Warga Babadan Banjarnegara dukung Program LED Kopi
Banjarnegara, 11/2 (Antara) - Warga Desa Babadan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, mendukung Program Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economic Development) Kopi yang dilaksanakan Bank Indonesia dalam rangka konservasi lahan dan peningkatan perekonomian petani setempat.
"Komoditas yang dihasilkan petani sebelumnya sayuran, sekarang dengan beralih ke kopi dan minat dari pembeli juga banyak, sehingga minat masyarakat untuk menanam kopi juga meningkat," kata Kepala Desa Babadan Wahyu Setiawati di Desa Babadan, Kecamatan Pagentan, Banjarnegara, Senin.
Dia mengatakan hal itu kepada wartawan di sela kegiatan "Kick Off" Program LED Kopi dengan tema "Sejuta Pohon Kopi untuk Konservasi dan Peningkatan Ekonomi Petani".
Bahkan, kata dia, petani di Desa Babadan saat sekarang keteteran dengan ketersediaan bibit kopi untuk memenuhi permintaan dari konsumen.
Oleh karena itu, lanjut dia, pengaruh Program LED Kopi yang dirintis Kantor Perwakilan BI Purwokerto sejak tahun 2018 sangat dirasakan oleh warga setempat khususnya petani kopi.
"Program ini bukan hanya ke masyarakat dan kopi tetapi untuk nilai ekonomi dan semua sektor yang berimbas pada kesejahteraan masyarakat termasuk konservasi lahan," katanya.
Menurut dia, kopi merupakan tanaman konservasi sehingga dapat mengantisipasi terjadinya bencana tanah longsor di Desa Babadan topografinya berbukit.
Selain itu, kata dia, sedimentasi di Sungai Tulis mulai berkurang sejak petani di Desa Babadan menanam kopi.
"Dulu juga sempat terjadi longsor di wilayah Sikopel. Nantinya lahan seluas 2 hektare di sekitar lokasi wisata Curug Sikopel juga akan ditanami dengan tanaman kopi," katanya.
Dia mengatakan jika petani kopi di Desa Babadan sebenarnya sudah siap untuk menembus pasar ekspor namun untuk sementara belum bisa memenuhi kuantitasnya.
Sementara itu, Ketua Koperasi Sikopel Mitreka Satata, Desa Babadan, Turno mengatakan saat ini jumlah petani di Desa Babadan yang telah menanam kopi hampir 90 orang.
"Luas lahan kopi sekitar 60 hektare dan lahan yang sudah produksi sekitar 40 hektare. Kami tanam kopi sejak tahun 2010 dan mulai panen 2014, jenisnya Lini S795, arabika. Jumlahnya sudah 150 ribuan pohon termasuk penanaman bibit dari BI yang kemarin sebanyak 12.000 batang (tahun 2018, red.)," katanya.
Ia mengatakan produksi kopi yang dikelola koperasi pada tahun 2018 sebanyak 5 ton "green bean" (biji kopi) karena ada petani yang menggunakannya untuk kebutuhan sendiri dan panennya sedikit sehingga tidak dibawa ke koperasi.
Akan tetapi, kata dia, pengolahan sesuai dengan standar dilakukan di koperasi dengan menggunakan peralatan bantuan dari BI agar hasilnya dapat dipertanggunjawabkan.
"Koperasi berfungsi menampung, mengolah, dan memasarkan kopi. Kami membeli kopi petik merah dari petani sebesar Rp12.000 per kilogram, dijual sebagai 'green bean' sebesar Rp100.000 per kilogram, serta 'roasted bean' dan bubuk siap seduh sebesar Rp300.000 per kilogram," katanya.
Ia mengakui pasar kopi asli Babadan yang dikenal dengan nama "Java Bisma" telah menjangkau beberapa kota besar dan paling banyak Jakarta.
Oleh karena sempat tidak bisa mencukupi kebutuhan kafe-kafe lokal, kata dia, pihaknya pada tahun ini telah menyiapkan stok khusus untuk pasar lokal yang meminta secara rutin setiap minggu.
