Apa yang digelarnya bersama sekitar 70 warga setempat terkait dengan perayaan Sura--dalam penanggalan Jawa-- itu untuk tradisi menghormati leluhur.
Selain itu, bersyukur atas kehidupan selama ini dengan alam setempat dan berdoa untuk keselamatan perjalanan hidup masyarakat, bangsa, serta negara pada masa mendatang. Tradisi perayaan Sura juga biasa disebut sebagai Suran.
Tradisi Suran oleh pengikut aliran kepercayaan kejawen pada Kamis (15/11) itu dikemas mereka secara khusus dan terkesan hikmat di Dusun Wonogiri Kidul, Desa Kapuhan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Dusun itu terletak sekitar delapan kilometer barat laut Gunung Merapi dan sekitar 200 meter utara Sungai Pabelan yang aliran airnya berhulu di gunung berapi tersebut. Dusun itu berpenduduk sekitar 105 kepala keluarga atu sekitar 300 jiwa.
Mereka juga membangun Padepokan Seni "Budi Aji" di depan rumah Ki Rekso Jiwo untuk mengembangkan tradisi budaya dan kesenian rakyat setempat.
Di luar tradisi Suran, mereka juga menjalani pertemuan secara rutin setiap malam Jumat untuk mengkaji tentang berbagai buku kejawen warisan pemimpin mereka, Prof. DR. R.M. Wisnoe Wardhana (meninggal dunia pada 2002). Wisnoe Wardhana yang cucu Sri Sultan Hamengku Buwono VII itu adalah Ketua Umum Kejawen "Urip Sejati" berkedudukan di Yogyakarta.
Setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, mereka ritual persembahyangan di padepokan, antara lain dengan mempersembahkan sesaji, sedangkan setiap malam Minggu anak-anak padepokan geladi kesenian rakyat.
"Kalau untuk Suran ini, sejak kemarin (14/11) kami melakukan berbagai persiapan," kata Ketua Padepokan Seni Budi Aji, Kiswantono (34), didampingi seorang pengelola lainnya Talip Supriyono (30).
Warga memasang tarup berupa rangkaian janur kelapa dan janur aren (janur gunung), serta berbagai sesaji seperti air kembang di sejumlah kendil, di berbagai tempat di padepokan itu. Mereka juga menata panggung untuk pementasan kesenian dengan seperangkat gamelan.
Sejak Kamis (15/11) pagi, mereka mulai meletakkan berbagai sesaji di tengah pendopo padepokan itu. Dua batang sapu dengan tangkai bambu cukup panjang, ujung-ujung lidinya dipasangi antara lain cabai merah, bawang merah, dan rempah-rempah. Properti itu mereka namai "Tombak Sewu".
"Penempatan 'Tombak Sewu' dipercaya sebagai senjata, bukan untuk menolak hujan, tetapi memindahkan hujan sementara waktu agar acara kami lancar. Kami tidak melawan alam," katanya. Dua "Tombak Sewu" diletakkan di pojok kanan dan kiri pendopo padepokan tersebut.
Aneka sesaji untuk perayaan Suran itu antara lain bernama jenang sura atau gunungan wadon, gunungan lanang, tumpeng robyong, tumpeng tanggap warsa, jajan pasar, kembang mawar, tempat pembakaran kemenyan, satu lentera, dan dupa.
Isi berbagai sesaji yang ditempatkan di tengah pendopo padepokan tersebut, antara lain tumpeng, ingkung, lauk pauk, palawija, aneka sayuran, buah-buahan, sedangkan gunungan wadon dan gunungan lanang yang masing-masing setinggi sekitar 1,5 meter berupa tatanan hasil bumi dan sayuran, aneka makanan dalam puluhan wadah yang diberi nama "takir".
Rangkaian tradisi Suran oleh warga padepokan itu berupa sembahyang, kirab, kenduri, dan pentas berbagai kesenian tradisional seperti tarian gembel gunung, gangsir ngentir, jatilan, soreng putri, kuda lumping, dan ketoprak.
Para penyuguh kesenian rakyat itu, selain warga padepokan setempat juga dari dusun tetangga seperti Gantang dan Wulung Gunung, Kecamatan Sawangan.
