Pakar: Hari Kehakiman momentum MA menengok kembali hukum lokal
Semarang (ANTARA) - Pakar hukum adat Profesor Laksanto Utomo mengemukakan bahwa Hari Kehakiman Nasional, 1 Maret 2024, merupakan momentum Mahkamah Agung untuk menengok kembali hukum lokal masyarakat hukum adat dan mengevaluasi penegakan hukum di Tanah Air melalui putusan-putusan peradilan.
"Titik nadir kepercayaan masyarakat Indonesia kepada Mahkamah Agung (MA) melalui putusan-putusan yang tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia, bahkan sangat melukai perasaan bagi pencari keadilan," kata Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.H. di Semarang, Jumat pagi.
Jika mengamati perkara yang bersinggungan dengan masalah masyarakat hukum adat terkait dengan pertambangan, pengembang perkebunan, dan properti, menurut Prof. Laksanto, para penegak hukum selalu berpegang pada hukum positif legalistik dan peraturan tertulis serta peraturan-peraturan baku.
"Karena berpegangan pada hukum positif legalistik, niscaya masyarakat hukum adat akan terpinggirkan, bahkan akan punah dari peradaban di Indonesia," kata Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Guru Besar Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) ini.
Prof. Laksanto yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta memandang perlu MA melepas mindset legalistik positivistik dan harus menyelami hukum adat mereka yang memiliki hutan dan kepemilikan ulayatnya.
Baca juga: Pakar: Putusan hakim harus berpihak pada kebenaran
Dalam menjaga kelestarian keseimbangan alam semesta, kata dia, tentunya mereka tanpa memiliki surat-surat bukti formal. Bahkan, sejumlah putusan perkara tidak berpihak pada kepemilikan atau perkara-perkara terkait dengan masyarakat hukum adat.
Namun, diakuinya bahwa peran hukum adat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru) sangat kecil. Meski demikian, KUHP memberikan atau mengembalikan hukum yang bersumber pada kearifan lokal dan mengembalikan keseimbangan dengan mengangkat hukum adat.
Prof. Laksanto mengemukakan bahwa teritorial Indonesia yang begitu luas dengan beragamnya adat istiadat dan masyarakat adat yang masih patuh untuk penegakan hukum adat sesuai dengan kearifan lokal masing-masing akan sangat mempermudah penegakan hukum di Tanah Air.
"Hari Kehakiman Nasional adalah waktunya berintrospeksi berpaling pada hukum lokal demi menjaga kelestarian kekayaan alam Indonesia untuk cucu masa mendatang," kata peneliti pada Lembaga Studi Hukum Indonesia (LSHI) ini.
Baca juga: MKMK gelar rapat klarifikasi pelapor dugaan hakim langgar etik
"Titik nadir kepercayaan masyarakat Indonesia kepada Mahkamah Agung (MA) melalui putusan-putusan yang tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia, bahkan sangat melukai perasaan bagi pencari keadilan," kata Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.H. di Semarang, Jumat pagi.
Jika mengamati perkara yang bersinggungan dengan masalah masyarakat hukum adat terkait dengan pertambangan, pengembang perkebunan, dan properti, menurut Prof. Laksanto, para penegak hukum selalu berpegang pada hukum positif legalistik dan peraturan tertulis serta peraturan-peraturan baku.
"Karena berpegangan pada hukum positif legalistik, niscaya masyarakat hukum adat akan terpinggirkan, bahkan akan punah dari peradaban di Indonesia," kata Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Guru Besar Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) ini.
Prof. Laksanto yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta memandang perlu MA melepas mindset legalistik positivistik dan harus menyelami hukum adat mereka yang memiliki hutan dan kepemilikan ulayatnya.
Baca juga: Pakar: Putusan hakim harus berpihak pada kebenaran
Dalam menjaga kelestarian keseimbangan alam semesta, kata dia, tentunya mereka tanpa memiliki surat-surat bukti formal. Bahkan, sejumlah putusan perkara tidak berpihak pada kepemilikan atau perkara-perkara terkait dengan masyarakat hukum adat.
Namun, diakuinya bahwa peran hukum adat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru) sangat kecil. Meski demikian, KUHP memberikan atau mengembalikan hukum yang bersumber pada kearifan lokal dan mengembalikan keseimbangan dengan mengangkat hukum adat.
Prof. Laksanto mengemukakan bahwa teritorial Indonesia yang begitu luas dengan beragamnya adat istiadat dan masyarakat adat yang masih patuh untuk penegakan hukum adat sesuai dengan kearifan lokal masing-masing akan sangat mempermudah penegakan hukum di Tanah Air.
"Hari Kehakiman Nasional adalah waktunya berintrospeksi berpaling pada hukum lokal demi menjaga kelestarian kekayaan alam Indonesia untuk cucu masa mendatang," kata peneliti pada Lembaga Studi Hukum Indonesia (LSHI) ini.
Baca juga: MKMK gelar rapat klarifikasi pelapor dugaan hakim langgar etik