Bakal lahir ratusan PP dari "rahim" UU Cipta Kerja
Semarang (ANTARA) - Bakal lahir ratusan peraturan pemerintah (PP) dari "rahim" Undang-Undang Cipta Kerja yang memuat 11 klaster setelah diundangkan.
Seperti diketahui, dalam undang-undang tersebut terdapat 11 klaster yang secara umum bertujuan untuk melakukan reformasi secara struktural dan mempercepat transformasi ekonomi.
Adapun klaster tersebut meliputi urusan penyederhanaan perizinan; urusan persyaratan investasi; urusan ketenagakerjaan; urusan pengadaan lahan; urusan kemudahan berusaha; urusan dukungan riset dan inovasi.
Berikutnya, urusan administrasi pemerintahan; urusan pengenaan sanksi; urusan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM; urusan investasi dan proyek pemerintah; dan urusan kawasan ekonomi.
Aturan turunan berupa PP dan peraturan presiden (perpres) akan diselesaikan paling lambat 3 bulan setelah diundangkan, demikian kata Presiden RI Joko Widodo dalam keterangan pers terkait dengan UU Cipta Kerja dari Istana Kepresidenan RI, Bogor, Jumat (9/10).
"Saya perlu tegaskan pula bahwa UU Cipta Kerja ini memerlukan banyak sekali peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres). Jadi, setelah ini akan muncul PP dan perpres yang akan kita selesaikan paling lambat 3 bulan setelah diundangkan," kata Jokowi.
Baca juga: Telaah - RUU Cipta Kerja perlu dibahas secara transparan cegah demo
Untuk mengetahui seberapa banyak PP dalam UU Cipta Kerja, tinggal tekan Ctrl + F di papan tuts (keyboard), kemudian ketik "peraturan pemerintah" pada draf RUU Cipta Kerja, tercatat ada 458 frasa "peraturan pemerintah".
Pemerintah berkeyakinan melalui UU Cipta Kerja ini jutaan pekerja dapat memperbaiki kehidupannya sekaligus penghidupan bagi keluarga mereka.
Presiden menyebutkan setiap tahun ada sekitar 2,9 juta penduduk usia kerja baru anak muda yang masuk ke pasar kerja sehingga kebutuhan atas lapangan kerja baru sangat-sangat mendesak, apalagi di tengah pandemi terdapat kurang lebih 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak COVID-19.
Disebutkan pula bahwa sebanyak 87 persen dari total penduduk bekerja memiliki tingkat pendidikan setingkat SMA ke bawah, sebanyak 39 persen di antaranya berpendidikan sekolah dasar sehingga perlu mendorong penciptaan lapangan kerja baru, khususnya di sektor padat karya.
"Jadi, Undang-Undang Cipta Kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran," kata Presiden.
Lebih lanjut Presiden Jokowi mengatakan, "Kita pemerintah membuka dan mengundang masukan-masukan dari masyarakat, dan masih terbuka usulan-usulan dan masukan-masukan dari daerah-daerah."
PP selaras UU
Namun, yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait dengan 11 klaster adalah peraturan pemerintah harus selaras dengan UU Cipta Kerja.
Jika usulan dan masukan dari masyarakat yang bertentangan dengan UU Cipta Kerja, tidak munutup kemungkinan banyak pihak yang akan mengajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, kementerian yang menyiapkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) perlu kecermatan ketika menerima usulan dan masukan dari pemangku kepentingan. Dengan kata lain, tidak asal mengakomodasi kepentingan semua pihak dengan mengabaikan keharmonisan antara PP dan UU Cipta Kerja.
Sejumlah kementerian telah menyiapkan RPP, di antaranya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang tengah merampungkan lima RPP sebagai turunan atau aturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja.
Sebagaimana diwartakan ANTARA, Jumat (16/10), Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A. Djalil mengatakan bahwa pihaknya akan mengundang sejumlah pihak untuk memberikan aspirasi terkait dengan penyusunan RPP.
