Semarang (ANTARA) - Memiliki rumah adalah impian terbesar bagi Diah (38), guru honorer, yang kini bersama 57 keluarga lainnya menikmati bantuan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Perumahan Curugsewu Asri, Kecamatan Pantean, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
"Alhamdulillah, kami bisa bahagia sekali mendapatkan perumahan di sini yang berbasis komunitas," kata Diah.
Untuk mendapatkan rumah dengan luas bangunan 6 x 6 meter persegi di atas tanah 14 x 6 meter persegi, sejumlah calon penghuni Perumahan Curugsewu Asri terlebih dahulu membentuk komunitas atas inisasi Pusat Riset Teknologi IHUDRC Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip).
Baca juga: Keberlanjutan perumahan berbasis komunitas di tengah pandemi
Tidak pelak lagi, selain berterima kasih kepada Kementerian PUPR, Diah juga menyampaikan hal yang sama kepada Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC), Pemerintah Kabupaten Kendal, Bank Tabungan Negara (BTN), rekan-rekan guru honorer, freelance, pekerja bengkel, dan para pedagang.
Penghuni lain, Rudo Dwi Radmoko (35) juga merasa beruntung mendapatkan kesempatan mendapat bantuan rumah berbasis komunitas dengan dukungan dari Kementerian PUPR.
Dengan angsuran Rp571 ribu per bulan dalam jangka waktu penyelesaian cicilan (tenor) 10 tahun, dia menempati hunian yang lokasi rumahnya sangat terjangkau dari jalan utama, dari sekolah, dari pasar, dan fasilitas umum lainnya.
Rudo lantas berharap masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di seluruh Indonesia mendapatkan bantuan serupa.
Bank Dunia
Tidak pelak lagi, begitu Bank Dunia merilis laporan bertajuk Indonesia Public Expenditure Review 2020: Spending For Better Results, inisiator perumahan berbasis komunitas Dr.-Ing. Asnawi Manaf, S.T. angkat bicara.
Bank Dunia mengevaluasi program pembiayaan perumahan di Indonesia, di antaranya menilai program pembiayaan perumahan untuk memenuhi target kepemilikan rumah dan hunian tidak efisien. Masalahnya, subsidi yang digunakan mahal dalam hal biaya fiskal di muka dan utang pada masa depan.
Bank Dunia juga menyoroti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) maupun subsidi selisih bunga (SSB) hanya menguntungkan bank dan pengembang daripada konsumen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sehingga sektor swasta angkat kaki.
Sementara itu, Bank Dunia menilai program pembiayaan perumahan yang lebih efisien adalah program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT). Hal ini mengingat BP2BT berlawanan dengan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dan subsidi selisih bunga (SSB).
Dalam konteks ini, kata Asnawi, diskursus atau delivery system (sistem penyediaan) dari Bank Dunia sama dengan FLPP. Sistem penyediaan adalah moda produksinya berbasis pada developer. Sepanjang delivery system, tidak akan bisa jalan, kecuali FLPP tidak ada.
Upaya memaksimalkan realisasi serapan program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) pada tahun anggaran 2021, menurut pakar perumahan dari Undip ini, moda produksinya harus berubah.
Asnawi Manaf mengemukakan hal itu ketika merespons pernyataan Direktur Jendral Perumahan Khalawi Abdul Hamid saat Kick Off Meeting Pelaksanaan BP2BT Tahun 2021 di Jakarta, Kamis (28/1).
Khalawi Abdul Hamid mengungkapkan selama 2 tahun program BP2BT tidak berjalan optimal, bahkan pencairannya hanya 8,8 persen. Padahal, Pemerintah sudah memberi sejumlah relaksasi, misalnya ketentuan lama waktu menabung dari semula minimal 6 bulan telah dipangkas hanya 3 bulan.
Berbasis Komunitas
Atas ketidakberhasilan program tersebut, Kepala Pusat Riset Teknologi IHUDRC Undip Semarang Asnawi Manaf mengusulkan program BP2BT berbasis komunitas karena bakal mengurangi beban negara sekaligus membuka peluang bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk mendapat rumah yang terjangkau.
Hal itu mengingat jumlah MBR akan lebih banyak karena mereka berpenghasilan di bawah Rp6 juta per bulan, sedangkan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan di bawah Rp8 juta.
Dengan demikian, upaya Kementerian PUPR memperbaiki program Penyediaan Fasilitas Papan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang dibiayai oleh Bank Dunia bakal berjalan maksimal.
Soal fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan ini, Asnawi memandang perlu mempertahankan skema FPLP meski Bank Dunia menilai program pembiayaan perumahan untuk memenuhi target kepemilikan rumah dan hunian tidak efisien. Masalahnya, subsidi yang digunakan relatif mahal dalam hal biaya fiskal di muka dan utang pada masa depan.
Dari analisis IHUDRC, FLPP membebani fiskal (cost for money) hingga Rp60 juta per unit. Beda dengan BP2BT hanya Rp40 juta per unit. Artinya, dengan anggaran negara yang makin terbatas, akan bisa membantu lebih banyak keluarga Indonesia yang belum punya rumah.
Akan tetapi, Asnawi mengingatkan perlunya mengubah moda produksi BP2BT bila ingin skema ini berjalan.
Menanggapi pernyataan Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR Eko Djoeli Heripoerwanto yang menganggap penting mengubah pola strategi untuk percepatan pelaksanaan program BP2BT, Asnawi menilai bagus strategi dengan memperbanyak kerja sama dengan bank pelaksana penyaluran BP2BT.
"Asalkan tidak boleh lupa bahwa BP2BT kalau ingin berjalan harus mengubah delivery system atau moda produksinya dari moda produksi berbasis pada developer (supply side) ke moda produksi berbasis komunitas (demand driven) dengan dukungan kolaborasi ABCG sebagaimana diusulkan IHUDRC," kata Asnawi.
Oleh karena itu, perlu adanya mindset baru yang disebut mindset perumahan berbasis komunitas dengan dukungan kolaborasi academic, business, community, dan government (ABCG).
Baca juga: Pakar: Tagline Kementerian PUPR dukung perumahan berbasis komunitas
Baca juga: Pakar perumahan: Negara harus hadir agar MBR jangkau rumah murah
Baca juga: Pakar: Skema perumahan berbasis komunintas relevan pada masa pandemi