Solo (ANTARA) - Pelantikan Tim Reformasi Polri oleh Presiden pada awal November lalu menjadi momen penting. Presiden menegaskan bahwa tujuan utamanya adalah memperbaiki tata kelola Polri agar semakin profesional, modern, dan dipercaya publik. Kalimat ini muncul dalam sambutan resmi Presiden saat mengumumkan tim tersebut, ketika beliau menyatakan, “Saya ingin Polri berubah menjadi institusi yang semakin akuntabel, transparan, dan responsif terhadap masyarakat.”
Pernyataan itu bukan sekadar seremonial. Hal itu merupakan pengakuan terbuka bahwa kepolisian membutuhkan perubahan mendasar. Selama ini publik melihat dua sisi Polri yang kontradiktif, profesional di beberapa bidang, tetapi juga tersandung kasus kekerasan berlebihan, diskriminasi, dan penegakan etik yang tidak selalu konsisten. Reformasi tidak bisa lagi sekedar kosmetik, tapi harus menyentuh inti organisasi kelembagaan Polri.
Polisi: pelayan publik, bukan sekadar pemegang otoritas
Akar persoalan reformasi ada pada cara polisi melihat dirinya. Bila polisi melihat dirinya terutama sebagai “penguasa keamanan”, maka orientasinya adalah kekuasaan, dan kewibawaan. Tetapi jika melihat dirinya sebagai “pelayan publik”, maka orientasinya adalah perlindungan dan kepercayaan. Presiden sendiri menekankan orientasi ini ketika menyatakan bahwa Polri harus menjadi “institusi yang dekat dengan masyarakat dan bekerja untuk menjaga rasa aman warga.”
Masalah utama bukan oknum, tetapi sistem
Dalam kajian manajemen organisasi, masalah kultural dan struktural lebih menentukan daripada masalah individual. Seperti dikatakan Peter Drucker, “Culture eats strategy for breakfast” (Budaya melahap strategi sejak sarapan). Sebaik apa pun strategi, ia akan runtuh jika budaya organisasi tidak mendukungnya. Strategi reformasi sehebat apapun akan gagal-tumbang jika budaya organisasi tetap sama.
Setidaknya ada tiga problem kunci yang perlu dicermati. (1). Budaya hierarkis yang menghambat koreksi internal. Struktur yang vertikal penuh membuat kritik dianggap pembangkangan. Organisasi kehilangan kemampuan belajar. (2) Pengawasan internal yang tidak memadai. Karena pengawasan dilakukan oleh unit dalam tubuh Polri sendiri, publik sering meragukan objektivitasnya. (3) Kinerja operasional yang masih berbasis rutinitas, bukan data. Banyak keputusan lapangan masih mengandalkan kebiasaan, bukan analisis risiko berbasis teknologi modern.
Reformasi: transformasi cara kerja
Kerangka perubahan organisasi modern membantu membedah kebutuhan reformasi ini. Cummings dan Worley dalam Organization Development and Change menekankan bahwa perubahan efektif membutuhkan tiga tahap: unfreezing, changing, dan refreezing.
1. Unfreezing: Mengakui bahwa ada masalah. Reformasi dimulai dengan pengakuan Presiden bahwa Polri perlu perbaikan tata kelola. Dalam bahasa Cummings & Worley, “perubahan hanya terjadi ketika organisasi menerima bahwa kondisi saat ini tidak dapat dipertahankan.”
2. Changing: Mendesain ulang cara kerja. Terdapat empat jalur utama perubahan: a) Transparansi dan akuntabilitas publik. Kamera tubuh (bodycam), laporan publik, serta pengawasan eksternal menjadi elemen wajib. Sejalan dengan prinsipnya Osborne & Gaebler dalam Reinventing Government: “Masyarakat berhak tahu bagaimana lembaga publik bekerja, karena pemerintah milik warga.” b) Cara pikir baru: belajar dari kesalahan. Organisasi modern menerapkan learning organization. Senge dalam The Fifth Discipline menyatakan, “Organisasi yang kuat adalah organisasi yang terus-menerus belajar.” Ini kontras dengan kebiasaan yang menutupi kesalahan untuk menyelesaikan masalah demi wibawa institusi. c) Sistem SDM berbasis integritas. Pola promosi harus mengutamakan kompetensi dan etika, tidak hanya loyalitas. Gary Dessler mengingatkan: “Setiap sistem karier yang tidak adil akan menghasilkan perilaku disfungsional dan rendahnya moral pegawai.” d) Kemitraan dengan masyarakat. Keamanan yang efektif lahir dari kepercayaan. Ini sejalan dengan konsep community policing yang menekankan kolaborasi polisi-warga sebagai strategi keamanan jangka panjang.
3. Refreezing adalah tahap yang membuat reformasi “menjadi normal” — bukan aktivitas ad hoc yang hilang setelah sorotan mereda. Tanpa refreezing, perubahan akan rapuh; dengan refreezing yang kuat, reformasi kepolisian bisa menjadi warisan institusional yang bertahan lama.
Mengubah budaya dengan mengubah insentif
Budaya organisasi berubah ketika insentif berubah. Jika kekerasan dan intimidasi dihargai, maka perilaku itu akan tumbuh. Jika profesionalisme dan integritas diberi penghargaan, maka perilaku itulah yang berkembang. Merujuk Drucker bahwa: “Apa yang dihargai organisasi akan menjadi budaya organisasi.” Artinya, reformasi harus menata ulang penghargaan dan hukuman secara konsisten.
Harapan reformasi yang berhasil
Jika reformasi dijalankan dengan konsisten, hasilnya jelas: 1) Polri yang profesional dan modern. Proses penanganan kasus atau masalah menggunakan teknologi, analisis data, dan prosedur berbasis bukti. 2)Polri yang akuntabel dan terbuka. Pengawasan publik menjadi bagian dari standar kerja, bukan ancaman. 3) Polri yang kembali dipercaya masyarakat. Kepercayaan adalah mata uang utama lembaga keamanan.Tanpa itu, kewenangan polisi tidak memiliki legitimasi substantif.
Penutup: konsistensi adalah kuncinya
Pelantikan Tim Reformasi adalah langkah awal yang penting. Namun seperti dikatakan John Kotter, “Perubahan gagal bukan karena ide buruk, tetapi karena kurangnya eksekusi dan konsistensi.” Keberhasilan reformasi Polri tidak hanya bergantung pada konsepnya, tetapi pada keberanian politik untuk memastikan setiap rekomendasi dijalankan tanpa kompromi.
Reformasi polisi bukan hanya tentang memperbaiki sebuah institusi. Ia adalah upaya memperbaiki hubungan negara dengan warganya, serta memastikan keamanan di negeri ini lahir dari kepercayaan—bukan ketakutan.
Reformasi bukanlah Restrukturisasi - perubahan struktur organisasi, ataupun Reorganisasi - penataan ulang organisasi, tetapi reformasi adalah perbaikan sistem dan tata kelola secara keseluruhan. Jika reformasi kurang berdampak optimal maka diperlukan Transformasi yaitu perubahan total dan mendasar kelembagaan polisi.
*Guru Besar Ilmu Manajemen (Direktur Pascasarjana UMS Surakarta)

