suatu perkara dapat melalui jalur sanksi administrasi atau sanksi perdata. Jika kedua jalur tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan dari pelanggaran hukum yang terjadi, maka pemberian sanksi pidana dapat dipertimbangkan sebagai senjata terakhir.
Asas hukum remidium bisa diimplementasikan bagi pelaku kejahatan yang melanggar pasal-pasal tertentu yang diatur dalam Undang-undang Cukai. Selain memberikan efek jera bagi pelaku, hak-hak negara yang harusnya disetorkan juga menjadi terpenuhi.
Peraturan pelaksanaan ultimum remidium pada tahap penelitian dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 40B ayat (6) UU Cukai. Sementara ultimum remidium diberlakukan terhadap pelanggaran pasal tertentu dalam UU Cukai yaitu pasal 50, 52, 54, 56 dan 58.
Baca juga: Pemkab Kudus tetapkan status siaga darurat bencana banjir