Blora (ANTARA) - Ahli Pers dari Dewan Pers, Jayanto Arus Adi menyampaikan keprihatinannya atas masih adanya stereotip sebagian pejabat publik yang memandang wartawan sebagai biang kegaduhan atau pembuat ontran-ontran.
"Pandangan tersebut kontraproduktif dan berpotensi memperburuk hubungan antara jurnalis dengan pemangku kebijakan daerah," ujar Jayanto dalam diskusi Strategi dan Kiat Sukses Membangun Asa Media Digital di Tengah Gempuran Media Sosial yang digelar Forum Jaringan Media Siber Blora (JMSB), Senin.
Selain itu, dia juga prihatin ketika wartawan dianggap sebagai biang kegaduhan. Apalagi jika pejabat publik mempunyai sikap semacam itu.
Jayanto yang juga menjabat sebagai Dewan Pengawas Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Jawa Tengah menegaskan, pejabat publik seharusnya memahami bahwa keterbukaan informasi merupakan kunci terciptanya kontrol sosial.
"Pejabat publik atau siapapun yang punya pendapat seperti itu perlu memahami peran dan fungsi pers sesuai khittahnya," ujarnya.
Ia menjelaskan wartawan tidak hanya berfungsi sebagai corong sosialisasi pemerintah, tetapi juga menjadi penyambung aspirasi masyarakat kepada pemangku kebijakan.
Menurut dia jika wartawan justru dijadikan kambing hitam atas kebijakan yang bermasalah, hal itu mencerminkan minimnya pemahaman pejabat terhadap tugas jurnalistik.
"Kalau manifestasi pejabat terhadap wartawan dianggap biang kegaduhan, kita (jurnalis) bisa menilai kedalaman ilmu pengetahuan pejabat tersebut," ujarnya.
Lebih lanjut, Jayanto mengingatkan pemilik media arus utama agar meningkatkan kapasitas teknis sekaligus etika wartawan, sehingga tidak terjebak dalam praktik kontraproduktif. Ia juga menekankan pentingnya dukungan konstituen Dewan Pers terhadap dua hal pokok, yakni peningkatan profesionalisme wartawan dan penjagaan kemerdekaan pers.
Kepada masyarakat, Jayanto menekankan pentingnya memahami tugas wartawan dalam dua koridor utama: profesionalisme dan kontrol sosial. Dengan begitu, pers dapat menjalankan perannya sebagai pilar demokrasi secara optimal.
"Tidak perlu ada pernyataan yang kontraproduktif. Karena kalau itu dilakukan, artinya pejabat tidak paham dua fungsi pers, khususnya sebagai kontrol sosial," tandasnya.
Jayanto juga menyoroti belum adanya Dewan Pers di tingkat kabupaten/kota sebagaimana amanat undang-undang. Meski demikian, pihaknya yakin peningkatan kesadaran pejabat publik akan peran pers dapat meminimalkan miskomunikasi.
“Pers adalah salah satu pilar demokrasi. Keterbukaan informasi publik adalah hak masyarakat, dan pertanyaan masyarakat wajib dijawab pejabat," ujarnya.
Meski mengkritik, Jayanto tetap optimistis terhadap kapasitas pejabat publik di Indonesia.
"Saya pribadi masih yakin, para pejabat kita di tingkat daerah hingga nasional bukan orang-orang bodoh,” ujarnya.
Pernyataan tersebut disampaikannya menyusul maraknya insiden kekerasan terhadap wartawan di daerah, termasuk pernyataan kontroversial anggota Komisi II DPR RI, Azis Subekti, saat berkunjung ke Blora. Saat itu, Azis sempat mengingatkan wartawan agar tidak membuat “ontran-ontran” ketika menyinggung revisi Undang-Undang Pemilu.
Baca juga: Kementan gugat Tempo anggap tak tindak lanjuti rekomendasi Dewan Pers

