Itu kalimat kontak keduanya menjelang penghabisan tahun lalu saat saling mengucap "Selamat Tahun Baru". Sutanto membalas dengan kalimat, "I love you Mas."
Dalam sejumlah kesempatan sekitar setengah tahun sebelum itu, mereka bertemu dalam forum terkait dengan musik, antara lain di Solo, Jakarta, dan Yogyakarta. Saling berkirim layanan pesan singkat melalui telepon seluler pun terus berlanjut.
"Sekian SMS saru-saru ceria," kata Sutanto ketika mengenang sosok Slamet Abdul Syukur, komponis kontemporer Indonesia yang berpulang pada Selasa (24/3) sekitar pukul 06.00 WIB di Rumah Sakit Graha Amerta, Surabaya, saat menjalani perawatan tulang paha karena jatuh pada 9 Maret 2015.
Jenazahnya disemayamkan di rumah duka di Jalan Pirngadi Nomor 3 Surabaya, Jawa Timur. Slamet Abdul Syukur yang nama pemberian saat lahir adalah Soekandar, lahir di Surabaya pada 30 Juni 1935.
Sejumlah sumber menyebut, perkawinannya dengan isteri pertama bernama Siti Suharsini mendapat anak perempuan Tiring Mayang Sari pada 1961, dari hubungan asmara dengan Elisabeth Fauquet, lahir pada 1961 seorang perempuan bernama Stephanie, sedangkan dalam pernikahan dengan Francoise Mazurek, mendapatkan anak bernama Svara pada 1979.
Saat usia enam bulan, kaki kanannya terserang polio dan hingga hari tuanya, ia harus menggunakan alat bantu untuk berjalan. Sutanto memajang di media sosial, foto dokumennya saat jalan-jalan Wellington dengan Slamet Abdul Syukur, ketika keduanya menghadiri Asia Pasific Conference and Festival di Selandia Baru pada awal 2007.
Setelah bapaknya membelikan piano, ia berkawan asyik dengan alat musik itu. Mulai usia sembilan tahun, Slamet Abdul Syukur, memiliki guru piano. Sejumlah guru pianonya antara 1944 hingga 1952 yang memperkuat penggalian bakatnya bermusik, antara lain Nio, D. Tupan (asal Ambon), Paneda (Filipina), Schaap (Belanda), dan Josep Bodmer (Swiss).
Dalam buku "Kosmologi Gendhing Gendheng (Intercosmolimagination)" terbitan Indonesiatera pada 2002, Sutanto menyebut pendidikan musik dijalani Slamet Abdul Syukur di Sekolah Musik Surabaya.
"Entah sekarang masih ada atau tidak," kata Sutanto yang pernah belajar musik di Akademi Musik Indonesia (AMI) Yogyakarta.
Sumber lain menyebut Slamet Abdul Syukur juga menjalani pendidikan di Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta pada 1952-1956. Di tempat itu, ia bertemu dengan para guru musik yang kemudian selalu dikenangnya, seperti Soemaryo L.E., Nicolaj Varvolomeyeff, dan J. Bodmer. Sebelumnya, pada 1948, Slamet Abdul Syukur menjadi pemain piano, mengiringi siaran anak-anak di Radio Republik Indonesia (RRI) Malang dan Kediri, Jawa Timur.
Selama 1960-1961, ia mengampu mata pelajaran piano dan harmoni di SMI Yogyakarta. Pada 1960, ia melahirkan karya pertama berjudul "Point Contre", untuk radio dan televisi Prancis.
Karya-karya lainnya, seperti berjudul Parentheses I-VI, Makrokosmos I dan II, Jakarta 450 Tahun, Daun Pulus, Ketut Candu, Silence, String Quartet I, Sepur Mendem, dan Uweg-Uweg.
"Saat pertama bertemu, aku masih berumur 21 tahun. Di ruang kuliah, semangat kamu bukan dari tipe pendidik rutin gaji bulanan 'copy paste'. Di panggung musik, karyamu bukan melulu," kata Sutanto yang kini berumur 61 tahun dan selama belasan tahun terakhir menjadi inspirator utama gerakan kebudayaan para seniman petani di kawasan lima gunung yang mengelilingi wilayah Kabupaten Magelang, yakni Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.
