Semarang (ANTARA) - Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas II A Bulu Semarang menggelar peragaan busana dengan mengangkat batik "Malini Padma" karya para warga binaan.
Dengan percaya diri, para model berbaur dengan sejumlah warga binaan tampil di atas "catwalk" yang sudah disiapkan di tengah halaman Lapas Bulu Semarang, Senin sore.
Peragaan Busana Batik Nusantara bertajuk "Benang Cinta Ibu: Dari Balik Tangan yang Menguatkan" itu diselenggarakan dalam rangka peringatan ke -97 Hari Ibu Tahun 2025, sekaligus menjadi ajang apresiasi karya batik hasil pembinaan warga binaan perempuan.
Para desainer dari Indonesian Fashion Chamber Semarang Chapter turut berpartisipasi, seperti Sudarna Suwarsa, Elkana Gunawan, Gregorius Vici, Inge Chu, Devi Ros, Pinky Hendarto, Tya Chandra, Olif Kinanthi, dan Novita DP.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan Mashudi menilai produk batik karya warga binaan memiliki kualitas dan daya saing tinggi.
Ia menyoroti motif bunga teratai sebagai ciri khas batik lapas perempuan yang memiliki nilai filosofi dan estetika kuat, serta relevan dengan tren fesyen saat ini.
"Saya sangat mengapresiasi terobosan Lapas Perempuan Bulu Semarang. Produk UMKM batik dengan ciri khas ini menunjukkan bahwa warga binaan mampu berkarya dan bersaing dengan produk di luar lapas," katanya.
Ia menjelaskan bahwa hasil lelang batik yang ditampilkan dalam peragaan busana akan disalurkan untuk membantu masyarakat terdampak di Sumatera Utara dan Aceh.
Dari total 532 lapas dan rutan, Mashudi berharap pengembangan UMKM binaan dapat menjadi program unggulan dalam mendorong kemandirian warga binaan, seperti dilakukan di Lapas Perempuan Bulu Semarang.
"Karya mereka luar biasa. Ini bisa menjadi contoh agar UMKM binaan berkembang, dikenal luas, dan mampu bersaing di dunia industri," katanya.

Sementara itu, anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Samuel Wattimena mengatakan bahwa peragaan busana batik di lapas itu merupakan bentuk pembinaan yang lebih konkret dan berkelanjutan.
"Pembinaan tidak cukup hanya pelatihan. Jika tidak dipasarkan dengan baik dan tidak diasah secara profesional, saat mereka keluar (bebas, red.) akan kembali mulai dari nol," katanya.
Ia mendorong agar produk batik lapas memiliki kekhasan dan eksklusivitas, apalagi tidak semua orang dapat mengakses dan berproduksi di dalam lapas.
"Mereka harus bisa mampu di-'encourage' untuk membuat hasil-hasil yang terasa bahwa ini hasil produksi binaan lapas. Ekspresi ini kan harus bisa timbul," katanya.
Selain itu, ia juga mengusulkan agar warga binaan diarahkan menjadi bagian dari mata rantai produksi dalam ekosistem industri fesyen dan kriya nasional, seperti pengerjaan pola, pemotongan, "finishing", sulam, dan detail lainnya.
"Jadi desainer kan perlu orang pola, perlu orang potong, perlu orang 'finishing', perlu orang pasang payet, perlu orang sulam. Serahkan ke mereka Tapi, mereka jangan dibebani lebih untuk pemasaran juga, untuk 'quality control' juga, kebanyakan" pungkasnya.

