"Sang Hyang Kamahayanikan" untuk Sejarawan Bahari
"Untuk tahun ini 'Sang Hyang Kamahayanikan Award' diberikan kepada A. B. Lapian karena dinilai oleh dewan juri memiliki kontribusi besar dalam pengembangkan kajian sejarah bahari Nusantara," katanya di sela pembukaan BWCF 2013 di Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat.
Dewan juri penerima penghargaan itu, antara lain Susanto Zuhdi (sejarawan bahari Universitas Indonesia), Agus Aris Munandar (arkeolog UI), Mudji Sutrisno (filsuf STF Driyarkara), dan Tim Samana Foundation sebagai penyelenggara BWCF.
Borobudur Writers & Cultural Festival berlangsung pada 17-20 Oktober 2013 terutama di Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan 250 peserta berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Kegiatan bertema "Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara, Kolonial dan Poskolonial" itu, merupakan pertemuan penulis, pekerja kreatif, akademisi, dan pegiat budaya yang selama ini memberikan perhatian secara serius terhadap sejarah Nusantara.
Rangkaian BWCF 2013, antara lain seminar tentang bahari dan rempah, pemutaran film tentang kekayaan budaya laut Nusantara, pentas musik, peluncuran buku mengenai peradaban bahari Nusantara, pembacaan karya sastra tentang laut dan peradaban bahari.
Pemberian penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan itu, rencananya pada hari terakhir penyelenggaraan kegiatan tersebut, Minggu (20/10), di Yogyakarta.
"Pihak keluarga A.B. Lapian yang akan menerima," katanya.
Lapian lahir di Tegal, Jateng, 1 September 1929 dan meninggal dunia di Jakarta pada 19 Juli 2011. Dia adalah mahasiswa angkatan pertama jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI. Dia menjadi guru besar sejarah di UI hingga wafat.
Disertasinya berjudul "Orang Laut - Bajak Laut - Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX" sebagai salah satu kajian sejarah maritim terbaik Indonesia. Desertasi itu kemudian menjadi buku dengan judul yang sama. Kajiannya itu dinilai komprehensif mengenai sejarah maritim sekitar laut Sulawesi sebagai kesatuan segi bahasa, etnologi, dan antropologi.
Yoke menjelaskan komitmen dan reputasi Lapian yang menonjol dalam kajian sejarah maritim, membuat dia dijuluki "nahkoda sejarah maritim Asia Tenggara".
Lapian juga menulis buku "Pelayaran dan Perniagaan Nusantara: Abad ke-16 dan 17" (2008) dan "For Better or Worse - Collected Essays on Indonesian-Dutch Encounters" (2010), serta banyak makalah untuk seminar sejarah bahari di dalam dan luar negeri.
Hingga saat ini, katanya, masih relatif sedikit para pengkaji sejarah bahari atau sejarawan bahari Nusantara.
"Hanya orang-orang yang setia dan tahan bekerja dalam kesunyian yang dapat menempuh bidang kajian bahari. Lapian mungkin satu-satunya perintis sejarah bahari yang setia dan terus bekerja tanpa lelah untuk menyelami sejarah bahari Nusantara yang begitu luas," katanya.
Penghargaan "Sang Hyang Kamahayanikan" diberikan kepada tokoh yang telah berjasa dan memberikan kontribusi besar dalam pengkajian budaya dan sejarah Nusantara, antara lain sejarawan, sastrawan, arkeolog, budayawan, dramawan, dalang, rohaniawan, dan filolog.