Pemerintah Prancis memberi Slamet beasiswa untuk belajar di Ecole Normale de Musique pada 1962 dengan ijazah piano diraih pada 1965 dan komposisi digarap pada 1967. Ia juga kuliah di Concervatoire National Superiere. Selama 1967-1968, ia bekerja untuk Group de Recherches Musicales pimpinan Pierre Schaeffer (pencetus musik konkret) dan pada 1968 diundang ke Darmstadt untuk pertemuan tahunan komponis kontemporer seluruh dunia yang dirintis sejak 1946.
Setelah 14 tahun di Prancis, pada 1976 Slamet Abdul Syukur kembali ke Tanah Air dan kemudian mengajar di Institut Kesenian Jakarta hingga 1987. Pada 2001-2006 mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah, dan pada 2006-2009 mengajar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Jawa Barat.
Pada 2005, Gubernur Jawa Timur memberikan penghargaan kepada Slamet Abdul Syukur karena dedikasinya dalam dunia musik, pada 2002 diangkat sebagai anggota Akademi Jakarta untuk seumur hidup, pada 1996 Majalah Gatra menganugerahi dia sebagai pioner musik alternatif, dan pada 1983 mendapatkan Medali Zoltan Kodaly dari Hungaria.
Selain itu, pada 1975, ia mewakili Indonesia untuk memimpin Orkes Angklung pada Festival International Folkklore Dijon dengan meraih penghargaan "Academie Charles Cross: Dis que d'Or" dan pada 1974 meraih Bronze Medal dari Festival de Jeux d'Automne di Prancis.
Sutanto dalam buku "Kosmologi Gendhing Gendheng" menyebut kiprah Slamet Abdul Syukur di jagat musik penuh dengan hal-hal yang "ada-ada saja" dan pertanyaan yang "enggak-enggak".
"Juga pada banyak tulisannya yang berpakem saling, silang, dan seling (gothak, gathik, gathuk). Maka ramailah polemik musik dengan hadirnya tokoh musik pada 1975. Ingat kalimat ini, 'Pendidikan musik di Indonesia ketinggalan 200 tahun'. Ditinjau dari pendekatan mana pun, ia menonjok dan menjungkirbalikkan banyak pihak," katanya.
Sejumlah tokoh musik Indonesia disebut Sutanto telah mendapat pengaruh kuat dari Slamet Abdul Syukur, antara lain Franki Raden, Otto Sidharta, Tony Prabowo, dan Marusya Nainggolan dan masih banyak lagi.
"Selalu memberi pancingan para komponis muda. Slamet pasti guru yang dikenang muridnya langsung maupun yang tak langsung. Toety Heraty Noerhadi pernah nulis-nulis pribadi ini dengan perspektif filsafati, 'Bertemu Slamet merupakan suatu kesempatan uluran tangan yang meninggalkan kesempitan profesi. Serta-merta menampilkan persentuhan dengan bidang psikologi, matematika informasi, dan bidang filsafat tentang manusia. Manusia yang selalu cenderung untuk menafsirkan lingkungannya," katanya.
Sutanto menyebut asyik bergaul dengan Slamet Abdul Syukur. Ia bagaikan dua kutub yang terasa mudah berloncatan tanpa batas. Mimiknya sulit disimpulkan apakah mengekspresikan jenius atau "blo'on", sungguh-sungguh atau main-main, serius atau santai, gembira atau marah.
Selain itu, katanya, percakapannya terkadang toleran, menyerang, merayu, dan mencengkeram. Sebagai guru, ia pintar memancing banyak tawaran untuk muridnya dan bukan menjejali dengan nilai-nilai yang satu dimensi.
"Mas Slamet, usiamu cukup panjang, juga usia bermakna karyamu. Saya pastikan, dibanding yang seolah komponis lain atau pendidik musik lain di tingkat nasional, kamu 'enjoy' sebagai musikus dan banyak generasi muda menghormatimu. Damaimu lanjut di surga, makin tanpa keluhan karena bateraimu panjang," katanya.