Kenduri
Sebelum tengah malam mengantar Selasa (20/5) beralih kepada jatuhnya hari peringatan itu, acara Hari Peradaban Desa ditandai dengan kenduri tumpeng "Selametan", pembacaan doa dan mantra kejawen oleh pimpinan Padepokan Tjipto Boedojo, Sitras Anjilin (66). Hadir pula dengan duduk bersila di atas tikar antara lain Rektor Universitas Tidar (Untidar) Magelang Sugiyarto, sejumlah perwakilan kelompok seniman "Kiai Kanjeng" Yogyakarta, dan beberapa peneliti serta pemerhati budaya.
Sitras, yang juga tokoh sesepuh Komunitas Lima Gunung itu, memimpin para pegiat seni budaya yang hadir malam itu, untuk retret dengan melantunkan masing-masing 12 bait tembang Mocopat, bersumber dari Serat Kalatidha (Pupuh Sinom) karya pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) dan Sesinggah (Pangkur) karya Ulama Sunan Kalijaga (1450-1592).
Bait pertama pupuh Sinom terasa membawa mereka kepada refleksi tentang negeri yang sepi karena kerusakan cara berkomunikasi, kehilangan keteladanan, dan marjinalisasi sopan santun, sementara para bijak pandai terbawa arus zaman kalatida atau ketidakpastian dan semua orang abai serta masuk arus godaan.
Pupuh Pangkur dalam Sesinggah berupa bait demi bait mantra tolak bala dilantunkan komunitas malam itu agar manusia terbebas dari marabahaya dan bencana.
Pada pagi harinya bersamaan waktu matahari terbit, Rabu (21/5), setelah prosesi jalan kaki mengelilingi Dusun Tutup Ngisor, sekitar delapan kilometer barat daya puncak Gunung Merapi, tanda tolak bala dihadirkan sejumlah seniman petani melalui performa seni.
Mereka, yakni seniman Mastur, Khoirul Mutakin, Gianto, Sujono, dan Shuko Sastro Gending, selama beberapa saat melakukan performa seni berjudul "Mberat Sukerta", berupa jamasan lumpur di depan Candi Sapta Widayat, kompleks padepokan tersebut. Suasana pada sesi ini juga diwarnai dengan pembacaan puisi oleh dua penyair komunitas, Lie Thian Hauw (Haris Kertorahardjo) dan Hudi DW.
Dengan iringan tembang-tembang dan ungkapan mantra Jawa, mereka sambil memegang batangan dupa, menaburkan bunga mawar merah dan putih, serta memantik alat bunyi-bunyian, berjalan kaki mengelilingi dusun itu, seakan menyambut matahari terbit di kawasan Gunung Merapi.
Setelah peserta prosesi tiba di depan Candi Sapta Widayat, dilanjutkan dengan pembasuhan kaki menggunakan air yang dikumpulkan dari beberapa mata air di Magelang oleh pegiat komunitas. Mereka kemudian memasuki bangunan di atas kolam, berupa cungkup pendiri Padepokan Tjipto Boedaja, Romo Yoso Sudarmo (1885-1990), untuk berziarah dan takzim berdoa, sebagai ruang penting dalam tema "Napak Bumi", selain penghormatan terhadap leluhur manusia gunung dengan warisan nilai-nilai kearifan dan budaya masyarakat desa.
Peringatan Hari Peradaban Desa dengan "Napak Bumi" sebagai tema kali ini, oleh budayawan Sutanto Mendut dipandang sebagai penguatan atas kehadiran, aktivitas budaya dan berkesenian, serta peran inspiratif Komunitas Lima Gunung selama ini, bagi penjagaan kekuatan nilai-nilai kehidupan desa dan gunung.
Komunitas itu dengan perkembangan dan dinamika berjejaring juga menghidupi tradisi Festival Lima Gunung dengan kekuatan mandiri. Pada tahun ini, festival mereka yang telah mendunia tersebut bakal memasuki perhelatan ke-24 kali secara berturut-turut, termasuk ketika beberapa tahun pernah terjadi pandemi global COVID-19. Komunitas tersebut sedang mulai menyiapkan garapan Festival Lima Gunung untuk tahun ini.
Bagaikan menapak bumi, perjalanan kehidupan Komunitas Lima Gunung diungkap Sutanto dalam sarasehan Hari Peradaban Desa, Selasa (20/5) malam, di pendopo padepokan setempat, sebagai "diturunkan dari langit" memberi guna bagi bumi, lingkungan, sesama makhluk, dan semesta makna kehidupan, serta menjadi bagian hal ihwal itu.
Oleh karenanya, mereka harus tawaduk. Tidak semua tindakan seni budaya dan kelindan pemikiran bersama dalam kerangka komunitas, selalu memperoleh hasil sempurna atau sesuai rancangan pikiran.
Namun demikian, atas kesadaran tentang keberadaan sebagai manusia-manusia wadak yang harus "Napak Bumi", mereka telah menorehkan catatan panjang yang penting tentang pengejawantahan makna rahmatan lil-alamin. Termasuk tahun ini, keadaan terkini membuat mereka mengajak siapa saja menyadari kesunyataan untuk memenuhi panggilan nurani, "Napak Bumi".

