Mereka adalah Yosaphat Soedarso (1925-1962). Ia gugur di Laut Aru, 13 Januari 1962, bersama pasukannya di KRI Macan Tutul dalam Perang Trikora untuk pembebasan Irian Barat, demi menyelamatkan dua kapal perang Indonesia lainnya, KRI Harimau dan KRI Macan Kumbang, yang tersergap gempuran militer Belanda.
Pemerintah menaikkan satu pangkat menjadi Laksamana Muda Anumerta kepada Yos Sudarso dan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 088/TK/1973.
Selain itu Monsinyur Albertus Magnus Soegijapranoto SJ (1896-1963), pribumi pertama Indonesia yang pada 6 November 1940 ditahbiskan sebagai uskup untuk Vikaris Apostolik Semarang.
Pernyataan Soegijapranoto yang hingga saat ini kiranya membumi dalam kalbu terutama umat Katolik Indonesia adalah "Menjadi 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia". Film kepahlawanan Soegija dengan sutradara Garin Nugroho, rencananya beredar mulai 7 Juni 2012.
Gelar Pahlawan Nasional kepada Soegija berdasarkan SK Presiden RI Nomor 152 Tahun 1963. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang.
Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono (1900-1986), seorang pelopor kemerdekaan Indonesia juga pernah bersentuhan dengan sekolah Van Lith. Ia terjun dalam dunia politik antara lain sebagai anggota Volksraad (1931-1942), pendiri Partai Katolik kala itu, dan menduduki jabatan beberapa menteri, kala Indonesia merdeka.
Pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI Nomor 113/TK/2011. Paus Yohanes Paulus II menganugerahkan Bintang Ordo Gregorius Agung, sedangkan Ordo Gregorius Agung mengangkat sebagai Kesatria Komandator Golongan Sipil. Kasimo dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta
Satu lainnya adalah Cornel Simanjuntak (1921-1946). Selain militer pada Perang Kemerdekaan, ia juga pencipta lagu bernafaskan kepahlawanan dan cinta tanah air seperti bertajuk "Maju Tak Gentar", "Tanah Tumpah Darah", "Teguh Kukuh Berlapis Baja", "Indonesia Tetap Merdeka", dan "Pada Pahlawan".
Tanda kehormatan Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah pada 1961 mengantar jasad komponis itu pada 10 November 1978 dipindah dari Pemakaman Kerkop Sasana Laya Yogyakarta ke TMP Kusumanegara Yogyakarta, sedangkan di nisannya tertulis "Gugur sebagai seniman dan prajurit tanah air".
Kepala SMA Van Lith Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah Bruder Albertus Suwarto mengatakan, empat pahlawan nasional itu pernah menjalani pendidikan di tempat yang dirintis oleh Pastor Fransiskus Gregorius Yosephus Van Lith sejak 1904, berdasarkan penelusuran informasi dan data, termasuk melalui internet.
Van Lith adalah seorang pastor ordo Sarekat Yesus yang lahir di Belanda pada 17 Mei 1863. Dia datang ke Jawa pada 1896, meninggal di Semarang pada 17 Mei 1926, dan dimakamkan di Muntilan, tak jauh dari kompleks sekolah dengan model asrama tersebut.
"Kami juga menelusuri melalui internet. Kalau untuk 'buku induk' (berisi data siswa, red.) sudah tidak ada, karena sekolah tutup pada 1942. Di sekolah sudah tidak ada dokumen yang tersisa, hilang karena perang," katanya.
Ia mencontohkan tentang temuan data Yos Sudarso. Pada 1942 ia sekolah di Van Lith tetapi tidak selesai karena Jepang datang.
"Sekolah bubar dan tempat ini menjadi interniran," katanya.
Sekolah yang pada masa lampau mendidik calon guru sekolah dasar dengan sistem asrama itu dirintis oleh Romo Van Lith sebagai RC Kweekschool dan Normaalschool.
Pada 1952, sekolah tersebut tangani Kongregasi Bruder FIC, kemudian berkembang menjadi Sekolah Guru B, SMP, dan lalu Sekolah Guru A Xaverius. Pada 1966 SGA Xaverius berubah menjadi Sekolah Pendidikan Guru Van Lith dan pada 1992 menjadi SMA Van Lith. Kompleks pendidikan Van Lith sebagai satu sekolah tertua Belanda di Indonesia.
Pihak sekolah nampaknya belum secara spesifik menyusun catatan kisah empat pahlawan nasional itu semasa menjalani pendidikan di tempat itu. Namun gelar pahlawan yang telah melekat kepada empat tokoh tersebut menginspirasi pengelola sekolah Van Lith, sejak Januari 2012 membangun Monumen Empat Pahlawan tersebut.
