Solo (ANTARA) -
Oleh
Aris Rakhmadi
Dosen Teknik Informatika, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Di tengah pertumbuhan pesat industri halal global, Indonesia justru menghadapi tantangan mendasar: bagaimana menjamin kehalalan produk secara transparan, cepat, dan andal. Dalam kapasitasnya sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar beragama Islam di dunia, penyediaan jaminan halal semestinya menjadi kepentingan utama, bukan hanya prosedur administratif belaka.
Sayangnya, sistem sertifikasi halal di Indonesia masih didominasi oleh metode manual, sertifikasi kertas, dan proses audit yang belum terintegrasi secara digital penuh.
Isu ini mencuat dalam konferensi internasional SIML 2025 (International Conference on Smart Computing, IoT, and Machine Learning) yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Salah satu materi menarik disampaikan oleh Prof. Anton Satria Prabuwono dari Universiti Teknologi Petronas, Malaysia. Beliau memperkenalkan Halal Application Transparent Traceability System (HATTS), sebuah sistem pelacakan halal berbasis blockchain dan Internet of Things (IoT) yang telah diujicobakan secara nyata pada rantai pasok kakao di Filipina.
Mungkin mengejutkan, bahwa Filipina—negara dengan populasi Muslim minoritas—lebih dahulu menerapkan sistem pelacakan halal yang terotomatisasi dan berbasis teknologi. HATTS dikembangkan melalui kolaborasi antara universitas, pemerintah, dan sektor swasta (triple helix). Sistem ini mengintegrasikan sensor IoT di peternakan dan pabrik untuk menangkap data suhu, kelembaban, dan proses produksi, lalu menyimpannya secara otomatis ke dalam sistem blockchain yang aman dan tidak dapat dimanipulasi.
Konsumen cukup memindai QR Code pada produk untuk mengetahui riwayat bahan baku, metode penyembelihan, hingga siapa lembaga sertifikasi halalnya. Semua data disajikan secara transparan. Lebih dari itu, HATTS menggunakan smart contract dan analitik cerdas untuk mendeteksi potensi penyimpangan dan membantu pengambilan keputusan bisnis berbasis data.
Berdasarkan data yang dirilis sebelum pemisahan Kementerian Koperasi dan UMKM, Indonesia tercatat memiliki lebih dari 60 juta unit UMKM yang aktif berkontribusi dalam perekonomian nasional, termasuk usaha berbasis rumah tangga dan sektor informal.
Jumlah ini menunjukkan betapa banyak produk minuman dan makanan yang beredar di masyarakat dengan standar kehalalan yang beragam. Namun sistem audit yang ada masih belum mampu menjangkau semua pelaku usaha secara merata, apalagi secara real-time.
Di sisi lain, tren global mulai mewajibkan sertifikasi halal digital dengan sistem pelacakan. Negara-negara tujuan ekspor seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Malaysia kini mengembangkan sistem halal terintegrasi untuk menjamin keaslian produk dari negara asal.
Jika Indonesia tidak segera mengadopsi teknologi serupa, kita berisiko kehilangan kepercayaan pasar global dan tertinggal dalam peta persaingan industri halal dunia.
Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan sistem traceability halal sendiri. Kita memiliki ekosistem perguruan tinggi teknologi yang kuat, komunitas start-up berbasis blockchain dan IoT yang mulai berkembang, serta dukungan regulasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang semakin terbuka terhadap digitalisasi.
Yang dibutuhkan adalah kolaborasi konkret antar pemangku kepentingan perguruan tinggi, industri, pemerintah, dan komunitas.
Universitas dapat mengambil peran riset dan pengembangan, pemerintah menyediakan kerangka regulasi dan insentif, sementara pelaku industri bersedia membuka data dan ikut serta dalam pengujian sistem. Teknologi semacam HATTS bisa menjadi inspirasi awal, namun implementasi lokal harus disesuaikan dengan konteks Indonesia, baik dari segi budaya, regulasi, maupun infrastruktur.
Kita tidak sedang bicara soal masa depan. Teknologi halal berbasis blockchain dan IoT telah hadir dan terbukti mampu meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepercayaan publik. Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah Indonesia mampu membangunnya, melainkan: apakah kita cukup cepat dan serius untuk memulainya?
Sudah waktunya Indonesia memimpin, bukan hanya mengikuti, dalam industri halal global yang kian kompetitif. Dimulai dari langkah kecil: membangun sistem yang tidak hanya menyatakan halal, tapi juga membuktikannya secara real-time dan transparan.