Semarang (ANTARA) - Penambahan pasal mengenai kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 berpotensi membuka kotak pandora.
Tidak menutup kemungkinan menyentuh pasal-pasal lainnya, meski Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan bahwa perubahan UUD NRI Tahun 1945 secara terbatas, khusus menambah wewenang lembaga tinggi negara itu untuk menetapkan PPHN,
Penambahan satu pasal ini bakal memicu masalah lain yang lebih banyak dan rumit. Masalahnya, begitu satu pasal masuk dalam UUD NRI Tahun 1945, ada kebutuhan konstitusional lainnya.
Baca juga: Hamdan Zoelva: Tiga hal yang perlu dijawab terkait amendemen UUD
Bahkan, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia periode 2013—2015 Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. memastikan ada kebutuhan mengubah pasal lain untuk melihat UUD NRI Tahun 1945 sebagai satu sistem.
Sebelum UUD 1945 diamendemen sampai keempat kali (mulai 1999 hingga 2002), Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR.
Sejarah Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sempat diceritakan Hamdan Zoelva ketika tampil sebagai narasumber pada Program Salam Radio bertemakan "Perlukah Amendemen UUD untuk Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN)?" yang disiarkan YouTube Salam Radio Channel, Jumat (20/8).
Pada tahun 1960—1967, GBHN itu merupakan pidato-pidato presiden pertama RI Soekarno yang di-transform ke dalam ketetapan MPR.
Selanjutnya, pada masa Orde Baru, pemerintahan H.M. Soeharto, apa yang dibuat oleh presiden ke-2 RI melalui Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) itu direncanakan sedemikian rupa, kemudian dibawa ke MPR, lalu diputuskan MPR.
Artinya, kata Hamdan Zoelva yang pernah menjadi salah satu pengurus Partai Bulan Bintang (PBB), perencanaan pembangunan itu dibuat oleh eksekutif atau Presiden.
Nah, sekarang PPHN yang merupakan transformasi dari GBHN ini yang membuat MPR. Jika tidak melibatkan Presiden dalam penyusunan PPHN akan menjadi masalah dalam implementasinya.
Oleh karena itu, menurut Hamdan Zoelva, kalau dicantolkan PPHN dalam UUD yang sudah berubah itu tidak match dengan sistemnya. Pada zaman dahulu, GBHN itu disiapkan sedemikian rupa oleh Pemerintah. Di sisi lain, GBHN terkait dengan sistem pemerintah secara keseluruhan.
Sistem pemerintahan pada masa itu MPR sebagai lembaga tertinggi negara. MPR membuat sketch design (desain sketsa) besar haluan negara, kemudian Presiden selaku mandataris MPR harus melaksanakan GBHN.
Jika Presiden tidak menjalankan GBHN, DPR dapat mengundang MPR untuk mengadakan sidang istimewa dengan agenda meminta pertanggungjawaban Presiden.
Kalau tidak bisa bertanggung jawab atau tidak mampu mempertanggungjawabkan mengenai pelaksanaan GBHN, Presiden bisa diberhentikan oleh MPR.
Apabila ketentuan pemberhentian itu ada dalam amendemen kelima UUD NRI Tahun 1945 sebagai konsekuensi tidak melaksanakan PPHN, bakal mengubah sejumlah pasal, misalnya Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 24C.
Ketiga pasal terkait dengan Mahkamah Konstitusi ini merupakan hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 1999.
Dalam Pasal 24C Ayat (2) menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Baca juga: Pakar minta MPR pertimbangkan urgensi amendemen UUD 1945
Potret Wajah Indonesia
Dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR/DPD RI Tahun 2021 di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin (16/8), Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan bahwa keberadaan PPHN yang bersifat filosofis menjadi penting untuk memastikan potret wajah Indonesia Masa Depan, 50—100 tahun yang akan datang, yang penuh dengan dinamika perkembangan nasional, regional, dan global sebagai akibat revolusi industri, perkembangan ilmu pengetahuan, serta teknologi dan informasi.
