Kendal (ANTARA) - Di tingkat nasional, capaian numerasi Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah. PISA 2022 mencatat sekitar 18 persen siswa mencapai setidaknya Level 2 dalam matematika, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 69 persen. Artinya, banyak siswa belum konsisten menafsirkan situasi sederhana ke representasi matematis. Gambaran ini terasa di kelas 2 SDN 1 Brangsong, Kendal, Jawa Tengah, tempat sebagian siswa masih mengandalkan hafalan untuk penjumlahan dan pengurangan, serta kesulitan saat soal berubah menjadi cerita kontekstual.
Literatur pendidikan memberi rambu yang jelas. Bruner menekankan tiga tahap representasi, enaktif, ikonik, dan simbolik, agar konsep muncul bertahap dan bermakna. Piaget menyebut usia 7 sampai 11 tahun berada pada tahap operasional konkret, sehingga butuh benda nyata atau media yang sangat mendekati nyata. Kilpatrick dan kolega menambahkan bahwa numerasi berdiri di atas lima pilar, pemahaman konseptual, keterampilan prosedural, penalaran adaptif, disposisi produktif, serta kompetensi strategis. Artinya, anak perlu mengalami matematika, bukan sekadar mengerjakan deret soal.
Dari kebutuhan itulah Gen Alpa lahir. Gen Alpa, singkatan dari Game Edukatif Numerasi dan Petualangan Matematika, mengubah papan ular tangga menjadi wahana belajar yang hidup. Kuncinya sederhana, setiap langkah di papan harus dibayar dengan penyelesaian soal, mulai dari penjumlahan, pengurangan, sampai soal cerita sederhana. Permainan dikembangkan dalam dua format, digital berbasis Genially, dan fisik yang dicetak agar dapat dimainkan luring. Keduanya dirancang untuk dimainkan individual dalam suasana kelompok, sehingga tumbuh interaksi, kompetisi yang sehat, dan kolaborasi.
Gen Alpa menautkan teori dan praktik dengan alami. Papan, dadu, serta pion menghadirkan pengalaman enaktif yang konkret. Tampilan visual pada versi digital memberi jembatan ikonik yang kuat. Simbol, angka, dan kalimat pada soal membawa siswa ke tahap simbolik dengan lebih mantap. Seluruh perjalanan sejalan dengan Profil Pelajar Pancasila, terutama kreativitas, kemandirian, kerja sama, dan gotong royong.
Proses pengembangan dimulai dengan pemetaan masalah. Guru mengidentifikasi letak kesulitan siswa pada operasi dasar serta penentuan operasi saat mengerjakan soal cerita. Dari sana, papan ular tangga digital didesain di Genially dengan jalur, tantangan, serta pos khusus untuk soal. Versi digital lalu diturunkan menjadi papan fisik agar kelas tetap bisa bermain tanpa ketergantungan perangkat.
Bank soal disiapkan variatif, mencakup fakta penjumlahan dan pengurangan yang sering keliru, serta soal cerita kontekstual yang dekat dengan keseharian anak. Aturan permainan disusun jelas, poin, giliran, penalti, dan bonus, agar kompetisi berjalan adil. Pada tahap implementasi, kelas dibagi menjadi kelompok kecil.
Setiap ronde, guru memberi bimbingan singkat, lalu siswa bermain, berdiskusi, dan mencatat cara berpikir. Setelah permainan, dilakukan refleksi bersama, apa strategi yang berhasil, di mana ragu muncul, dan bagaimana memperbaiki langkah berikutnya. Siklus ditutup dengan evaluasi hasil belajar dan motivasi.
Dampaknya terasa sejak pertemuan kedua. Antusiasme meningkat, waktu penyelesaian soal berkurang, dan kesalahan pada operasi dasar menurun. Siswa lebih sigap mengenali kata kunci dalam soal cerita, seperti “bertambah”, “berkurang”, “sisa”, serta lebih tepat menentukan operasi. Ketuntasan belajar numerasi naik, sementara dinamika kelas menjadi lebih hidup, siswa saling menyemangati, bertukar strategi, dan belajar dari kesalahan tanpa malu.
Suara siswa dan guru menguatkan temuan itu. Maritza Zea Azkadina, siswa kelas 2, berkata, “Belajar matematika jadi seperti main ular tangga. Seru sekali, saya jadi lebih cepat bisa menghitung.”
M David Setiawan, siswa kelas 2, menambahkan, “Kalau ada soal cerita, saya sekarang bisa mengerjakannya karena sudah sering latihan di Gen Alpa.”
Lailina Zulfa, S.Pd., guru kelas 2B, mengamati, “Gen Alpa membantu siswa lebih percaya diri dan aktif. Mereka belajar tanpa terasa sedang belajar karena suasananya menyenangkan.”
Apa yang membuat permainan ini efektif? Pertama, rasa ingin tahu dan dorongan bermain menjadi pintu masuk. Anak masuk ke latihan numerasi karena ingin melangkah, bukan semata karena diminta mengerjakan soal. Kedua, umpan balik cepat. Setiap langkah memberi sinyal benar atau salah, sehingga siswa segera menyesuaikan strategi. Ketiga, sosialisasi strategi. Diskusi di kelompok melatih penalaran adaptif, siswa belajar menjelaskan cara berpikir, bukan hanya menyebut jawaban.
Tentu masih ada ruang perbaikan. Variasi soal berbasis konteks perlu ditambah agar pemindahan pengetahuan ke situasi nyata menjadi makin kuat. Level permainan dapat dipecah naik bertahap, misalnya level dasar untuk fakta operasi, level menengah untuk soal cerita satu langkah, serta level lanjut untuk dua langkah dan pengenalan perkalian.
Pengaturan waktu perlu ditertibkan agar setiap kelompok mendapat kesempatan bermain yang adil. Ke depan, konten dapat diperluas ke operasi perkalian, pembagian, dan pecahan sederhana, sehingga Gen Alpa menjadi ekosistem bermain belajar numerasi yang lengkap.
Praktik baik ini memberi pelajaran penting untuk banyak sekolah. Pertama, inovasi tidak selalu menuntut perangkat mahal. Kombinasi papan fisik dan versi digital sudah cukup menjangkau kebutuhan berbagai kondisi kelas. Kedua, desain belajar yang berangkat dari teori perkembangan anak justru membuat pembelajaran terasa ringan, karena anak bergerak dari konkret ke abstrak secara wajar. Ketiga, budaya refleksi di akhir sesi, singkat namun konsisten, mempercepat perbaikan strategi siswa.
Pada akhirnya, Gen Alpa adalah contoh bahwa matematika bisa dirayakan. Dengan papan, dadu, dan soal yang bermakna, anak belajar berhitung, bernalar, dan bekerja sama. Mereka bukan sekadar menghafal, mereka berpetualang. Ketika pengalaman belajar dirancang selaras dengan cara anak memahami dunia, numerasi tumbuh, rasa percaya diri ikut menyala, dan kelas menjadi arena yang menyenangkan untuk bertumbuh bersama.
*Guru SDN 1 Brangsong, Kendal, Sekolah Mitra Tanoto Foundation

