Semarang (ANTARA) - Pembahasan kembali Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) diharapkan selesai pada tahun ini. Jangan sampai tertunda lagi seperti pada September 2019.
Kendati demikian, tidak perlu grusa-grusu (terburu-buru). Pembuat undang-undang harus teliti ketika mengakomodasi aspirasi masyarakat, khususnya mengenai sejumlah pasal yang kontroversial dalam RUU KUHP dan aturan terkait dengan pidana khusus.
Pemerintah dan DPR RI selaku pembuat undang-undang harus menjaga keharmonisan antara UU KUHP (baru) dengan undang-undang khusus dengan membahas pasal demi pasal terkait dengan pidana umum dan pidana khusus.
Walau di dalam RUU KUHP menerapkan asas lex specialis derogat legi generali (undang-undang khusus mengesampingkan undang-undang umum), pembuat undang-undang perlu menyandingkan antara RUU KUHP dan UU khusus.
Asas ini disebutkan di dalam RUU KUHP Pasal 125 Ayat (2) bahwa suatu perbuatan yang diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus hanya dijatuhi aturan pidana khusus, kecuali undang-undang menentukan lain.
Sejumlah kalangan pun, seperti pakar hukum dari Unissula Semarang Dr. Jawade Hafidz, S.H., M.H. memandang perlu mempertahankan aturan mengenai pidana umum dan pidana khusus dalam RUU KUHP. Dengan alasan supaya tidak terjadi tumpang-tindih antar-UU sekaligus menghindari terjadinya disparitas dalam penegakan hukum.
Baca juga: Jawade: Pidana umum dan khusus perlu diatur dalam RUU KUHP
Pemidanaan Berbeda
Apakah muatan RUU KUHP sudah selaras dengan UU khusus atau malah sebaliknya? Ambil contoh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, khususnya mengenai aturan bendera.
Dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap orang dilarang:
a. merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara;
b. memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial;
c. mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;
d. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apa pun pada bendera negara; dan
e. memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara.
Dalam RUU KUHP, ketentuan itu terbagi menjadi dua pasal (234 dan 235).
Pasal 234: Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain terhadap bendera negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V (Rp500 juta).
Pasal 235: Dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II (Rp10 juta), setiap orang yang:
a. memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial;
b. mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;
c. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain atau memasang lencana atau benda apa pun pada bendera negara; atau
d. memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara.
Sementara itu, di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 66 disebutkan bahwa dipidana setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Pasal 67: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp100 juta, setiap orang yang:
a. dengan sengaja memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Huruf b;
b. dengan sengaja mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Huruf c;
c. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apa pun pada Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Huruf d;
d. dengan sengaja memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Huruf e.
Jika mencermati aturan mengenai bendera negara dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dan RUU KUHP, terdapat sejumlah pasal yang ancaman hukumannya berbeda meski perbuatannya sama.
Baca juga: Kearifan lokal perlu jadi pertimbangan dalam pembahasan RUU KUHP
UU Tipikor
Tidak saja disandingkan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, tetapi juga dengan UU khusus lainnya, misalnya dengan undang-undang yang terkait dengan korupsi.
Namun, menurut Ketua Prodi Doktor Hukum Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H., terlalu banyak aturan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi tidak efektif dalam penggunaan dan penerapannya.
Sejumlah aturan mengenai korupsi, antara lain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Sebelumnya, pada tahun yang sama, terdapat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Di dalam RUU KUHP, aturan mengenai korupsi ini termaktub dalam Pasal 603. Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Kategori II (Rp10 juta) dan paling banyak Kategori VI (Rp2 milir).
Disebutkan pula dalam Pasal 604 bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori VI.
Kalau di KUHP sudah diatur, kemudian di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) diatur juga, ditegaskan oleh Guru Besar Hukum Unbor ini bahwa penggunaan dan penerapan undang-undang ini berpotensi tidak efektif.
Sebenarnya yang penting adalah hasil akhirnya bagaimana tindak pidana korupsi menurun dan tidak ada lagi di Indonesia.
Oleh sebab itu, pembuat undang-undang perlu mempertimbangkan kembali apakah ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi itu perlu ada di dalam RUU KUHP atau menghapus dari draf.
Baca juga: Akademikus: Terlalu banyak aturan korupsi tak efektif penerapannya