Kelima RPP yang dimaksud adalah RPP tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; RPP tentang Bank Tanah; RPP tentang Pemberian Hak Atas Tanah; RPP tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum; serta RPP tentang Kawasan dan Tanah Telantar.
Baca juga: Politikus Golkar: UU Cipta Kerja bakal berdampak pada deregulasi
Lima RPP klaster pertanahan di bawah Kementerian ATR/BPN itu ditargetkan rampung paling tidak 1,5 bulan. Apalagi, Presiden Joko Widodo memerintahkan seluruh kementerian untuk segera merampungkan RPP.
Tidak pelak lagi, Kementerian ATR/BPN bersama kementerian lain pun harus merampungkan drafnya meskipun undang-undang memungkinkan 3 bulan.
"Saya yakin semua RPP ini akan jadi 1,5 bulan setelah UU ini diundangkan," kata Mantan Menko Perekonomian tersebut.
Menyinggung soal bank tanah, dia menegaskan bahwa RPP ini akan melengkapi Kementerian ATR/BPN tidak hanya sebagai land regulator, tetapi juga land manager atau pengelola tanah.
Melalui institusi bank tanah, ATR/BPN dapat mengambil alih tanah-tanah telantar dan tak bertuan untuk kepentingan masyarakat, seperti perumahan, taman, dan fasilitas umum.
Undang-Undang Cipta Kerja ini juga memberikan penguatan hak pengelolaan (HPL). Selama ini, tanah yang dimiliki oleh pemerintah daerah diberikan hak pakai dan tidak bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih produktif.
Sebelumnya, ditegaskan Presiden bahwa bank tanah ini diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, dan konsolidasi lahan, serta reforma agraria.
"Ini sangat penting untuk menjamin akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah, kepemilikan lahan, dan kita selama ini tidak memiliki bank tanah," kata Presiden di Istana Kepresidenan RI, Bogor, Jumat (9/10).
Libatkan buruh
Tidak hanya Kementerian ATR/BPN, Kementerian Ketenagakerjaan pun tengah mempersiapkan PP sebagai turunan dari UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan.
Bahkan, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan sektor ketenagakerjaan, termasuk serikat pekerja/buruh serta pengusaha.
Namun, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan bahwa pihaknya tidak akan terlibat dalam pembahasan aturan turunan UU Cipta Kerja.
"Buruh menolak omnibus law UU Cipta Kerja. Dengan demikian, tidak mungkin buruh menerima peraturan turunannya. Apalagi, terlibat membahasnya," kata Said Iqbal dalam pernyataan di Jakarta, Kamis (15/10).
Sikap KSPI sudah sejalan dengan komitmen buruh yang sampai saat ini menolak UU Cipta Kerja, khususnya untuk klaster ketenagakerjaan.
Tidak hanya itu, serikat pekerja dan buruh saat ini juga tengah mempersiapkan aksi lanjutan untuk menolak UU Cipta Kerja setelah melakukan aksi mogok nasional pada tanggal 6—8 Oktober 2020.
Menurut Said, ada empat langkah yang sudah dan akan dilakukan para buruh, yaitu mempersiapkan aksi lanjutan terukur, terarah, dan konstitusional, baik di daerah maupun aksi secara nasional, serta mempersiapkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk uji formal dan uji materiel.
Selain itu, mereka juga akan meminta legislative review ke DPR RI dan executive review ke pemerintah. Langkah terakhir adalah melakukan sosialisasi atau kampanye tentang isi dan alasan penolakan UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan, oleh buruh.
Kendati demikian, baik Pemerintah maupun pemangku kepentingan terkait dengan UU Cipta Kerja ini, harus tetap berada di koridor hukum agar tidak menimbulkan kegaduhan di kelak kemudian hari. Apalagi, sampai merugikan generasi mendatang.
