Hamdan Zoelva sebut konflik konstitusional soal PPHN munculkan tanda tanya
Semarang (ANTARA) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengemukakan konflik konstitusional mengenai Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) memunculkan sejumlah pertanyaan, antara lain apakah penambahan wewenang MPR menetapkan PPHN/GBHN ada jaminan menyelesaikan masalah kesinambungan pembangunan.
"Apakah tidak ada pendekatan lain untuk menjamin kesinambungan itu selain amendemen konstitusi?," kata dia dalam webinar bertajuk Membangun Budaya Konstitusi untuk Penguatan Demokrasi Indonesia yang diselenggarakan Salam Radio, Selasa.
Menanggapi sebagian besar pendapat para politikus melihat amendemen UUD NRI Tahun 1945 sebagai sebuah keharusan, dia mengutarakan bahwa pendapat mereka merupakan cara pandang legalistik konstitusional pada problem legal substance (substansi hukum).
Baca juga: Hamdan Zoelva: Pandemi COVID-19 tidak bisa jadi alasan tunda Pemilu 2024
Ketika menghadapi konflik dan problem konstitusional, menurut dia, akan selalu merujuk pada teks konstitusi, undang-undang, dan putusan pengadilan sebagai satu-satunya pendekatan dalam melihat apakah yang merupakan konstitusi dan apa yang tidak merupakan konstitusi.
"Saya berangkat dari satu asumsi dasar bahwa lahirnya teks hukum, termasuk konstitusi, tidak dalam ruang hampa, tetapi dipengaruhi lingkungan sosial, budaya, dan sejarah bangsa itu," kata dia.
Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfiziah Syarikat Islam ini lantas menekankan, "Teks konstitusi adalah refleksi budaya sekaligus cita ideal yang dikehendaki."
Ia menegaskan pula dalam pelaksanaannya tidak berada di menara gading, tetapi berhadapan kondisi politik dan sosial budaya yang dinamis.
"Tantangannya tidak sama antara satu masa dan masa yang lain. Implementasi norma konstitusi harus mengalami adaptasi," kata dia yang pernah sebagai sekretaris Fraksi Partai Bulan Bintang DPR periode 1999-2004.
Begitu pula terkait dengan liberasasi politik dan ekonomi, dia mengemukakan bahwa banyak pandangan akademikus dan politikus yang mempersoalkan liberasi politik dan ekonomi sekarang ini adalah akibat perubahan UUD NRI Tahun 1945.
Oleh karena itu, untuk menghentikannya mereka berpendapat harus melakukan perubahan konstitusi dengan menghilangkan ayat (4) pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Bahkan, mereka beranggapan bahwa penambahan ayat (4) itulah sebagai biang masalahnya.
Dalam ayat (4) menyebutkan perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Menanggapi hal itu, dia menilai paradigma berpikir dalam mengatasi problem atau konflik konstitusional hanya berlandaskan pada pendekatan legalistik formal, yang dalam kerangka sistem hukum L Friedman, yaitu hanya melihat aspek legal substance.
Ia menjelaskan pula bahwa segala masalah konstitusional ditimpakan pada teks dan norma konstitusi yang harus diubah direformulasi. Bahkan, peran pengadilan (Mahkamah Konstitusi) yang memberi tafsir atas problem konstitusional tidak menjadi pilihan.
"Cara berpikir seperti inilah yang saya sebut sebagai cara berpikir yang tidak imbang," katanya yang pernah memimpin MK pada 2013-2015.
Menurut dia, mereka hanya memandang hukum dari norma yang ada dalam teks dan tidak melihat pada aspek lain dari hukum, yaitu dalam konteks berkerjanya dari kerangka budaya dalam mengatasi problem atau konflik konstitusional.
Baca juga: Hamdan Zoelva: Tiga hal yang perlu dijawab terkait amendemen UUD
"Apakah tidak ada pendekatan lain untuk menjamin kesinambungan itu selain amendemen konstitusi?," kata dia dalam webinar bertajuk Membangun Budaya Konstitusi untuk Penguatan Demokrasi Indonesia yang diselenggarakan Salam Radio, Selasa.
Menanggapi sebagian besar pendapat para politikus melihat amendemen UUD NRI Tahun 1945 sebagai sebuah keharusan, dia mengutarakan bahwa pendapat mereka merupakan cara pandang legalistik konstitusional pada problem legal substance (substansi hukum).
Baca juga: Hamdan Zoelva: Pandemi COVID-19 tidak bisa jadi alasan tunda Pemilu 2024
Ketika menghadapi konflik dan problem konstitusional, menurut dia, akan selalu merujuk pada teks konstitusi, undang-undang, dan putusan pengadilan sebagai satu-satunya pendekatan dalam melihat apakah yang merupakan konstitusi dan apa yang tidak merupakan konstitusi.
"Saya berangkat dari satu asumsi dasar bahwa lahirnya teks hukum, termasuk konstitusi, tidak dalam ruang hampa, tetapi dipengaruhi lingkungan sosial, budaya, dan sejarah bangsa itu," kata dia.
Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfiziah Syarikat Islam ini lantas menekankan, "Teks konstitusi adalah refleksi budaya sekaligus cita ideal yang dikehendaki."
Ia menegaskan pula dalam pelaksanaannya tidak berada di menara gading, tetapi berhadapan kondisi politik dan sosial budaya yang dinamis.
"Tantangannya tidak sama antara satu masa dan masa yang lain. Implementasi norma konstitusi harus mengalami adaptasi," kata dia yang pernah sebagai sekretaris Fraksi Partai Bulan Bintang DPR periode 1999-2004.
Begitu pula terkait dengan liberasasi politik dan ekonomi, dia mengemukakan bahwa banyak pandangan akademikus dan politikus yang mempersoalkan liberasi politik dan ekonomi sekarang ini adalah akibat perubahan UUD NRI Tahun 1945.
Oleh karena itu, untuk menghentikannya mereka berpendapat harus melakukan perubahan konstitusi dengan menghilangkan ayat (4) pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Bahkan, mereka beranggapan bahwa penambahan ayat (4) itulah sebagai biang masalahnya.
Dalam ayat (4) menyebutkan perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Menanggapi hal itu, dia menilai paradigma berpikir dalam mengatasi problem atau konflik konstitusional hanya berlandaskan pada pendekatan legalistik formal, yang dalam kerangka sistem hukum L Friedman, yaitu hanya melihat aspek legal substance.
Ia menjelaskan pula bahwa segala masalah konstitusional ditimpakan pada teks dan norma konstitusi yang harus diubah direformulasi. Bahkan, peran pengadilan (Mahkamah Konstitusi) yang memberi tafsir atas problem konstitusional tidak menjadi pilihan.
"Cara berpikir seperti inilah yang saya sebut sebagai cara berpikir yang tidak imbang," katanya yang pernah memimpin MK pada 2013-2015.
Menurut dia, mereka hanya memandang hukum dari norma yang ada dalam teks dan tidak melihat pada aspek lain dari hukum, yaitu dalam konteks berkerjanya dari kerangka budaya dalam mengatasi problem atau konflik konstitusional.
Baca juga: Hamdan Zoelva: Tiga hal yang perlu dijawab terkait amendemen UUD