Solo (ANTARA) - Komisi Kejaksaan (Komjak) RI meminta penyebab banjir Sumatera dan Aceh yang terjadi beberapa waktu lalu diusut hingga tuntas.
Terkait hal itu, Ketua Komjak RI Pujiyono Suwadi di Solo, Jawa Tengah, Kamis menilai Jaksa Agung, ST Burhanuddin gerak cepat mengusut penyebab banjir Sumatera dan Aceh.
Gerak cepat tersebut ditandai dengan penyerahan ratusan ribu hektare lahan hutan dan Rp6,6 triliun hasil denda pelanggaran kawasan hutan kepada negara yang disaksikan oleh Presiden Prabowo Subianto.
“Pak JA (Jaksa Agung) menyebut banjir besar di Sumatera bukan hanya fenomena alam biasa, melainkan terarah (dipicu) alih fungsi lahan yang masif. Komjak mendukung penuh Kejagung mengusut tuntas,” katanya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta tersebut menaruh harapan besar kepada Kejagung dalam penegakan hukum untuk kejahatan lingkungan yang menyebabkan bencana ekologis. Menurut dia, kejahatan ini tidak hanya mengakibatkan penderitaan rakyat tetapi juga merugikan negara.
“Rakyat tentu berharap agar ini tuntas. Apalagi Kejagung saat ini menjadi institusi di mana rakyat bergantung,” katanya.
Hal itulah yang kemudian menjadikan Kejagung bergerak cepat mengusut korupsi penyebab kejadian tersebut karena juga melibatkan korporasi. Apalagi untuk pemulihan ekologi sebagai imbas dari dampak yang parah ini bisa mencapai Rp1.000 triliun.
“Ini masalah serius yang diperhatikan Kejagung. Besarnya potensi kerugian negara dan dampak yang diterima rakyat jadi alasan kuat Kejagung mengusut dengan tuntas,” katanya.
Sementara itu, dalam berbagai diskusi publik bertema Pemberantasan Korupsi Solusi Indonesia yang digelar di Sukoharjo, Semarang, dan Sragen, Pujiyono menyebut dalam beberapa tahun terakhir Kejagung aktif mengusut alih fungsi lahan, baik untuk sawit maupun tambang, di mana korupsi terjadi dengan mengaburkan luas lahan dan hasilnya dibawa ke luar negeri.
“Korupsinya gimana? Izin taruhlah 100 hektare, maka mereka akan mengelola 1.000 hektare, yang 900 ini ilegal. Makanya sekarang ini Kejaksaan mengejar itu. Hingga kini sudah bisa mengembalikan 4 juta hektare akibat penguasaan ilegal itu,” katanya.
Ia juga mengapresiasi kinerja Kejagung dan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) sehingga aset bisa diselamatkan dan keuangan negara dipulihkan.
“Potensi kerugian negara akibat pelanggaran izin pengelolaan sawit dan tambang fantastis, bisa sampai ratusan triliun rupiah. Kemarin Rp6,6 triliun denda pelanggaran kawasan hutan bisa dikembalikan ke negara. Semoga tahun depan lebih besar lagi yang bisa dipulihkan,” katanya.

