"Pementasan kami nanti, dalam rangkaian memperingati 200 tahun letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat," kata dalang wayang kontemporer bernama "Wayang Gunung Kulit Uwong Urip" karya Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sih Agung Prasetyo di Magelang, Minggu malam.
Puluhan seniman Komunitas Lima Gunung stelah mempersiapkan pementasan yang merupakan kemasan antara wayang kontemporer, pentas ritual, pembacaan puisi, dan sejumlah tarian kontemporer desa, seperti Embleg, Topeng Kayu, Prau Lumping, Kipas Mega, Geculan Bocah, dan Soreng Truntung.
Komunitas tersebut dengan para pegiat yang tinggal di sejumlah dusun di lima gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.
Ia menjelaskan lakon "Wangsit Tambora" merujuk kepada inspirasi kisah pewayangan "Dewa Ruci" tentang perjuangan Bima yang atas perintah gurunya, Durna, mencari air kehidupan. Pada pencarian tersebut, Bima atau Werkudara, berjumpa dengan "Dewa Ruci".
"Pencarian tersebut, mulai dari gunung hingga lautan," kata Sih yang juga guru di salah satu sekolah swasta di Kota Magelang itu.
Ia menjelaskan dalam lakon "Wangsit Tambora", mereka yang mencari air kehidupan bernama Tirta Perwitasari itu, bukan hanya Bima, tetapi juga para tokoh pewayangan lainnya, seperti Puntadewa, Duryudana, Anoman, dan Sengkuni, serta sejumlah raksasa.
"Semua akhirnya mendapatkan Tirta Perwitasari masing-masing, sebagaimana letusan Gunung Tambora dua abad lalu yang mengakibatkan perubahan kehidupan masyarakat secara global," katanya.
Letusan dahsyat Gunung Tambora terjadi pada 10 April 1815 pukul 19.00 Wita selama sekitar tiga jam. Letusan Tambora, antara lain mengakibatkan tiga kerajaan luluh lantak, tsunami, dan perubahan iklim secara global.
Letusan Tambora juga mengubah ketinggian gunung tersebut dari yang semula 4.300 meter di atas permukaan air laut menjadi 2.850 mdpl dan terbentuk kaldera dengan lebar sekitar enam kilometer serta kedalaman sekitar 600 meter.
Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Supadi Haryanto menyatakan bangga komunitasnya karena mendapat kesempatan dari pengelola BBJ untuk mementaskan karya kesenian kontemporer desa tersebut, bertepatan dengan peringatan 200 tahun letusan Gunung Tambora pada 2015.
"Sebagaimana letusan Gunung Tambora telah menjadi pembelajaran masyarakat dunia, kami juga mempelajari tentang sejarah peristiwa penting itu, dan kemudian kami menyuguhkan menjadi karya kesenian kami," katanya.