LSF-UIN Walisongo berkolaborasi budayakan sensor mandiri
Semarang (ANTARA) - Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang bekerja sama dalam penyelenggaraan sosialisasi gerakan nasional budaya sensor mandiri.
Kegiatan yang menghadirkan akademisi, praktisi, dinas, dan mahasiswa dilaksanakan di Ballroom Hotel Novotel Semarang, Selasa (9/7/2024).
Wakil Rektor I UIN Walisongo M. Mukhsin Jamil menyampaikan proses literasi masyarakat menghadapi dunia perfilman saat ini mengalami disrupsi, perubahan mendasar bergerak cepat dan memiliki implikasi yang luas serta tidak dapat menolaknya.
Jadi, menurut dia, tantangan masyarakat saat ini terletak pada bagaimana cara mereka mengontrol tontonannya sendiri, sebab berbagai macam informasi dan tontonan mengalir deras melalui berbagai platform yang sulit dikontrol oleh lembaga.
“Antisipasi secara komprehensif harus kita lakukan, salah satunya dengan menguatkan kemampuan masyarakat agar bisa membekali dirinya dalam memilih dan memilah tontonan. Maka harapannya, semoga acara ini tidak hanya sebatas seremoni saja tetapi dapat terjalin kolaborasi lebih mendalam antara LSF dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK),” tambah Mukhsin yang merupakan Guru Besar Pemikiran Islam.
Penyensoran film merupakan amanat dari Undang Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman bahwa setiap film yang akan diedarkan dan dipertunjukkan wajib mendapatkan surat tanda lolos sensor dari Lembaga Sensor Film. LSF memiliki tugas untuk mempromosikan perfilman Indonesia sesuai klasifikasi usia tetapi juga memiliki tugas memperkuat potensi-potensi yang ada di Indonesia.
Gerakan nasional budaya sensor mandiri ini merupakan kegiatan yang penting karena dapat membekali literasi pada masyarakat terhadap tontonannya. Pasalnya jika tidak adanya kesadaran budaya sensor mandiri akan sulit untuk mengontrol tontonan masyarakat jika dilihat dari platform platform penayangan film yang sangat banyak.
“Penayangan film sekarang tidak seperti dulu yang hanya ada di bioskop pada jam tertentu serta ada batasan usia yang ketat untuk mengakses film tertentu. Sementara sekarang batasan tersebut sudah tidak ada. Sensor film yang dikeluarkan berfungsi untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif film,” ucap Mayjen Ahmad Yani Basuki, Ketua Ke-17 Lembaga Sensor Film.
Pada sambutannya, Ahmad Yani Basuki juga menyampaikan nilai strategis film yang cukup krusial, yakni pertama film memiliki peran pendidikan pada suatu bangsa, kedua film dapat membentuk karakter penontonnya, ketiga film dapat menjadi bentuk ketahanan budaya bangsa.
“Oleh karena itu, tontonan adalah sebuah investasi. Apa yang anakmu tonton, itulah investasi yang akan menentukan bagaimana dia ke depannya,” ucap Ahmad Yani.
Pada sesi diskusi budaya sensor mandiri, dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Najahan Musyafak menyampaikan bahwa kegiatan ini termasuk upaya LSF dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Film sebagai media komunikasi massa yang memiliki kekuatan dalam mentransformasikan ide, gagasan, opini dan ideologi untuk mempengaruhi sikap dan perilaku audiens.
“Posisi perguruan tinggi dapat menjadi mitra pemegang otoritas sensor film dengan melakukan literasi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat,” ujar Najahan.
Adapun pengabdian telah dilakukan di KPI FDK UIN Walisongo melalui model KKN tematik literasi media. Sebagaimana dipaparkan dosen KPI, M. Alfandi KKN tematik literasi media ini pernah dilakukan di Desa Sumber, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali dan Desa Pakis, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal. ***
Kegiatan yang menghadirkan akademisi, praktisi, dinas, dan mahasiswa dilaksanakan di Ballroom Hotel Novotel Semarang, Selasa (9/7/2024).
Wakil Rektor I UIN Walisongo M. Mukhsin Jamil menyampaikan proses literasi masyarakat menghadapi dunia perfilman saat ini mengalami disrupsi, perubahan mendasar bergerak cepat dan memiliki implikasi yang luas serta tidak dapat menolaknya.
Jadi, menurut dia, tantangan masyarakat saat ini terletak pada bagaimana cara mereka mengontrol tontonannya sendiri, sebab berbagai macam informasi dan tontonan mengalir deras melalui berbagai platform yang sulit dikontrol oleh lembaga.
“Antisipasi secara komprehensif harus kita lakukan, salah satunya dengan menguatkan kemampuan masyarakat agar bisa membekali dirinya dalam memilih dan memilah tontonan. Maka harapannya, semoga acara ini tidak hanya sebatas seremoni saja tetapi dapat terjalin kolaborasi lebih mendalam antara LSF dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK),” tambah Mukhsin yang merupakan Guru Besar Pemikiran Islam.
Penyensoran film merupakan amanat dari Undang Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman bahwa setiap film yang akan diedarkan dan dipertunjukkan wajib mendapatkan surat tanda lolos sensor dari Lembaga Sensor Film. LSF memiliki tugas untuk mempromosikan perfilman Indonesia sesuai klasifikasi usia tetapi juga memiliki tugas memperkuat potensi-potensi yang ada di Indonesia.
Gerakan nasional budaya sensor mandiri ini merupakan kegiatan yang penting karena dapat membekali literasi pada masyarakat terhadap tontonannya. Pasalnya jika tidak adanya kesadaran budaya sensor mandiri akan sulit untuk mengontrol tontonan masyarakat jika dilihat dari platform platform penayangan film yang sangat banyak.
“Penayangan film sekarang tidak seperti dulu yang hanya ada di bioskop pada jam tertentu serta ada batasan usia yang ketat untuk mengakses film tertentu. Sementara sekarang batasan tersebut sudah tidak ada. Sensor film yang dikeluarkan berfungsi untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif film,” ucap Mayjen Ahmad Yani Basuki, Ketua Ke-17 Lembaga Sensor Film.
Pada sambutannya, Ahmad Yani Basuki juga menyampaikan nilai strategis film yang cukup krusial, yakni pertama film memiliki peran pendidikan pada suatu bangsa, kedua film dapat membentuk karakter penontonnya, ketiga film dapat menjadi bentuk ketahanan budaya bangsa.
“Oleh karena itu, tontonan adalah sebuah investasi. Apa yang anakmu tonton, itulah investasi yang akan menentukan bagaimana dia ke depannya,” ucap Ahmad Yani.
Pada sesi diskusi budaya sensor mandiri, dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Najahan Musyafak menyampaikan bahwa kegiatan ini termasuk upaya LSF dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Film sebagai media komunikasi massa yang memiliki kekuatan dalam mentransformasikan ide, gagasan, opini dan ideologi untuk mempengaruhi sikap dan perilaku audiens.
“Posisi perguruan tinggi dapat menjadi mitra pemegang otoritas sensor film dengan melakukan literasi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat,” ujar Najahan.
Adapun pengabdian telah dilakukan di KPI FDK UIN Walisongo melalui model KKN tematik literasi media. Sebagaimana dipaparkan dosen KPI, M. Alfandi KKN tematik literasi media ini pernah dilakukan di Desa Sumber, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali dan Desa Pakis, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal. ***