Magelang (ANTARA) - Sejumlah lokasi di kawasan Gunung Merapi-Merbabu Kabupaten Magelang yang selama ini menjadi tempat Festival Lima Gunung, ternyata tempat-tempat pengajaran masa lampau tentang ilmu pengetahuan dan kehidupan, kata pendiri dan peneliti Sraddha Institute Surakarta Rendra Agusta.
"Saya jadi tahu bahwa ternyata tempat-tempat yang sekarang jadi sentral untuk tempat Festival Lima Gunung, ternyata tempat-tempat pengajaran yang tua itu," katanya ketika menjadi salah satu narasumber diskusi "Manuskrip Merapi-Merbabu" di Studio Mendut Kabupaten Magelang di Magelang, Jumat sore. Sraddha Institute, komunitas bidang pernaskahan dan kesusasteraan Jawa Kuna.
Festival Lima Gunung diselenggarakan Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang yang berbasis para seniman petani kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Komunitas itu dirintis budayawan Magelang, Sutanto Mendut.
Tahun ini sebagai penyelenggaraan ke-23 festival mandiri tersebut, selama 17-29 September 2024, di sejumlah tempat, seperti Selasa (17/9) di Dusun Warangan, Desa Munengwarangan, Kecamatan Pakis berupa konferensi pers dan pementasan tarian, Jumat (20/9) di Studio Mendut, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid berupa diskusi "Manuskrip Merapi-Merbabu" dan pementasan kesenian.
Pada Minggu (22/9) di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, berupa pementasan wayang kulit "Kumbokarna Mlebu Swarga", dan puncaknya selama 25-29 September di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, antara lain berupa pementasan berbagai kesenian, pameran foto, kirab budaya, dan pidato kebudayaan.
Dalam diskusi dengan narasumber lainnya, pakar filologi yang juga Dosen Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM Dr Sudibyo Prawiroatmojo dan seniman pematung dari lereng Gunung Merapi, Ismanto, dengan moderator pegiat naskah Merapi-Merbabu dari Komunitas Sedalu Art and Culture Boyolali, Novian itu, ia mencontohkan tentang lokasi puncak Festival Lima Gunung tahun ini di Dusun Keron, Desa Krogowanan yang terkait dengan manuskrip Merapi-Merbabu.
"Ada satu nama di kolofon, ada nama Argawana. Dia berada di Pamrihan (Merbabu) dan Merapi, (dari) desa itu bisa lihat dua gunung. Ternyata secara dialek, masyarakat Merapi Merbabu itu selalu bisa bergeser, misalnya kata 'Arga' itu bisa 'Pergo'. Jadi dulu puncak Saren itu namanya 'Pergowati', 'Argowati', 'Argodalem', 'Pergodalem'. Ternyata 'Argawana' itu kemudian menjadi 'Krogowanan' itu," ujar alumnus Program Studi S1 Sastra Jawa dan S2 Kajian Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta itu.
Pada kesempatan itu, ia antara lain berbicara tentang penelitian lapangan selama sedikitnya 10 tahun terakhir di desa-desa, terutama kawasan Merapi-Merbabu, terkait dengan naskah-naskah Jawa Kuna. Hingga saat ini, temuan naskah kuna Merapi-Merbabu mencapai 1.000 manuskrip, baik yang saat ini sebagian besar tersimpan di Perpustakaan Nasional di Jakarta maupun di beberapa tempat di beberapa negara.
Hingga saat ini, katanya, ada satu naskah di atas lontar masih dilestarikan warga Desa Kedakan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang (kawasan Gunung Merbabu). Dalam tradisi mereka, naskah tersebut dibuka setahun dua kali, setiap 2 Safar dan 2 Syawal (penanggalan Jawa atau Hijriah)
Ia juga menyebut peneliti naskah Merapi-Merbabu di Indonesia saat ini tidak lebih dari 20 orang, di mana sebagian besar berusia tua.
"Sebenarnya ketika kita bilang ini skriptorium Merapi-Merbabu, jelas ini tidak hanya ditulis di Gunung Merapi dan Merbabu. Jadi ada yang ditulis di Gunung Wilis, Gunung Telomoyo, Andong, ada di Ungaran. Ada gunung-gunung yang saya sendiri belum menemukan nama terkini," katanya.
Temuan manuskrip Merapi-Merbabu tertua pada 1493, ditemukan di Inggris dengan judul "Sang Yang Hayu", sedangkan termuda pada 1756 menjadi koleksi Perpusnas dengan judul "Raspati Kalpa".
Sudibyo mengemukakan tentang masyarakat para ajar (Hajar) atau guru atau tua-tua di Merapi-Merbabu berdasarkan laporan cukup tua dari seorang raja pertapa, Bujangga Manik dari Pakuan Pajajaran, yang melakukan perjalanan ke timur pada abad 15.
"Dia (Bujangga Manik) benar-benar terkagum-kagum, mengatakan bahwa 'Saya dari timur dan sempat singgah di wilayah para ajar'," ujarnya.
Ia mengemukakan berbagai kemungkinan asal-usul para ajar di Merapi-Merbabu yang menulis naskah-naskah itu, bisa kalangan pelarian dari pusat-pusat kerajaan atau warga setempat dengan mobilitas tinggi ke dataran rendah dan pantai.
Ia mengemukakan pentingnya pewarisan kekayaan naskah Merapi-Merbabu itu, terutama kepada komunitas Merapi-Merbabu dan keturunan para ajar di kawasan itu, antara lain dengan kemampuan membaca dan memaknai secara tuntas berbagai naskah tersebut.
Terlebih, katanya, akhir-akhir ada program menarik dari Perpusnas terkait dengan pentingnya ingatan kolektif nasional untuk masa yang akan datang.
"Ada yang mencoba menggali naskah-naskah leluhur mereka, karena naskah-naskah itu memang sangat kaya, ada naskah Pawukon, naskah-naskah sufistik, baik yang berona Islam maupun sufistik model lama itu sangat-sangat kaya. Jadi tidak ada alasan untuk mengabaikan warisan ini," katanya.