Purwokerto (ANTARA) - Pagi baru saja dimulai ketika Nana (37), warga Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah membuka jendela kayu berwarna cokelat dengan cat yang mulai mengelupas, lalu membiarkan sinar Matahari menyelinap masuk dan menjalari punggung tangannya.
Di dekatnya, ada meja bulat bermotif marmer dengan paduan warna putih dan abu-abu yang terlihat berkilat karena pantulan cahaya. Pandangan matanya terkunci pada tiga butir obat berwarna merah yang tergeletak di bagian tengah meja.
Sambil menatap obat itu, pikirannya lalu tenggelam kembali ke Bulan Juli 2020, awal penjalanan panjang penuh haru biru menghadapi penyakit tuberkulosis atau yang banyak dikenal masyarakat dengan sebutan TBC.
Saat itu, pertengahan Juli 2020, ia merasakan badannya sangat mudah merasa kelelahan, padahal tidak banyak aktivitas yang dilakukan. Kondisi mudah lelah itu berlangsung hingga Agustus atau satu bulan setelahnya.
Terkadang, suhu badannya perlahan naik dan diikuti mual, hal itu membuat nafsu makannya terus berkurang, tidak banyak makanan yang masuk sehingga badannya terasa makin lemah. Ditambah lagi, ia mulai mengalami batuk-batuk yang berlangsung sepanjang malam, sulit untuknya untuk tidur nyenyak dan beristirahat.
Baca juga: Pelacakan TBC terkendala selama pandemi COVID-19
Perpaduan antara kurang makan, kurang istirahat dan kekhawatiran di dalam hatinya membuat kondisi kesehatannya makin menurun sehingga pada September ia memutuskan mengecek kondisi kesehatan secara menyeluruh di salah satu rumah sakit di dekat tempat tinggalnya.
Pada September 2020 itu, ia juga memeriksakan diri ke poli paru karena khawatir telah terpapar COVID-19. Dokter yang menangani lantas langsung merujuk untuk melakukan tes cepat dan tes usap, namun hasilnya negatif. Saat itu, ia sedikit merasa lega.
Namun, pemeriksaan lanjutan tetap dilakukan. Tes darah, tes dahak, dan berbagai pemeriksaan lain juga dijalani. Hingga akhirnya diketahui bahwa ia menderita penyakit tuberkulosis yang disertai malnutrisi dan diwajibkan menjalani pengobatan rutin hingga enam bulan ke depan.
Pada saat itu, ia merasa awan kelabu menggulung di atas kepalanya. Di tengah pandemi COVID-19 yang membuatnya penuh khawatir, ternyata ia juga harus menghadapi penyakit TB paru dan meminum obat secara rutin.
Gulungan awan hitam itu muncul karena kondisi kesehatan tentu membuatnya harus istirahat total hingga pulih dan sembuh. Selama itu pula, ia tidak bisa membuat kue dan tidak bisa menjualnya seperti yang selama ini dilakukan.
Pernah ia mencoba memaksakan diri mengolah adonan dan memanggang kue, namun setelahnya kondisi tubuhnya drop. Bahkan untuk berjalan ke kamar mandi pun ia merasa kesulitan. Setelah itu, ia memutuskan istirahat total.
Baca juga: Ponpes di Jateng sasaran literasi melek tuberkulosis
Namun, hidup adalah roda yang harus terus dikayuh agar dapat berjalan. Dia perlu mengayuh semangatnya untuk menjalani pengobatan rutin hingga sembuh dan bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala.
Apalagi, selama ia sakit, keluarga dan sahabatnya terus memberikan dukungan. Hal itu menimbulkan haru yang merambat di dadanya yang kadang terasa sesak karena batuk berkepanjangan.
Kelabu di hatinya pun perlahan menjadi biru. Disimpannya rapat-rapat gulungan awan hitam di hatinya. Ia sadar harus bangkit dan disiplin menjalani pengobatan.
Kini pengobatannya sudah hampir genap berjalan enam bulan. Ia tinggal menunggu jadwal kontrol lanjutan untuk melihat evaluasi pengobatan dan perkembangan kesehatan.
Enam bulan berlalu, berat badannya yang sempat turun 10 kilogram saat ini mulai beranjak naik, walaupun masih sering merasa mudah lelah, namun ia sudah terbebas dari sesak napas dan tidak lagi mengalami batuk berkepanjangan.
Untuk mempercepat penyembuhan, ia juga berupaya mengonsumsi makanan bergizi, tidur cukup, dan banyak beristirahat. Di bawah pengawasan dokter, ia fokus pada upaya pemulihan.
