Solo (ANTARA) - Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengimbau perlunya pendampingan dari orang tua dan adanya literasi digital menyusul larangan Roblox untuk anak.
Kaprodi Pendidikan Teknik Informatika (PTI) UMS Sukirman S.T., M.T., di Solo, Jawa Tengah, Rabu menanggapi imbauan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., yang melarang anak-anak di bawah umur memainkan gim Roblox.
Ia menilai adanya tujuan baik dari kebijakan tersebut.
“Melarang dalam tanda kutip itu artinya membatasi. Mana yang baik boleh diteruskan, tetapi ada hal-hal yang mungkin tidak sesuai dengan mereka,” katanya.
Sukirman menegaskan secara prinsip dirinya setuju apabila memang terdapat konten kekerasan atau materi yang tidak layak untuk anak-anak di dalam Roblox. Namun, menurutnya, isu konten berbahaya tidak hanya ada pada Roblox.
“Secara umum kami setuju, cuma perlu juga kajian yang lebih mendalam, artinya bukan hanya Kemdikdasmen saja, mungkin kementerian lain misalnya yang berwenang dalam hal ini memblokir kan kementerian Komdigi,” katanya.
Pria yang akrab disapa Kirman itu menilai perlu ada kerja sama antarkementerian untuk membentuk semacam “polisi” yang dapat mengawasi dan menilai kelayakan gim bagi anak-anak. Ia menekankan perlindungan ini penting karena anak-anak adalah penerus bangsa.
Mengajar mata kuliah Game Edukasi, Kirman mengibaratkan gim seperti makanan. Jika berlebihan, dampaknya bisa negatif, misalnya kecanduan atau enggan beraktivitas fisik. Ia pun menegaskan pentingnya penyesuaian konten gim dengan usia pemain.
“Untuk anak-anak, konten yang aman adalah memiliki rating all ages atau semua usia dan tetap dalam pendampingan orang tua. Untuk orang dewasa juga perlu batasan juga, kalau terlalu lama juga sama akibatnya,” katanya.
Kirman menilai gim juga memiliki sisi positif, seperti melatih kreativitas dan keterampilan problem solving. Seperti misalnya Roblox, memberi ruang virtual untuk menjelajah dan berkreasi. Namun, sisi negatif seperti kecanduan atau berkurangnya aktivitas fisik tetap harus diwaspadai.
“Yang paling penting sebenarnya adalah pendampingan orang tua itu yang memiliki peran sangat penting. Untuk membatasi bermain game, durasinya. Bahkan game edukasi pun kalau terlalu lama juga kurang baik. Jadi harus ada batasan durasinya, konten-konten yang dibuat sebaiknya juga yang tidak mengandung kekerasan,” katanya.
Menurut dia, pembatasan durasi bermain gim penting karena secara desain, gim dibuat untuk membuat pemain terus terlibat dan sulit berhenti.
Selain peran orang tua, Kirman juga menyoroti pentingnya literasi digital untuk anak-anak. Literasi ini memberi pemahaman bahwa apa yang terjadi di dalam gim tidak boleh ditiru di dunia nyata, serta pentingnya etika dalam interaksi virtual.
“Mereka juga harus ada wawasan mengenai bahwa tetap ada etika, artinya tidak benar-benar bebas. Artinya mungkin harus memerhatikan psikologis pemain lain. Harus ada penjelasan kepada anak-anak bahwa yang di dalam game ini tidak benar-benar nyata dan harus bisa memilih mana yang baik dan yang benar, dan ini harus ditanamkan juga ke anak-anak,” katanya.
Sementara itu, kebijakan tersebut disampaikan Mendikdasmen sebagai langkah melindungi anak-anak dari konten kekerasan yang dinilai banyak muncul di dalam gim tersebut.
Menteri Mu’ti menilai anak-anak terutama di jenjang SD belum sepenuhnya mampu membedakan antara adegan nyata dan rekayasa.

