"Konsep pernikahan itu tentang welas asih," kata perancang busana Era Soekamto saat ditemui di Jakarta, Sabtu.
Era yang mendalami batik ini menjelaskan pernikahan dalam konsep Jawa merupakan hal yang sakral karena berupa penyatuan makro dan mikro kosmos, ruh besar dan kecil, bukan hanya penyatuan dua manusia.
Penyatuan dua ruh tersebut menghadirkan cinta sehingga perlu mencari motif batik yang sesuai dengan doa dan energi tersebut.
Batik sebagai medium komunikasi awalnya digunakan untuk menyampaikan konsep transendental, pembuatnya bermeditasi untuk mencapai tingkatan spiritual tertentu sebelum membatik.
Kain bermotif batik Sidoasih, yang melambangkan penyatuan makro kosmos dengan mikro kosmos dalam diri merupakan pakaian yang cocok untuk digunakan dalam pernikahan.
Batik motif truntum, berupa titik-titik besar dan kecil yang melambangkan cahaya, juga pilihan yang bagus untuk digunakan dalam hari besar tersebut karena melambangkan kesetiaan.
"Maksudnya, kita harus mencintai esensi cahaya tersebut, yaitu Tuhan. Kesetiaan itu yang dibawa ke konsep pernikahan."
Selain itu, motif wahyu tumurun yang mengandung doa kebahagiaan lahir dan batin juga pas untuk digunakan dalam pernikahan.
Menurut direktur kreatif Iwan Tirta Private Collection ini, pemilihan motif batik untuk pernikahan disesuaikan dengan adat daerah yang digunakan. Pengantin Cirebonan misalnya, dapat menggunakan batik mega mendung.
Batik motif parang tidak bisa digunakan untuk pernikahan karena memiliki konsep kepemimpinan.
"Sebetulnya parang digunakan untuk upacara yang bersifat kepemimpinan," kata Era.
Motif parang digunakan dalam upacara kerajaan, besar-kecil garis diagonal menunjukan strata sosial. Parang barong, parang bergaris besar, digunakan oleh raja.
Tidak berarti penggunaan motif batik yang tidak tepat akan menimbulkan petaka bagi pernikahan.
Era Soekamto berharap sejak batik disahkan sebagai warisan budaya oleh UNESCO pada 2009, masyarakat mengerti bahwa batik merupakan medium komunikasi yang memiliki arti dibalik motifnya.