Semarang, ANTARA JATENG - Kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah mengkritisi kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen karena hal itu dinilai akan makin memberatkan petani tebu.
"Saat ini, kondisi pergulaan nasional makin berat, kebutuhan nasional 3.000.000 ton per tahun dengan impor 50 persen dan pronas 50 persen akan goyang, mimpi swasembada gula 2019 akan makin jauh karena petani makin enggan menanam tebu karena terus merugi, apalagi dikenai pajak 10 persen," kata anggota Komisi B DPRD Provinsi Jateng Riyono di Semarang, Senin.
Menurut dia, permasalahan pertebuan nasional sudah parah sehingga ambruknya pusat pembibitan tebu nasional membuat varietas bibit unggul tebu sulit didapatkan petani dan ketersedian pupuk yang terbatas bagi petani sangat menyulitkan, serta permasalahan pabrik gula yang sudah tidak kompetitif.
"Belum selesai pemerintah melakukan revitalisasi pabrik gula dan pembehanan sisi `on farm` sampai `off farm` tiba-tiba dikenai beban pajak bagi petani tebu. Hal ini justru menghambat produksi gula nasional," ujarnya.
Ia menggambarkan saat ini rata-rata pendapatan petani tebu dengan luasan lahan 900 meter persegi dalam satu kali panen hanya mendapat keuntungan Rp2 juta.
Produktivitas tanaman tebu petani baru 75 ton per hektare dengan rendemen 7 s.d. 7,5 persen dan biaya menghasilkan gula kurang lebih Rp10 ribu/kg.
"Bagaimana mau sejahtera kalau kondisi petani tebu seperti ini?" kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
Riyono meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani memahami kondisi petani tebu saat ini.
"Petani tebu jangan dikenai pajak 10 persen jika ingin swasembada gula. Jika tidak dibatalkan, siap-siap saja produksi gula akan anjlok karena petani enggan menanam tebu kembali dan impor gula akan makin menggila," ujarnya.

