Solo (ANTARA) - Pagi itu, di sebuah sekolah dasar di pelosok lereng Merapi, udara masih diselimuti kabut. Anak-anak datang dengan langkah ringan, sebagian membawa sandal yang sudah menipis. Di depan kelas berdiri seorang guru, wajahnya berseri meski gajinya tak seberapa. Di tangan kanan ia menggenggam kapur, di tangan kiri memegang selembar buku catatan.
Dengan suara mantap ia membuka pelajaran, tapi sejatinya ia tengah menyalakan keyakinan bahwa masa depan anak-anak desa initak boleh berhenti di batas sawah dan ladang. Dari ruang kelas sederhana itulah, jalan menuju kesejahteraan mulai dibangun, bukan lewat uang, melainkan lewat pengetahuan dan keyakinan.
Di negeri ini, guru sering menjadi sosok yang paling dekat dengan denyut kehidupan rakyat kecil. Mereka tahu harga beras, tahu siapa yang belum makan, tahu siapa anak yang belajar sambil membantu orang tua di ladang. Guru di sekolah desa bukan hanya pengajar, tetapi juga penggerak sosial yang menghidupkan harapan di tengah keterbatasan. Mereka tidak menunggu keajaiban datang dari atas, tetapi menciptakan keajaiban kecil dari bawah.
Setiap kali mereka memotivasi anak untuk tetap bersekolah, sesungguhnya mereka sedang melawan garis takdir kemiskinan yang diyakini diwariskan turun-temurun.
Banyak orang mengira kesejahteraan dimulai dari angka-angka statistik dan pertumbuhan ekonomi. Namun sesungguhnya di ruang-ruang kelas kecil di pelosok desa, kesejahteraan justru sedang disemai dalam bentuk nilai, semangat, dan keberanian untuk bermimpi.
Guru transformasi memahami hal itu. Ia melihat setiap anak bukan sebagai beban, melainkan potensi. Ia tidak menyerah pada kondisi yang terbatas. Kapur yang habis, buku yang sobek, meja yang lapuk, atau gedung hampir ambruk bukan alasan untuk berhenti mengajar. Justru dari situ muncul daya tahan dan kreativitas. Mereka menjadikan keterbatasan sebagai sumber kekuatan, bukan sumber keluhan.
Ketika guru berbicara tentang cita-cita, ia sesungguhnya sedang menanamkan kesadaran sosial. Ketika ia mengajarkan kejujuran dan kerja keras, ia sedang membangun fondasi moral bagi kesejahteraan yang berkelanjutan. Sebab kesejahteraan sejati tidak hanya lahir dari uang, tetapi dari kemampuan manusia untuk berpikir, bekerja, dan menghargai hidup.
Guru transformasi tidak mengajarkan kemewahan, melainkan menghidupkan kesederhanaan yang bermakna. Ia mengajarkan murid-muridnya untuk tidak takut bermimpi, walau kaki mereka masih berpijak di tanah merah desa yang kering.
Di banyak tempat, guru semacam ini menjadi tumpuan perubahan sosial.
Mereka membuka jembatan antara sekolah dan masyarakat. Ada guru yang mengajak warga membangun taman baca, ada yang mendampingi orang tua belajar mengelola keuangan, bahkan ada yang membantu anak-anak membuat produk sederhana dari bahan lokal untuk belajar wirausaha. Semua itu dilakukan tanpa banyak sorotan, tanpa pamrih. Mereka bekerja bukan untuk pujian, tetapi karena sadar, pendidikan adalah jalan panjang menuju kemandirian. Dari sekolah desa itulah muncul bibit-bibit manusia tangguh yang kelak menjadi pilar pembangunan.
Peran guru transformasi tidak bisa dilepaskan dari kekuatan moral. Ia mengajar dengan hati, bukan hanya dengan metode. Ia memahami bahwa murid bukan sekadar penerima ilmu, tetapi manusia utuh dengan perasaan, kegelisahan, dan harapan. Ia menyapa dengan empati, bukan sekadar memberi instruksi. Dalam hubungan semacam ini, sekolah menjadi ruang hidup, bukan sekadar tempat belajar.
Guru menjadi sosok yang menuntun, bukan hanya mengarahkan. Ia hadir sebagai sahabat, bukan penguasa kelas. Dari situ tumbuh rasa percaya, dan dari rasa percaya tumbuh keberanian untuk bermimpi.
Namun, jalan yang mereka tempuh tidak selalu mudah. Banyak guru di pelosok menghadapi realitas pahit: fasilitas minim, akses pelatihan terbatas, dan kesejahteraan yang belum memadai.
Mereka sering menempuh perjalanan jauh, menyeberang sungai atau berjalan di jalan berbatu, demi memastikan anak-anak tetap belajar. Meski begitu, mereka tidak menyerah. Ada keyakinan yang membuat mereka bertahan, bahwa setiap langkah kecil di sekolah desa adalah bagian dari perjuangan besar untuk mengangkat martabat bangsa. Mereka tahu, mungkin hasilnyatak akan langsung terlihat, tapi mereka tetap menyalakan lilin dalam gelap. Karena tanpa cahaya dari mereka, generasi penerusakan kehilangan arah.
Transformasi yang mereka lakukan memang tidak selalu tercatat dalam laporan resmi. Tapi jika kita mau melihat lebih dalam, di setiap anak yang berhasil menembus batas hidupnya, di setiap keluarga yang mulai menghargai pentingnya pendidikan, di setiap desa yang mulai tumbuh semangat belajar, di sanalah jejak guru transformasi mulai terlihat jelas. Mereka membuktikan bahwa perubahan tidak harus dimulai dari kebijakan besar, cukup dari ketulusan dan keberanian seorang guru untuk bermimpi bagi murid-muridnya.
Negeri ini membutuhkan lebih banyak guru seperti mereka. Guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menggerakkan. Guru yang tidak hanya memberi nilai, tetapi juga menanam nilai. Guru yang mampu menjadikan pendidikan sebagai jembatan menuju kesejahteraan rakyat kecil. Pemerintah boleh membuat program, tetapi tanpa semangat guru transformasi, semua hanya akan menjadi rencana di atas kertas. Karena yang menggerakkan kehidupan bukanlah sistem, melainkan manusia yang percaya pada makna pengabdian.
Ketika seorang anak dari desa berhasil melanjutkan sekolah, membantu orang tuanya, dan kemudian mengabdi kembali untuk lingkungannya, di situlah kesejahteraan menemukan bentuk paling indah. Jalan menuju kemakmuran bangsa sesungguhnya dimulai dari papan tulis sederhana di sekolah desa. Dan di sana, berdiri sosok yang mungkin tak banyak bicara, tetapi pekerjaannya menyentuh inti kemanusiaan. Dialah guru transformasi, penjaga api kecil yang menuntun rakyat kecil menuju gerbang kesejahteraan yang sejati.
*Dosen Prodi Pendidikan Akuntansi, Kaprodi Magister Administrasi Pendidikan FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta

