Solo (ANTARA) - Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) melalui Biro Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) kembali menggelar Kajian Tarjih edisi ke-184 pada Selasa.
Dalam kajian daring yang disiarkan melalui Zoom Meeting, tema yang diangkat adalah Panduan Shalat Jamaah: Menjadi Makmum bagi Imam yang Qunut dan Sujud Sahwi berdasarkan Fatwa Tarjih Muhammadiyah tahun 2018.
Kajian ini menghadirkan pemateri Dr. Isman, S.H.I., S.H., M.H., yang merupakan Kaprodi Program Studi Magister Hukum Ekonomi Syariah UMS. Dalam pemaparannya, Isman mengangkat persoalan fikih yang kerap dihadapi umat Islam, yakni ketika seorang makmum bermakmum kepada imam yang mengamalkan qunut dalam salat Subuh dan kemudian imam tersebut melakukan sujud sahwi karena lupa membaca qunut.
“Ini adalah persoalan yang sangat mungkin kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
Ia menjelaskan dari satu kondisi tersebut bisa muncul tiga pertanyaan pokok, apakah makmum harus mengaminkan qunut dan mengangkat tangan, apakah makmum wajib ikut sujud sahwi, dan apakah salat makmum batal jika tidak ikut sujud sahwi bersama imam.
Sebelum masuk ke inti pembahasan, Isman menyampaikan kaidah umum dalam penyusunan fatwa tarjih Muhammadiyah. Ia menekankan pentingnya merujuk sumber-sumber primer seperti Al-Qur’an dan hadis, sebelum kemudian ditunjang dengan kaidah fikih, ushul fikih, dan pemahaman kontekstual. Posisi mazhab dalam fatwa tarjih dipandang sebagai metodologi (manhaj), bukan sebagai pendapat final (qauli).
“Fatwa tarjih selalu menghindari pengutipan pendapat dari media online yang belum terverifikasi. Rujukan utama tetap pada literatur tercetak yang otoritatif,” katanya.
Menjawab pertanyaan pertama, Isman menyatakan makmum Muhammadiyah yang mengikuti imam yang qunut, tidak dituntunkan untuk mengaminkan atau mengangkat tangan.
“Qunut Subuh tidak diamalkan dalam lingkungan Muhammadiyah karena dinilai belum memiliki dasar syar’i yang kuat,”jelasnya merujuk pada Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Juz 1 halaman 378.
Dalam konteks ini, makmum cukup berdiri dalam posisi iktidal dengan tangan lurus ke bawah tanpa mengaminkan doa qunut imam. Sikap ini merupakan cerminan dari prinsip tarjih yang konsisten dan berpijak pada kehati-hatian dalam beribadah.
Terkait pertanyaan kedua, apakah makmum wajib ikut sujud sahwi ketika imam lupa membaca qunut, Isman menjelaskan fatwa tarjih memberikan panduan bahwa makmum tidak perlu ikut sujud sahwi.
“Sebab menurut tarjih, qunut bukan bagian dari rukun salat, sehingga ketika imam sujud sahwi karena lupa qunut, makmum tidak dituntut ikut,” katanya.
Namun demikian, makmum tetap dilarang mendahului imam dalam mengakhiri salat. Makmum harus menunggu imam selesai dari sujud sahwi, lalu bersama-sama salam. Ini demi menjaga kesatuan gerakan dalam salat jamaah.
Isman menegaskan sujud sahwi yang dilakukan imam karena qunut tidak termasuk dalam rukun-rukun af’aliyah (gerakan salat) yang wajib diikuti makmum. Oleh karena itu, makmum yang tidak mengikuti sujud sahwi dalam kasus tersebut tetap sah salatnya.
Dalam paparannya, Isman juga menyinggung pentingnya memahami ruang lingkup kepatuhan kepada imam. Mengikuti imam hanya berlaku pada rukun-rukun salat yang utama seperti rukuk, sujud, dan tahiyat. Adapun gerakan di luar itu seperti batuk, membetulkan kopiah, atau sujud sahwi karena perbedaan pemahaman tidak wajib diikuti.
Kajian ini sekaligus menjadi bentuk edukasi keagamaan yang mencerahkan warga Muhammadiyah serta civitas akademika UMS agar memahami batasan-batasan dalam praktik salat berjamaah lintas mazhab. Menurut Isman, sikap tarjih yang hati-hati, terbuka, dan argumentatif menjadi kekuatan dalam menjawab persoalan kontemporer.
“Kita tidak dalam posisi menegasikan amaliah umat Islam lainnya, tapi justru menunjukkan bahwa pilihan tarjih itu dilandasi argumentasi ilmiah dan komitmen keilmuan,” katanya.

