Semarang (ANTARA) - Apa betul aksi massa yang terjadi di sejumlah daerah gegara disinformasi dan hoaks di media sosial? Pertanyaan ini muncul setelah Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers secara daring dari Istana Kepresidenan, Bogor, Jumat (9/10).
Keesokan harinya, Sabtu (10/10), anggota dari sejumlah grup WhatsApp mengirim/meneruskan video berdurasi 12.06 menit yang berisi pernyataan tersebut.
Sekitar lima menit berselang, dalam video itu Presiden mengungkapkan, "Namun, Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja yang pada dasarnya dilakukan dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari undang-undang ini dan hoaks di media sosial."
Baca juga: Legislator: PP UU Cipta Kerja harus pastikan sektor pendidikan nirlaba
Presiden melanjutkan, "Saya ambil contoh ada informasi yang menyebut tentang penghapusan UMP (upah minimum provinsi), UMK (upah minimum kota/kabupaten), UMSP (upah minimum sektoral provinsi). Hal ini tidak benar karena faktanya upah minimum regional (UMR) tetap ada."
Penulis lantas menelusuri rekam jejak RUU ini melalui web resmi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (vide: http://www.dpr.go.id/uu/detail/id/442). Rancangan undang-undang yang diusulkan pada tanggal 17 Desember 2019 namanya masih "RUU tentang Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law)".
Dalam rekam jejak ini juga menginformasikan bahwa rapat paripurna ke-13 pada 2 April 2020, kemudian memberitahukan bahwa penugasan pembahasan RUU tentang Cipta Kerja kepada Badan Legislasi DPR.
Jika mengarahkan kursor ke tulisan "dokumen", ada tiga dokumen: Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, naskah rancangan (draft) RUU Cipta Kerja, dan surat dari Presiden Joko Widodo perihal RUU Cipta Kerja tertanggal 7 Februari 2020.
Selanjutnya, pemerintah menyerahkan Surat Presiden, RUU Cipta Kerja, dan Naskah Akademik kepada DPR pada tanggal 12 Februari 2020. (Vide:setkab.go.id/pemerintah-resmi-ajukan-ruu-cipta-kerja-ke-dpr-ri)
Pemerintah dalam itu diwakili Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil.
Berikutnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Draf tersebut diterima Ketua DPR Puan Maharani, Wakil Ketua DPR Rahmat Gobel dan Azis Syamsuddin.
UMK Tak Diatur
Dalam dokumen "BALEG-RJ-20200605-100224-2372", RUU Cipta Kerja ini terdiri atas 1.028 halaman, 15 bab, dan 174 pasal. Apakah di dalam file ini ada frasa "upah minimum kabupaten/kota"?
Untuk mengetahuinya, tekan Ctrl + F di papan ketik (keyboard), kemudian ketik "upah minimum kabupaten/kota", lalu tekan search, ternyata tidak ada frasa tersebut di dalam draf RUU Cipta Kerja dalam dokumen "BALEG-RJ-20200605-100224-2372". Berarti, UMK tidak ada di dalam draf awal.
Begitu pula, dalam file "RUU Cipta Kerja" yang halamannya juga sebanyak 1.028. Dalam draf ini, hanya ditemukan frasa "upah minimum provinsi" (vide: Pasal 88C).
Dalam Pasal 88C Ayat (1) menyebutkan Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman; Ayat (2) upah minimum sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.
Pembahasan berlanjut pada Pembicaraan Tingkat I. Panitia Kerja (Panja) menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dalam rangka menjaring aspirasi masyarakat atas RUU tentang Cipta Kerja. Rapat secara virtual ini dilaksanakan pada tanggal 20 April 2020.
Sampai di sini, tidak ada dokumen berisi draf RUU Cipta Kerja. Begitu pula Rapat Pleno PAF/Pengambilan Keputusan atas hasil Pembahasan RUU tentang Cipta Kerja, Sabtu (3/10), hanya ada dokumen "Laporan Singkat Rapat Kerja Baleg dengan Pemerintah dan DPD RI dalam Rangka Pengambilan Keputusan Tingkat I atas RUU tentang Cipta Kerja".
Seyogianya, tidak hanya laporan singkat, tetapi ada dokumen RUU Cipta Kerja yang akan diparipurnakan pada tanggal 5 Oktober 2020. Dengan demikian, publik tahu ada perubahan dalam RUU Cipta Kerja itu.
Rapat 64 Kali
Informasi yang diterima publik dari Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas, sebagaimana diwartakan ANTARA, Senin (5/10), rapat sebanyak 64 kali terdiri atas 2 kali rapat kerja, 56 kali rapat panja, dan 6 kali rapat tim perumus (timus)/tim penyusun (timsin).
Dijelaskan pula bahwa tujuh UU dikeluarkan dari draf RUU yang diparipurnakan, yaitu UU Nomor 40/1999 tentang Pers; UU Nomor 20/2003 tentang Pendidikan Nasional; UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen; UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi; UU Nomor 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran; UU Nomor 4/2019 tentang Kebidanan; dan UU Nomor 20/2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.
Namun, setelah Rapat Paripurna, Senin (5/10) malam, beredar "UU Cipta Kerja FINAL - Paripurna" melalui WhatsApp. Di dalam dokumen terdiri atas 15 bab dan 186 pasal serta 905 halaman ini ada ketentuan mengenai upah minimum kabupaten/kota.
Terdapat perubahan dalam Pasal 88C, semula dua ayat, menjadi tujuh ayat.
- Ayat (1): Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi;
- Ayat (2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu;
- Ayat (3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
- Ayat (4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) meliputi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan;
- Ayat (5) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi.
- Ayat (6) Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
- Ayat (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) diatur dengan peraturan pemerintah.
Informasi lain yang diketahui publik adalah enam fraksi menyatakan setuju, Fraksi PAN memberikan catatan, serta Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS yang menyatakan menolak persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU.
Ironis
Adalah kenyataan ironis bahwa aksi unjuk rasa di sejumlah daerah terkait dengan putusan Rapat Paripurna DPR yang menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi undang-undang gegara disinformasi.
Seharusnya hal itu tidak terjadi pada era teknologi informasi jika setiap ada perubahan draf RUU Cipta Kerja segera dipublikasikan melalui web resmi DPR RI (www.dpr.go.id).
Seyogianya pembuat undang-undang menginformasikan adanya perubahan kepada publik setiap tahapan, mulai tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Tidak pelak lagi, aksi unjuk rasa pun mewarnai pembahasan tersebut. Bahkan, setelah Rapat Paripurna DPR, 5 Oktober 2020, sejumlah elemen masyarakat melakukan demonstrasi menolak pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang meski aturan soal UMK sudah ada di dalam RUU itu.
Jangankan masyarakat, sejumlah anggota DPR RI mengaku belum menerima naskah akhir RUU Cipta Kerja pada saat rapat paripurna. Ini sebuah ironi pada era teknologi informasi. Oleh karena itu, perlu transparansi dalam setiap pembahasan RUU.
Kini, publik tinggal menunggu apakah "dokumen terakhir" RUU Cipta Kerja yang ada di media sosial sama dengan UU Cipta Kerja yang ada di dalam Lembaran Negara, termasuk pula pernyataan Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat lain yang memberi penjelasan kepada rakyat.
Baca juga: Jokowi: Kehidupan pekerja bakal membaik dengan UU Cipta Kerja
Baca juga: Menaker: UU Cipta Kerja tidak hilangkan hak cuti
Baca juga: Ganjar duduk bersama pihak terkait bahas UU Cipta Kerja