Arsitek monumen itu Florentinus Sudaryo berasal dari Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, sedangkan pembuat patung adalah Iswanto berasal dari Karangwatu, Muntilan.
Monumen berupa patung setengah badan empat tokoh diapit patung Van Lith di halaman sekolah itu diresmikan bertepatan dengan perayaan sejumlah momentum yakni Hari Van Lith 2012, Hari Pentakosta (kalender liturgi gereja), dan pengumuman kelulusan siswa SMA Van Lith angkatan XIX.
Pada Sabtu (26/5) petang, keluarga besar SMA Van Lith menggelar misa kudus secara sederhana untuk perayaan itu di halaman sekolahnya dengan dipimpin Direktur Museum Misi Muntilan Romo M. Nur Widi. Prasasti monumen ditandatangani oleh Kepala Yayasan Pangudi Luhur Pusat (Semarang) Bruder Frans Sugi, sedangkan pemberkatan melalui pemercikan air suci oleh Romo Nur Widi.
Dua prasasti tertempel di dinding monumen bertuliskan "Jaarboek 1938-1939: Toedjoean convitc itoe tidak hanja menjediakan tempat soepaja anak-anak bersekolah radjin-radjin, lagi poela jang dipentingkan ja'ni soepaja anak-anak itoe mendapat didikan baik menoeroet faham Katholiek". Jaarboek adalah laporan tahunan.
Satu prasasti lain bertuliskan kutipan satu pernyataan Van Lith, "Tujuan kita adalah memberi pendidikan yang tinggi kepada pemuda-pemuda Jawa (Indonesia) sehingga mereka mendapat kedudukan yang baik di dalam masyarakat".
Bruder Suwarto yang saat peresmian monumen itu membacakan dengan lantang tulisan di dua prasasti tersebut mengaku, semula terinspirasi informasi dari mulut ke mulut tentang empat tokoh itu dan kemudian menelusuri data mereka melalui dunia maya.
Ia mengemukakan tentang fungsi edukasi atas pembangunan Monumen Empat Pahlawan di sekolahnya yakni pendidikan tentang relegiusitas dan nasionalisme.
Mungkin, katanya, sekolah Van Lith hingga saat ini satu-satunya sekolah di Indonesia yang alumninya terbanyak menjadi pahlawan nasional, sedangkan harapannya keluarga besar Van Lith tidak hanya bangga terhadap masa lalu mereka, tetapi generasi muda juga mempunyai semangat seperti mereka.
Romo Nur Widi yang juga Ketua Komisi Karya Misioner Keuskupan Agung Semarang itu mengatakan, mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kepenuhan Roh Kudus sehingga menjalani kehidupannya dengan semangat berkobar-kobar.
Roh Kudus dalam ajaran Kristen digambarkan sebagai bola api menyala-nyala yang menaungi para murid Yesus Kristus, pada 50 hari setelah Nabi Isa bangkit dari kematian disalib dan kemudian naik ke surga.
"Orang yang hidup dari Roh Kudus itu berani, mau berkata-kata dengan cermat dan tepat sehingga mudah dimengerti orang lain, untuk menyatakan perbuatan-perbuatan besar Allah," katanya.
Ia menyebut empat tokoh itu memiliki kebeningan hati karena kepenuhan Roh Kudus.
"Mereka bening hatinya, dengan cermat, teliti, dan tepat menyatakan perbuatan besar Allah. Pribadi yang beriman mendalam, tidak mudah lapuk, tangguh imannya untuk terus dipimpin Roh Kudus. Buah Roh Kudus adalah suka cita, damai, sabar, setia, lemah lembut, dan penguasaan diri," katanya.
Ia menyebut Yos Sudarso dan Kasimo, masing-masing sebagai saksi kebenaran, Soegija memiliki militansi sebagai nasionalis dan beriman, sedangkan Cornel Simanjuntak melalui karya seni kebaikannya berperan penting dalam membangun semangat cinta Tanah Air.
"Mari kita bercermin kepada tokoh-tokoh itu yang dipanggil dan diinspirasi sabda Tuhan. Kita mau membuka hati untuk karya Roh Kudus, untuk 'dipinjam' menjadi insan yang hidup atas kehendak Allah," katanya.
Selain mereka kepenuhan dengan Roh Kudus, katanya, semangat dan spiritualitas Van Lith telah mengalir kepada empat tokoh itu sehingga menjadi orang baik dan berguna untuk masyarakat, bangsa, dan negara.
Empat tokoh yang masa lalunya pernah bersentuhan dengan pendidikan Van Lith itu pun mungkin tak menduga, spiritualitas hidup yang mereka jalani bakal menjadi teladan pengobar semangat kebaikan, khususnya untuk keluarga besar sekolah Van Lith saat ini dan semoga kelak.
Yang pasti, Monumen Empat Pahlawan itu cermin karya bakti mereka yang bermakna.