Baca juga: Bupati berharap Banyumas bebas dari TBC pada 2023
Sungguh ia merindukan wangi lelehan mentega bercampur serbuk kayu manis yang memenuhi udara saat jemarinya sibuk menguleni adonan.
Saat senja mulai berganti malam, ia akan sibuk merapal doa, berharap segera bisa sembuh seperti sedia kala dan bisa membuat kue-kue yang sangat lezat lagi.
Mencegah TB
Dokter spesialis paru dari RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto, Kabupaten Banyumas, dr Wisuda Moniqa Silviyana, SpP mengatakan tuberkulosis atau TB paru yang juga dikenal masyarakat dengan sebutan TBC adalah penyakit peradangan paru yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium Tuberculosis.
Gejala utamanya batuk yang biasanya berdahak lebih dari dua minggu dan dapat disertai gejala pernapasan lain, seperti sesak napas, batuk darah, dan nyeri dada. Dapat juga diikuti gejala tambahan berupa penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, sering mengalami demam, banyak keluar keringat, lemas dan lesu.
Masyarakat tentu harus mewaspadai penyakit ini dan melakukan berbagai upaya pencegahan, karena penyakit ini menular. Penularan pada umumnya terjadi melalui udara ketika penderita TB aktif memercikkan percikan dahak saat batuk atau bersin, bakteri TB akan ikut keluar terbawa ke udara selanjutnya akan masuk tubuh orang lain melalui udara yang mengandung kuman TB yang dihirupnya.
Kendati demikian, hal yang perlu diingat adalah pasien bisa sembuh. Penderita penyakit ini bisa disembuhkan. Asalkan meminum obat rutin sesuai dengan regimen panduan pengobatannya.
Misalkan untuk pasien TB kategori 1 yakni untuk pasien dengan kasus baru atau kasus yang belum pernah diobati sebelumnya, maka lama pengobatan adalah enam bulan, sedangkan untuk pasien TB kategori 2 yakni pasien yang sudah pernah diobati sebelumnya atau misalnya pada TB kasus kambuh, atau TB kasus gagal pengobatan, atau TB kasus riwayat putus obat, maka lama pengobatan delapan bulan yang di antaranya menggunakan obat suntik selama dua bulan.
Baca juga: Stunting dan TBC jadi prioritas penanganan Kemenkes di Jateng
Penyakit TB, kata dia, dapat mengganggu sistem kekebalan dan menyebabkan penurunan nafsu makan sehingga menyebabkan asupan berkurang dan menjadikan pasien makin lemas karena kurang nutrisi.
Untuk mencegah infeksi penyakit TB maka upaya menjaga daya tahan tubuh menjadi hal yang mutlak dilakukan.
Oleh karena penyakit ini sangat mudah menyerang mereka yang pertahanan tubuhnya lemah, sehingga pola hidup bersih dan sehat, mengonsumsi makanan bergizi seimbang, minum air putih dan rutin berolah raga sebagai keharusan.
Bahkan, perlu juga diiringi upaya menjaga lingkungan sehat, mengupayakan jendela rumah dibuka ketika pagi hari agar cahaya Matahari masuk dan pertukaran udara berlangsung dengan baik, membersihkan lantai rumah secara berkala. Jika diperlukan, dapat menggunakan disinfektan untuk membersihkan permukaan benda.
Selain itu, hal yang perlu menjadi perhatian utama, bagaimana bersama-sama menjaga etika batuk, tidak meludah sembarangan dan penggunaan masker, karena penularan penyakit ini melalui udara.
Sementara itu, bagi mereka yang sudah terlanjur terkena penyakit ini, prioritas utama menjalani pengobatan sesuai kategori pengobatan hingga tuntas, hingga selesai dan dinyatakan sembuh oleh dokter.
Disiplin minum obat dan gaya hidup sehat menjadi kunci utama yang menyertai upaya penyembuhan penyakit ini.
Dari narasi tersebut, tentu dapat dipetik pelajaran bersama mengenai perlunya edukasi yang intensif bagi masyarakat dan tentunya juga bagi penderita tuberkulosis.
Dengan edukasi yang intensif, maka akan timbul semangat dan kesadaran bersama untuk saling bergandengan tangan memutus mata rantai penularan tuberkulosis.
Ada api semangat yang harus dijaga agar dapat tetap menyala untuk menjalani pola hidup bersih sehat.
Yang juga penting, memahami bagaimana penularan penyakit ini sehingga bisa bersama-sama melakukan pencegahan.
Baca juga: Kenali gejala penyakit TBC sejak dini
Baca juga: Kisah dari Borobudur gugah perang lawan TBC