"'Ing titiwanci punika, surya kapisan wulan Sura, kulawarga Kejawen Urip Sejati kepareng naluri dateng para leluhur, ngalap berkah sekalian nggelar sesaji' (Saat ini 1 Sura, pemeluk kepercayaan Kejawen Urip Sejati melestarikan tradisi leluhur, memohon berkah, dan mempersembahkan sesaji, red.)," demikian Ki Reksojiwo saat membuka prosesi persembahyangan dengan diikuti pemeluk kejawen yang umumnya berpakaian adat Jawa gaya Yogyakarta itu.
Pada kesempatan itu, seorang warga Iskandar (35) membacakan geguritan karya Wisnoe Wardhana pada 1992 berjudul "Sasi Sura" dilanjutkan dengan tembang dandanggula oleh seluruh warga.
"'Sasi iki sepi ing gawe, mligi ngudi karahayone, setahun kang bakal tumeka, haywa na sekara-kara'," begitu salah satu bait geguritan itu yang kira-kira maksudnya bahwa Sura sebagai bulan untuk merenungkan perjalanan hidup masa lalu, untuk mendapatkan kebahagiaan pada tahun yang akan datang.
Talip melanjutkan dengan pembacaan geguritan kedua berjudul "Sesaji" yang kemudian dilanjutkan dengan tembang mijil secara bersama-sama oleh warga pemeluk kejawen itu.
"'Eling marang sing diaji-aji, Aji Kang Maha Luhur, luhur kang sampurna, sampurna ing sakabehe. Sesaji mamrih nyawiji, nyawiji ing kasucen, suci margining katemu, satemon lawan Sang Aji'," demikian dua bait pertama geguritan itu yang kira-kira maksudnya bahwa sesaji untuk mengingat Sang Maha Luhur, sesaji menyatukan kesucian karena dengan kesucian bisa bertemu dengan Sang Maha Luhur.
Para pemeluk kejawen itu juga melakukan kirab dengan mengusung aneka sesaji. Mereka berjalan kaki melewati jalan-jalan kampung setempat sepanjang sekitar satu kilometer. Warga setempat lainnya menyaksikan kirab mereka.
Di beberapa tempat, mereka meletakkan sesaji berupa nasi tumpeng, lauk pauk, taburan bunga, dan dupa. Sesaji juga diletakkan di tugu yang mereka sebut "Watu Kurung" di salah satu sudut dusun.
Di tugu yang bertuliskan aksara Jawa "Manunggaling Kawula Gusti" dan gambar punakawan itu terdapat batu berbentuk kotak seperti sangkar burung yang ditemukan warga di Sungai Pabelan Dusun Wonogiri Kidul, saat banjir lahar 2011, pascaerupsi dahsyat Gunung Merapi 2010.
Satu sesaji lainnya diletakkan di batu yang mereka namai "Watu Gajah" (batu ukuran relatif besar, red.) di tepi aliran Kali Pabelan dusun setempat.
Saat memimpin persembahyangan Ki Reksojiwo yang mengenakan pakaian serba warna hitam dan memakai iket warna hitam itu terdengar menyebut berbagai nama leluhur dusun setempat, para penunggu berbagai gunung di Tanah Jawa, dan mata air.
Selain itu, ia juga terdengar menyebut nama Adam dan Hawa, dewa, danyang, nama-nama candi, dan Batara Wismaya yang juga Semar Badranaya sebagai pamong para kesatria dan peruwat "sukerta".
Disebutnya juga berbagai sesaji yang dipersembahkan warga pemeluk kepercayaan kejawen setempat saat perayaan Suran tahun ini.
"'Kulawarga tuntunan 'Urip Sejati' ngedalaken uba rampe sesaji, ngaturaken rejeki, ganjaran. Sesaji kagem leluhur'," katanya.
Mereka juga diajak memohon kepada Penguasa Jagat untuk pengampunan dosa, memohon keselamatan dari berbagai bencana, ketenangan hidup, dan kemudahan dalam mencari penghidupan sehari-hari melalui alam setempat. Umumnya warga setempat bekerja sehari-hari sebagai petani, khususnya komoditas hortikultura.
Unjuk doa juga untuk bangsa dan negara Indonesia agar selalu aman, tenteram, damai, dengan seluruh masyarakat hidup sejahtera.
"'Niat ingsung sageta sedaya langgeng basuki' (Kami berkomitmen membangun kehidupan bersama agar semua mencapai keabadian dan beroleh keselamatan, red.)," kata Ki Reksojiwo pada akhir kalimat doanya.
Tanggal 1 Sura terkesan kuat menjadi hari gembira mereka yang terwujud dalam ungkapan doa, pengharapan, dan tradisi budaya menghormati leluhur.