Solo (ANTARA) - Bencana selalu datang seperti tamu gelap yang tak diundang. Ia tidak memberi aba-aba, tidak meminta izin, dan selalu meninggalkan jejak pahit yang sulit dihapus. Sumatera kembali mencatat duka, bergabung dengan rangkaian tragedi yang seolah tidak pernah benar-benar berhenti melanda negeri ini.
Indonesia yang berdiri di atas perut bumi yang gelisah hidup berdampingan dengan ketidakpastian, namun kesadaran kolektif tentang kebencanaan masih sering tertinggal jauh di belakang. Di tengah hiruk-pikuk bantuan logistik dan kerja-kerja darurat, ada satu hal yang kerap luput dari perhatian, luka yang tak terlihat, luka yang bersarang di dalam batin, terutama pada anak-anak.
Pemulihan psikologis pascabencana bukanlah pekerjaan satu profesi. Tidak cukup hanya dokter, psikolog, guru, atau konselor yang bekerja. Semua harus terhubung, bekerja tanpa tembok sektoral, tanpa ego profesi. Bencana bukan ruang untuk menunjukkan siapa yang paling ahli, tetapi ruang untuk saling mendengarkan dan menyatukan keahlian demi meringankan duka. Kerap kali saya melihat sendiri bagaimana niat baik berubah buntu hanya karena setiap pihak berjalan dengan cara dan standar masing-masing. Padahal, pemulihan anak pascabencana membutuhkan jembatan kolaborasi, bukan kabut ego yang menghalangi pandang.
Persoalan anak jauh lebih kompleks daripada yang dialami orang dewasa. Anak tidak punya bahasa untuk menyebutkan apa yang mereka rasakan. Ketakutan bersembunyi di balik tatapan kosong, kegelisahan menjelma dalam tangis yang tiba-tiba, mimpi buruk datang tanpa alasan.
Trauma pada anak tidak selalu muncul hari ini. Ia bisa bermunculan bertahun-tahun kemudian, mempengaruhi karakter, harga diri, hingga masa depan mereka. Karena itu, penanganan harus dilakukan secepatnya, sebelum ketakutan itu menetap di alam batin mereka. Trauma yang tidak dicegah akan tumbuh seperti akar liar dalam gelap, menjalar ke segala sisi perkembangan mereka.
Salah satu cara yang dapat digunakan adalah mengalihkan arus traumatis melalui aktivitas pengganti. Bermain bersama, membuat karya, bergerak, bercerita, berdoa, dan berkegiatan sosial yang menyenangkan adalah bentuk experience blocking yang membuat anak tidak tinggal sendirian dalam bayang-bayang bencana. Aktivitas-aktivitas ini tidak hanya mengalihkan perhatian, tetapi juga menciptakan ruang aman tempat mereka bisa merasakan kembali kegembiraan yang pudar.
Dalam proses ini, anak tidak hanya menjadi penerima bantuan, tetapi juga peserta aktif yang diberi ruang untuk berperan. Dari peran itulah lahir energi psikologis yang baru, energi yang membangkitkan keberanian dan kepercayaan diri untuk menatap ulang dunia yang sempat runtuh di depan mata mereka. Mereka mulai sadar bahwa bukan hanya dirinya yang terluka, tetapi banyak jiwa lain yang menanggung duka yang sama.
Rasa senasib-sepenanggungan menjadi kekuatan diam-diam yang menyembuhkan.
Dari kesadaran itu perlahan muncul kemampuan untuk memulihkan diri, sebuah mekanisme self-healing yang hanya bisa tumbuh bila ada pendampingan yang konsisten dari relawan, guru, dan orang tua. Sekolah memiliki peran besar untuk ikut menumbuhkan ketahanan psikologis. Di sanalah kecerdasan akademik, emosional, kultural, dan spiritual anak digarap secara terpadu.
Semua ini menjadi benteng agar mereka tidak runtuh saat berhadapan dengan pengalaman traumatis yang mungkin muncul kembali sewaktu-waktu. Ketika ketahanan psikologis terbentuk, anak tidak lagi mudah dihantui oleh derita, meskipun mereka tetap tinggal di lingkungan yang sama dengan tempat bencana terjadi. Karena itulah, relokasi tidak selalu menjadi solusi, sebab selain menuntut biaya besar, perpindahan tempat justru memaksa anak beradaptasi dengan lingkungan sosial dan budaya baru yang seringkali lebih melelahkan secara batin daripada tinggal di tanah yang pernah menyakiti mereka.
Kerugian yang ditimbulkan bencana memang terlihat jelas, rumah roboh, harta hilang, nyawa melayang. Namun kerugian terbesar justru berada di ranah psikologis. Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan, karena mekanisme pertahanan diri mereka masih rapuh. Stress dan ketakutan dapat menjelma menjadi perubahan perilaku, gangguan tidur, pusing, hilangnya selera makan, ketidakmampuan berkonsentrasi, bahkan menarik diri dari lingkungan sosial.
Luka psikis ini bekerja dalam diam, tetapi dampaknya bisa lebih menghancurkan daripada luka fisik. Luka fisik bisa ditangani dengan perban dan obat, tetapi luka batin memerlukan pelukan, pendampingan, dan kehadiran manusia yang lain.
Karena itu, penanganan awal seperti Psychological First Aid (PFA) menjadi sangat penting. PFA tidak bersifat medis, tetapi manusiawi. Ia hadir melalui telinga yang mau mendengarkan, hati yang mau menerima, dan tangan yang mau mendampingi. Dengan pendekatan ini, rasa aman yang hilang perlahan dapat kembali. Anak-anak dan para penyintas didorong untuk menyadari bahwa diri mereka masih mampu membuat keputusan, masih memiliki kekuatan, dan masih layak untuk berharap pada masa depan yang baru. Bencana mungkin merenggut banyak hal, tetapi tidak boleh dibiarkan merampas harapan.
Pada akhirnya, pemulihan pascabencana bukan hanya tentang membangun kembali jembatan, rumah, atau jalan. Yang jauh lebih penting adalah membangun kembali manusia. Terutama anak-anak yang akan tumbuh menjadi pewaris masa depan negeri ini. Bencana boleh meruntuhkan bangunan, tetapi jangan biarkan ia meruntuhkan jiwa. Sebab bangsa ini akan benar-benar bangkit ketika bukan hanya tanahnya yang kembali utuh, tetapi juga hati anak-anaknya. Saat Tanah Retak, Jiwa Jangan Ikut Pecah !
*Psikolog, Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