Baca juga: Moeldoko: Banyak tokoh belum paham isi UU Ciptaker
Baca juga: Entaskan UU Cipta Kerja dari pusaran hoaks
Seperti diketahui, dalam undang-undang tersebut terdapat 11 klaster yang secara umum bertujuan untuk melakukan reformasi secara struktural dan mempercepat transformasi ekonomi.
Adapun klaster tersebut meliputi urusan penyederhanaan perizinan; urusan persyaratan investasi; urusan ketenagakerjaan; urusan pengadaan lahan; urusan kemudahan berusaha; urusan dukungan riset dan inovasi.
Berikutnya, urusan administrasi pemerintahan; urusan pengenaan sanksi; urusan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM; urusan investasi dan proyek pemerintah; dan urusan kawasan ekonomi.
Aturan turunan berupa PP dan peraturan presiden (perpres) akan diselesaikan paling lambat 3 bulan setelah diundangkan, demikian kata Presiden RI Joko Widodo dalam keterangan pers terkait dengan UU Cipta Kerja dari Istana Kepresidenan RI, Bogor, Jumat (9/10).
"Saya perlu tegaskan pula bahwa UU Cipta Kerja ini memerlukan banyak sekali peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres). Jadi, setelah ini akan muncul PP dan perpres yang akan kita selesaikan paling lambat 3 bulan setelah diundangkan," kata Jokowi.
Baca juga: Telaah - RUU Cipta Kerja perlu dibahas secara transparan cegah demo
Untuk mengetahui seberapa banyak PP dalam UU Cipta Kerja, tinggal tekan Ctrl + F di papan tuts (keyboard), kemudian ketik "peraturan pemerintah" pada draf RUU Cipta Kerja, tercatat ada 458 frasa "peraturan pemerintah".
Pemerintah berkeyakinan melalui UU Cipta Kerja ini jutaan pekerja dapat memperbaiki kehidupannya sekaligus penghidupan bagi keluarga mereka.
Presiden menyebutkan setiap tahun ada sekitar 2,9 juta penduduk usia kerja baru anak muda yang masuk ke pasar kerja sehingga kebutuhan atas lapangan kerja baru sangat-sangat mendesak, apalagi di tengah pandemi terdapat kurang lebih 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak COVID-19.
Disebutkan pula bahwa sebanyak 87 persen dari total penduduk bekerja memiliki tingkat pendidikan setingkat SMA ke bawah, sebanyak 39 persen di antaranya berpendidikan sekolah dasar sehingga perlu mendorong penciptaan lapangan kerja baru, khususnya di sektor padat karya.
"Jadi, Undang-Undang Cipta Kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran," kata Presiden.
Lebih lanjut Presiden Jokowi mengatakan, "Kita pemerintah membuka dan mengundang masukan-masukan dari masyarakat, dan masih terbuka usulan-usulan dan masukan-masukan dari daerah-daerah."
PP selaras UU
Namun, yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait dengan 11 klaster adalah peraturan pemerintah harus selaras dengan UU Cipta Kerja.
Jika usulan dan masukan dari masyarakat yang bertentangan dengan UU Cipta Kerja, tidak munutup kemungkinan banyak pihak yang akan mengajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, kementerian yang menyiapkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) perlu kecermatan ketika menerima usulan dan masukan dari pemangku kepentingan. Dengan kata lain, tidak asal mengakomodasi kepentingan semua pihak dengan mengabaikan keharmonisan antara PP dan UU Cipta Kerja.
Sejumlah kementerian telah menyiapkan RPP, di antaranya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang tengah merampungkan lima RPP sebagai turunan atau aturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja.
Sebagaimana diwartakan ANTARA, Jumat (16/10), Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A. Djalil mengatakan bahwa pihaknya akan mengundang sejumlah pihak untuk memberikan aspirasi terkait dengan penyusunan RPP.
Kelima RPP yang dimaksud adalah RPP tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; RPP tentang Bank Tanah; RPP tentang Pemberian Hak Atas Tanah; RPP tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum; serta RPP tentang Kawasan dan Tanah Telantar.
Baca juga: Politikus Golkar: UU Cipta Kerja bakal berdampak pada deregulasi
Lima RPP klaster pertanahan di bawah Kementerian ATR/BPN itu ditargetkan rampung paling tidak 1,5 bulan. Apalagi, Presiden Joko Widodo memerintahkan seluruh kementerian untuk segera merampungkan RPP.
Tidak pelak lagi, Kementerian ATR/BPN bersama kementerian lain pun harus merampungkan drafnya meskipun undang-undang memungkinkan 3 bulan.
"Saya yakin semua RPP ini akan jadi 1,5 bulan setelah UU ini diundangkan," kata Mantan Menko Perekonomian tersebut.
Menyinggung soal bank tanah, dia menegaskan bahwa RPP ini akan melengkapi Kementerian ATR/BPN tidak hanya sebagai land regulator, tetapi juga land manager atau pengelola tanah.
Melalui institusi bank tanah, ATR/BPN dapat mengambil alih tanah-tanah telantar dan tak bertuan untuk kepentingan masyarakat, seperti perumahan, taman, dan fasilitas umum.
Undang-Undang Cipta Kerja ini juga memberikan penguatan hak pengelolaan (HPL). Selama ini, tanah yang dimiliki oleh pemerintah daerah diberikan hak pakai dan tidak bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih produktif.
Sebelumnya, ditegaskan Presiden bahwa bank tanah ini diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, dan konsolidasi lahan, serta reforma agraria.
"Ini sangat penting untuk menjamin akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah, kepemilikan lahan, dan kita selama ini tidak memiliki bank tanah," kata Presiden di Istana Kepresidenan RI, Bogor, Jumat (9/10).
Libatkan buruh
Tidak hanya Kementerian ATR/BPN, Kementerian Ketenagakerjaan pun tengah mempersiapkan PP sebagai turunan dari UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan.
Bahkan, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan sektor ketenagakerjaan, termasuk serikat pekerja/buruh serta pengusaha.
Namun, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan bahwa pihaknya tidak akan terlibat dalam pembahasan aturan turunan UU Cipta Kerja.
"Buruh menolak omnibus law UU Cipta Kerja. Dengan demikian, tidak mungkin buruh menerima peraturan turunannya. Apalagi, terlibat membahasnya," kata Said Iqbal dalam pernyataan di Jakarta, Kamis (15/10).
Sikap KSPI sudah sejalan dengan komitmen buruh yang sampai saat ini menolak UU Cipta Kerja, khususnya untuk klaster ketenagakerjaan.
Tidak hanya itu, serikat pekerja dan buruh saat ini juga tengah mempersiapkan aksi lanjutan untuk menolak UU Cipta Kerja setelah melakukan aksi mogok nasional pada tanggal 6—8 Oktober 2020.
Menurut Said, ada empat langkah yang sudah dan akan dilakukan para buruh, yaitu mempersiapkan aksi lanjutan terukur, terarah, dan konstitusional, baik di daerah maupun aksi secara nasional, serta mempersiapkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk uji formal dan uji materiel.
Selain itu, mereka juga akan meminta legislative review ke DPR RI dan executive review ke pemerintah. Langkah terakhir adalah melakukan sosialisasi atau kampanye tentang isi dan alasan penolakan UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan, oleh buruh.
Kendati demikian, baik Pemerintah maupun pemangku kepentingan terkait dengan UU Cipta Kerja ini, harus tetap berada di koridor hukum agar tidak menimbulkan kegaduhan di kelak kemudian hari. Apalagi, sampai merugikan generasi mendatang.
Baca juga: Moeldoko: Banyak tokoh belum paham isi UU Ciptaker
Baca juga: Entaskan UU Cipta Kerja dari pusaran hoaks