Keberadaan PPHN yang bersifat arahan dipastikan tidak akan mengurangi kewenangan Pemerintah untuk menyusun cetak biru pembangunan nasional, baik dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
PPHN akan menjadi payung ideologi dan konstitusional dalam penyusunan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), RPJP, dan RPJM yang lebih bersifat teknokratis.
Dengan PPHN, rencana strategis Pemerintah yang bersifat visioner akan dijamin pelaksanaannya secara berkelanjutan, tidak terbatas oleh periodisasi pemerintahan yang bersifat electoral.
PPHN akan menjadi landasan setiap rencana strategis pemerintah, seperti pemindahan ibu kota negara dari Provinsi DKI Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, pembangunan infrastruktur tol laut, tol langit, koneksitas antarwilayah, dan rencana pembangunan strategis lainnya.
Untuk mewadahi PPHN dalam bentuk hukum Ketetapan MPR sesuai dengan hasil kajian, kata Ketua MPR RI, memerlukan perubahan UUD, khususnya penambahan wewenang MPR untuk menetapkan PPHN.
Amendemen konstitusi ini diatur dalam Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945, antara lain ada usulan perubahan pasal-pasal UUD yang diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari 711 anggota MPR RI periode 2019—2024.
Disebutkan pula bahwa setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Terkait dengan usulan perubahan UUD ini, Hamdan Zoelva yang juga Ketua Umum Syarikat Islam mengatakan bahwa konstitusi tidak menentukan berapa lama antara waktu pengusulan dan waktu pembahasan. Misalnya, usulan beserta alasannya dibuat pada hari ini, lalu ditandatangani 1/3 anggota MPR, besok bisa dibahas.
Namun, menurut mantan Ketua MK ini, aspek urgensi dan substansi belum terpenuhi apabila MPR melakukan Perubahan Kelima UUD NRI Tahun 1945. Aneh jika kedua aspek ini tidak masuk. Jadi, jangan mengubah konstitusi secara parsial, atau tidak melihat sebagai satu sistem yang utuh.
Hamdan Zoelva lantas menyebut Malaysia yang pernah membuat rencana pembangunan jangka panjang. Negara jiran ini membuat RPJP tidak ada dalam konstitusinya. Akan tetapi, karena konsistensi politician-nya, negarawannya, mereka menggunakan sekaligus menaatinya.
Ditegaskan pula bahwa ini masalah kultur bernegara dan kultur berkonstitusi, bukan pada persoalan konstitusinya.
Apabila sudah saatnya rencana pembangunan jangka panjang harus dievaluasi kembali, misalnya RPJP untuk 25 tahun yang akan datang, cukup dibuat undang-undang. Nah, undang-undang itu saja yang ditaati.
Lagi pula, jika dilakukan amendemen UUD, jangan berharap apa yang dirumuskan itu sangat ideal. Hal ini jelas tidak mungkin karena semua orang berpikiran sama, bahkan menurut versinya yang paling ideal.
Terkait dengan rencana amendemen konstitusi ini juga menimbulkan kekhawatiran sejumlah kalangan. Ada yang beranggapan bahwa PPHN merupakan "pintu masuk" untuk menampung pelbagai kepentingan.
Bahkan, Titi Anggraini selaku pemandu program Kajian Islam dan Konstitusi Salam Radio menyebut ada kekhawatiran di tengah masyarakat bahwa amendemen ini tidak hanya terkait dengan PPHN, tetapi juga akan mengubah ketentuan masa jabatan presiden/wakil presiden.
Kekhawatiran lain yang juga disebut Titi Anggraini adalah pemilihan presiden/wakil presiden tidak secara langsung oleh rakyat, tetapi dipilih kembali melalui MPR. Ada pula yang mempertanyakan urgensi amendemen UUD.
Agar tidak menimbulkan pertanyaan, alangkah baiknya publik mengetahui lebih awal draf Perubahan Kelima UUD NRI Tahun 1945.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: UUD 1945 sebagai refleksi bernegara Bangsa Indonesia
Baca juga: Capres perseorangan masih sebatas mimpi
Baca juga: Siti Mukaromah: UUD 1945 merupakan sumber hukum formal tertinggi