Kalau berkeinginan menemukan di mana arca-arca kepala Buddha itu berada, tentu tidak gampang. Belum lagi soal pencocokannya dengan tubuh dari setiap patung, membutuhkan langkah disiplin tersendiri dalam menerapkan prinsip-prinsip konservasi cagar budaya.
Kepala Balai Studi dan Konservasi Borobudur Marsis Sutopo hingga Rabu (21/10) lewat tengah hari, belum memberikan konfirmasi tentang angka yang pasti atas jumlah total patung Buddha tanpa kepala di Candi Borobudur.
Tak demikian bagi Ismedi. Boleh dikata segudang arca kepala Buddha di Candi Borobudur itu tersimpan dalam benaknya, menjadi inspirasi utama yang melahirkan karya-karya lukisannya.
Kehidupan sejak lahir pada 1979 hingga saat ini di kawasan Candi Borobudur telah mengantarnya menjadi pelukis secara autodidak. Bapaknya bernama Muhajir dan ibunya Karyuti. Ia anak keempat dari lima bersaudara. Kakaknya nomor dua bernama Wahudi, pelukis spesialis "fine art" batik dan saat ini tinggal di Kota Magelang.
Ismedi tinggal di Dusun Tingal Wetan, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, sekitar 700 meter timur Candi Borobudur, lulus pendidikan formal tertinggi dari SMA Pendowo Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang pada 1996.
Namun, ia mendaku pendidikan tentang seni diperoleh dari keikutsertaan dalam program pendidikan dan latihan keterampilan di Pusat Pengembangan dan Penataran Guru (PPPG) Kesenian Yogyakarta pada 1998-2000.
"Ikut pendidikan kriya keramik di PPPG, lalu saya menjadi pembuat kerajinan seni dari tembikar dengan bentuk-bentuk patung Buddha dan relief, untuk dagangan suvenir wisatawan Borobudur. Mulai tahun 2006 sampai sekarang melukis," kata Ismedi yang tempatnya berkarya diberi nama "Easting Medi Art Studio". "Easting" kependekan dari "East (Timur atau dalam bahasa Jawa, Wetan) dan Tingal" yang maksudnya Tingal Wetan, dusun tempat Ismedi tinggal.
Berdasarkan cerita masyarakat setempat secara turun-temurun tentang lokasi satu hektare tanah yang salah satu bagian menjadi rumah tinggal keluarganya itu, pada masa pembangunan Candi Borobudur sekitar abad ke-8, terdapat pendopo tempat tinggal Gunadharma, sang arsitek pembangunan candi Buddha terbesar di dunia tersebut.
Perjalanan waktu kesenimannya, khususnya selama empat tahun terakhir, telah membawa Ismedi memiliki nama kondang sebagai pelukis Borobudur spesialis inspirasi kepala Buddha.
Tentu saja, ia tidak tiba-tiba menjadi pelukis. Ia melalui proses cukup panjang, antara lain menyangkut kebiasaan anak-anak setempat pada masa lalu naik Candi Borobudur setelah berlebaran dan mengikuti sejumlah orang dari luar kota yang secara tahunan berziarah ke makam di kampungnya yang konon kuburan biksu keturunan Tionghoa. Aneka makanan dalam sesaji para peziarah di makam itu, sering diambil Ismedi kecil untuk kemudian disantap.
Selain itu, sejak bersekolah di SMP hingga lulus SMA (1992-1997), Ismedi berjualan lukisan kaca dengan tema-tema pemandangan Candi Borobudur di tempat wisata itu. Sambil berjualan suvenir, ia juga demo melukis, membuat poster, dan kartu ucapan di terminal bus Taman Wisata Candi Borobudur.
"Waktu itu senang kalau sedang demo melukis, ditonton banyak wisatawan," kata Ismedi yang bergabung dalam Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) 2015.
Ismedi juga telah ikut dalam berbagai kesempatan pameran seni rupa, terutama di kawasan Candi Borobudur, terlibat dalam aktivitas berkesenian di Limanjawi Art House Borobudur yang dikelola Umar Chusaeni, dan pernah mendapatkan sejumlah penghargaan karena juara dalam beberapa lomba lukis.
Kebiasaannya seorang diri berjalan-jalan di Candi Borobudur, menyusuri lorong-lorongnya sambil memandangi secara detail tebaran relief tentang kisah kebuddhaan di dinding-dinding candi tersebut, dan kemudian naik hingga stupa induk, serta turut bersama wisatawan lainnya merogoh patung Buddha di salah satu stupa yang disebut "Kunto Bimo", sebagai hal menyenangkan.
Ia pula mempunya kebiasaan masa lalu, turun dari Candi Borobudur kemudian duduk di sudut tenggara pelataran candi, di bawah pohon besar dengan patung Buddha. Ia menyebut pada masa lalu, di setiap sudut pelataran candi itu terdapat patung Sang Buddha di bawah pohon bodi.
