Cilacap (ANTARA) - Pandemi COVID-19 yang hampir dua tahun melanda Indonesia dan seluruh penjuru dunia telah memberikan dampak signifikan terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat, salah satunya sektor perekonomian termasuk di dalamnya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Bahkan berdasarkan survei Bank Indonesia yang dirilis pada bulan Maret 2021 terungkap bahwa sebanyak 87,5 persen UMKM terdampak pandemi COVID-19. Dari 87,5 persen tersebut, sekitar 93,2 persen di antaranya terdampak negatif dari sisi penjualan.
Sementara dari 12,5 persen UMKM yang tidak terdampak pandemi COVID-19, sekitar 27,6 persen di antaranya menunjukkan peningkatan penjualan.
Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya menekan laju penyebaran COVID-19 melalui program vaksinasi dan berbagai kebijakan agar semua sendi kehidupan tidak semakin terpuruk.
Kendati pandemi belum berakhir, berbagai kebijakan yang diambil pemerintah seiring dengan penurunan kasus COVID-19 telah memberikan secercah harapan bagi pelaku UMKM untuk bangkit dan mengepakkan sayap dalam mengembangkan usahanya.
Demikian pula dengan batik Rajasa Mas, Desa Maos Kidul, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Usaha yang ditekuni pasangan suami-istri, Tonik Sudarmaji dan Euis Rohaini sejak tahun 2008 itu pun mulai berbenah.
"Kami konsisten dalam segala hal, pemasaran secara daring, dari pintu ke pintu, maupun pemasaran secara langsung. Jadi, sekarang semua lini kami kejar. Mudah-mudahan pandemi segera berakhir, sehingga ekonomi lekas pulih," kata Tonik Sudarmaji.
Ia mengakui pada awal pandemi, penjualan batik yang dilakukan secara konvensional mengalami penurunan 70-80 persen. Sebelumnya, nilai transaksi penjualan batik rata-rata bisa mencapai Rp100 juta per bulan, turun menjadi rata-rata Rp30 juta per bulan.
Baca juga: Manfaatkan PPKM, pengrajin batik di Cilacap cari ide kreatif
Kondisi tersebut tidak membuat Tonik dan istrinya patah arang. Mereka pun berupaya mencari celah agar kegiatan usahanya tetap bisa berjalan, yakni dengan membuka usaha baru berupa konveksi pembuatan masker kain batik maupun polos untuk memenuhi permintaan dari sejumlah relasi seperti Bank Jateng dan Bank Mandiri.
Selain itu, Rajasa Mas juga mendapat pesanan sebanyak 10.000 helai masker kain dari Gubernur Jawa Tengah dan pada bulan November 2020 mendapat pesanan dari Kementerian Kesehatan berupa pembuatan masker kain sebanyak 250 ribu lembar.
Rajasa Mas juga mendapatkan izin edar untuk memasarkan produk-produk kesehatan seperti masker, baju hazmat, dan sebagainya.
"Hingga sekarang pasar itu alhamdulillah masih jalan. Jadi, selain batik, kami juga punya pasar untuk APD (Alat Pelindung Diri)," kata Tonik.
Meskipun usaha yang baru dikembangkan itu telah membuahkan hasil, bukan berarti Tonik menghentikan usaha batik yang telah bertahun-tahun digeluti bersama istrinya.
Ia pun tetap berupaya mencari celah pasar melalui pemasaran secara daring.
"Pandemi memberikan hikmah tersendiri bagi kami. Pemasaran secara daring yang sebelumnya kurang ditekuni, sekarang jadi maksimal," katanya.
Bahkan saat sekarang, nilai transaksi batik Rajasa Mas yang dilakukan melalui pemasaran secara daring terus meningkat hingga mencapai kisaran Rp30 juta.
Tidak hanya itu, pandemi juga mendorong Tonik untuk melakukan riset terkait dengan warna baru dan optimalisasi pewarnaan alam.
"Manajemen dalam segala hal juga harus mulai dipikirkan karena kalau ke depan terjadi seperti ini (pandemi, red.) lagi, kita kan jadi sudah siap. Intinya, jangan menyerah," katanya.
Baca juga: Dekranasda Jateng luncurkan Batik Lasemku
Ia mengakui jika dibandingkan dengan krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008, dampak krisis akibat pandemi COVID-19 sangatlah besar.
"Kalau krisis sebelumnya (2008, red.) lebih ke sektor ekonomi, sedangkan krisis yang kali ini dampaknya ke semua sektor atau sendi kehidupan. Tapi alhamdulillah karena kita mau berusaha, berjuang, jadi kita bisa lewati walaupun dengan mengubah sistem bisnis kita, sehingga bisa tahu sistem baru dengan maksimal melalui pemasaran secara daring," katanya menegaskan.
Terkait dengan persiapan menyongsong era tatanan baru, Tonik mengatakan saat ini pihaknya tengah merekrut tiga karyawan baru yang menguasai teknologi informatika sebagai upaya untuk menggenjot pasar ekspor.
Menurut dia, hal itu dilakukan karena Rajasa Mas telah bergabung dengan salah satu e-commerce ternama, yakni Alibaba, dalam rangka memasarkan produk batik khas Maos tersebut.
"Sebenarnya saat pandemi, saya tidak mengurangi karyawan, tapi enam orang mengundurkan diri, sehingga saat ini hanya ada 10 orang. Saya sedang rekrut karyawan baru, tiga orang, karena kami harus menggenjot pasar ekspor," katanya menjelaskan.
Ia mengakui saat ini, pesanan dari konsumen terhadap batik Rajasa Mas mulai bermunculan meskipun pelan dan beberapa instansi sudah mulai meminta sampel.
Batik Rajasa Mas yang merupakan batik khas Maos memiliki kekhasan tersendiri karena setiap lembar kainnya mendeskripsikan sejarah perjuangan masyarakat Jawa, seperti tentang pedoman hidup termasuk sandi-sandi peperangan di masa perang Pangeran Diponegoro.
Selain sering mengikuti pameran di dalam negeri, batik Rajasa Mas juga beberapa kali dipamerkan dalam ajang internasional yang digelar di hampir 20 negara, seperti Singapura, Malaysia, India, dan Prancis.
Kini, batik Rajasa Mas berupaya bangkit dari pandemi, sehingga bisa mengepakkan sayapnya guna mengenalkan dan memasarkan batik khas Maos itu ke seluruh penjuru dunia.
Baca juga: Pelaku UMKM di Cilacap sambut baik pembukaan sektor pariwisata
Baca juga: Gus Yasin tertarik batik dengan pewarna lumpur
Baca juga: Gibran ajak anak muda tidak malu pakai batik