Jakarta (ANTARA) - Penyakit ginjal bisa berkembang menjadi gagal ginjal apabila tidak tertangani. Lalu terapi apa yang bisa pasien jalani?
Dokter spesialis ginjal dari PERNEFRI, dr. Aida Lydia, PhD., SpPD-KGH mengatakan ada tiga pilihan terapi yang bisa pasien tempuh, yakni peritoneal dialysis atau continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), transplantasi ginjal dan hemodialisis.
Layanan terapi CAPD baru 2 persen terakses masyarakat, jauh lebih sedikit dibandingkan dua terapi lain. Salah satu alasannya ialah kurangnya tenaga perawat berdedikasi.
"Pelayanan ini harus punya sarana dan prasarana. Dari segi SDM harus ada perawat dedicated. Ini belum cukup. Pasien juga harus mandiri, mengganti cairan empat kali. Ini harus dilatih cukup. Kendala lain dari segi distribusi cairan," papar Aida di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan, ketimbang CAPD, pasien penyakit ginjal lebih banyak memilih hemodialisis. Data Indonesia Renal Registry (IRR) tahun 2017 menunjukkan jumlah pasien aktif yang menjalani hemodialisis yakni 77.892 orang.
Kendati begitu, tak berarti pasien hanya bisa ditangani melalui satu jenis terapi. Pasien bisa pindah dari satu terapi ke terapi lain tergantung kondisinya.
Misalnya, bila pada awalnya pasien menjalani hemodialisis namun ada indikasi hemodialisisnya tidak berjalan baik karena fungsi jantung, pasien ini bisa pindah menggunakan terapi CAPD.
"Dan sebaliknya pasien CAPD kalau terjadi misalnya komplikasi seperti infeksi berat, pasien bisa dipindahkan ke hemodialisis," kata Aida.
Penyakit ginjal pada awalnya tidak menunjukkan gejala khas sehingga sering terlambat diketahui. Namun ada sejumlah tanda yang dicurigai antara lain tekanan darah tinggi, perubahan frekuensi buang air kecil dalam sehari, adanya darah dalam urin, mual, muntah dan bengkak terutama pada kaki dan pergelangan kaki.
Apabila sakit ginjal sudah berlangsung lebih dari tiga bulan, maka termasuk kategori kronik dan ini merupakan faktor risiko munculnya penyakit jantung dan pembuluh darah.
Tanda penyakit ginjal sudah kronik juga bisa terlihat dari adanya protein di urin (setelah pemeriksaan urin), peningkatan kreatinin darah dan ada kelainan dalam pemeriksaan histopatologi.
"Angka kematian pasien penyakit ginjal kronik tinggi. Ini dikaitkan dengan penyakit jantung yang tinggi, gagal ginjal yang tinggi," kata Aida.
Baca juga: Ibu hamil rentan kena penyakit ginjal
Baca juga: Benarkah ginjal bisa rusak karena hipertensi?
Baca juga: 8 khasiat minum teh putih
Berita Terkait
Layanan terapi khusus bagi penyandang disabilitas jangkau Magelang
Rabu, 24 Januari 2024 15:50 Wib
Metode terapi, cara Pemkot Surakarta turunkan angka stunting
Selasa, 16 Januari 2024 16:02 Wib
Di Pekalongan, Kemensos luncurkan layanan pengembangan terapi khusus
Jumat, 3 November 2023 6:06 Wib
Sentra Terpadu Kartini kembangkan terapi khusus di 22 kabupaten/kota
Jumat, 20 Oktober 2023 8:46 Wib
Lomba Agustusan jadi terapi bagi disabilitas di Sentra Terpadu Kartini
Jumat, 11 Agustus 2023 14:17 Wib
Peresmian Ruang Terapi Disabilitas Anak Kota Semarang
Selasa, 21 Februari 2023 17:20 Wib
Menkes: Kebutuhan obat terapi COVID-19 naik hingga 12 kali lipat
Senin, 2 Agustus 2021 17:05 Wib
Masker khusus untuk terapi pasien COVID-19
Rabu, 28 Juli 2021 18:34 Wib