"Udaranya segar, karena di bawah pohon besar," katanya seakan mengenang kebiasaan masa lalu di Candi Borobudur yang menjadi bagian dari perjalanan menanamkan inspirasi lukisan kepala Buddha.
Belum lagi tentang deretan relief Candi Borobudur berupa bentuk-bentuk Buddha, yang kemudian dikenal dengan sebutan "Kisah Penampakan Seribu Buddha", disebutnya sebagai inspiratif.
"Kalau ceritanya yang persis, saya memang tidak tahu. Ada kawan di Wihara Mendut yang bilang '1.250 Buddha' (Maksudnya cerita 1.250 penampakan Sang Buddha, red.). Tetapi relief itu menunjukkan Buddha yang wujudnya berbeda-beda karena seniman pemahatnya membuat sendiri-sendiri, pencapaian masing-masing," katanya.
Hal itu pula yang membuat Ismedi menjadi saksama melihat perbedaan setiap wujud patung kepala Buddha, seperti tentang bentuk kepala, bibir, hidung, dagu. telinga, mata, dan jumlah ukiran rambut.
Setiap tahun, saat umat Buddha merayakan Waisak di Candi Borobudur, Ismedi tak melepaskan momentum tersebut dengan beramai-ramai bersama masyarakat umum untuk menyaksikannya, sambil pribadi kesenimanannya meneguk inspirasi atas suasana spiritual peristiwa tersebut.
"Setiap Waisak itu selalu membuat penasaran. Setiap 'event' berbeda-beda, sakral dan ramai, banyak fenomena alam terlihat, ada pelangi di selatan candi, kalau malam lebih terang karena bulan purnama, ada cincin bulan (Halo atau fenomena optis berupa lingkaran cahaya di sekitar bulan, red.)," ujarnya.
Dalam berbagai kesempatan perbincangan, Umar Chusaeni yang juga Ketua KSBI 2015 menyebut betapa kaya dan kuatnya inspirasi Candi Borobudur untuk melahirkan karya seni rupa yang bernilai, yang salah satunya berupa lukisan.
"Borobudur bukan hanya hebat karena bangunan megah dan bersejarah, menjadi warisan budaya dunia, tetapi juga memberikan inspirasi yang kuat dan menarik untuk melahirkan karya seni dan berkesenian. Borobudur rumah seniman," katanya.
Ia bahkan menyebut inspirasi seni rupa dari Candi Borobudur yang dibangun pada masa pemerintahan Dinasti Syailendra tersebut, tidak akan pernah habis untuk dieksploitasi dan dieksplorasi.
Hingga saat ini, Ismedi telah menggoreskan kuasnya dengan cat minyak dan akrilik di atas kanvas hingga menghasilkan sekitar 70 lukisan gaya naturalis. Jumlah karyanya itu yang secara khusus bertema kepala Buddha dalam aneka wujud dan ukuran, sedangkan sekitar 40 lukisan di antaranya dibuat antara 2012 hingga 2015.
Saat Hari Lebaran lalu, melalui performa seni "Manusia Tanah" bersama para seniman KSBI 2015 untuk memeriahkan suasana wisata di Candi Borobudur, Ismedi juga melahirkan lukisan kepala Buddha yang kemudian diberi judul "Keep The Spirit". Di studionya saat ini, ia juga sedang merampungkan lukisan tentang kepala Buddha dalam tebaran goresan dekoratif dedaunan pohon bodi.
Sebagian besar lukisan kepala Buddha karya Ismedi telah berada di tangan para pecinta lukisan di sejumlah kota dan wisatawan mancanegara antara lain di Amerika Serikat, Australia, Swiss, Inggris, Jerman, India, Singapura, Malaysia, dan Thailand.
"Kalau soal harganya, itu bervariasi. Bisa dibicarakan. Lukisan ini soal kecocokan, soal jodoh," kata Ismedi yang tinggal di rumah sederhana yang sekaligus tempatnya setiap hari melukis.
Ia sebut beberapa judul lukisan kepala Buddha karyanya, antara lain "Beautiful of Mind", "Light up the Soul", "Morning Light", "Power Full", "Struggle of Buddha", dan "The Face of Technocrat" yang inspirasinya bersumber langsung dari Candi Borobudur, diperkuat referensi buku-buku tentang Borobudur dan informasi dari selancarnya di jagat maya.
"Banyak kepala Buddha yang hilang di Candi Borobudur, bahkan melalui internet, saya juga menemukan foto patung kepala Buddha disimpan museum di Belanda. Gambarnya masih bagus dan terkesan terawat dengan baik," katanya.
Salah satu buku tentang Borobudur yang menjadi referensinya menyebut 504 patung Buddha di Candi Borobudur, yang terdiri atas 72 patung di dalam stupa berterawang dan 432 di relung terbuka.
"Minimal itu juga jumlah kepala Buddha. Belum lagi yang di relief-relief, belum lagi kalau menjadi lukisan. Seorang pemilik galeri bilang ke saya 'Buddha kamu banyak introspeksi diri. Tenang dan damai'," katanya.