"Produksi mencapai 5 ton tetapi dari Jakarta sendiri masih kekurangan, sedangkan pelanggan yang sejak tahun 2014 tidak bisa putus. Padahal, pelanggan dari Jakarta punya jaringan kafe di seluruh Indonesia, sehingga kopi 'Java Bisma' tidak bisa berhenti dengan alasan tidak punya stok," kata dia yang juga Ketua Gabungan Kelompok Tani "Sida Makmur" Desa Babadan.
Terkait dengan karakteristik kopi khas Babadan, Turno mengatakan saat petani diajak ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka), kopi yang dihasilkan petani di Desa Babadan diketahui memiliki karakter tersendiri atau "specialty coffee" yang tidak ditemui di daerah lain, antara lain aroma dominan gula jawa dan bodi kuat.
Salah seorang petani kopi, Sugiman Darsono mengaku saat sekarang sedang mempelajari kopi dari hulu hingga hilir.
"Kopi di Banjarnegara khususnya di Desa Babadan memiliki potensi yang sangat besar, apalagi ditambah dengan bantuan dari BI yang satu juta pohon," kata dia yang juga Ketua Kelompok Tani Rukun Kinaryo Desa Babadan.
Menurut dia, mayoritas petani di Desa Babadan yang sebelumnya menanam sayuran saat sekarang telah beralih ke kopi.
Ia mengatakan hal itu disebabkan nilai ekonomi yang dihasilkan kopi lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman sayuran.
"Harga sayuran sangat fluktuatif karena ketika panen, harganya jatuh namun ketika harganya sedang tinggi, susah sekali ditanam. Kalau kopi cenderung stabil dan kalau sedang panen raya, bisa disimpan dulu untuk dijual pada waktu yang tepat," katanya.
Ia optimistis jika sejuta pohon kopi bantuan dari BI itu sudah ditanam semua, petani akan makmur.
"Komoditas yang dihasilkan petani sebelumnya sayuran, sekarang dengan beralih ke kopi dan minat dari pembeli juga banyak, sehingga minat masyarakat untuk menanam kopi juga meningkat," kata Kepala Desa Babadan Wahyu Setiawati di Desa Babadan, Kecamatan Pagentan, Banjarnegara, Senin.
Dia mengatakan hal itu kepada wartawan di sela kegiatan "Kick Off" Program LED Kopi dengan tema "Sejuta Pohon Kopi untuk Konservasi dan Peningkatan Ekonomi Petani".
Bahkan, kata dia, petani di Desa Babadan saat sekarang keteteran dengan ketersediaan bibit kopi untuk memenuhi permintaan dari konsumen.
Oleh karena itu, lanjut dia, pengaruh Program LED Kopi yang dirintis Kantor Perwakilan BI Purwokerto sejak tahun 2018 sangat dirasakan oleh warga setempat khususnya petani kopi.
"Program ini bukan hanya ke masyarakat dan kopi tetapi untuk nilai ekonomi dan semua sektor yang berimbas pada kesejahteraan masyarakat termasuk konservasi lahan," katanya.
Menurut dia, kopi merupakan tanaman konservasi sehingga dapat mengantisipasi terjadinya bencana tanah longsor di Desa Babadan topografinya berbukit.
Selain itu, kata dia, sedimentasi di Sungai Tulis mulai berkurang sejak petani di Desa Babadan menanam kopi.
"Dulu juga sempat terjadi longsor di wilayah Sikopel. Nantinya lahan seluas 2 hektare di sekitar lokasi wisata Curug Sikopel juga akan ditanami dengan tanaman kopi," katanya.
Dia mengatakan jika petani kopi di Desa Babadan sebenarnya sudah siap untuk menembus pasar ekspor namun untuk sementara belum bisa memenuhi kuantitasnya.
Sementara itu, Ketua Koperasi Sikopel Mitreka Satata, Desa Babadan, Turno mengatakan saat ini jumlah petani di Desa Babadan yang telah menanam kopi hampir 90 orang.
"Luas lahan kopi sekitar 60 hektare dan lahan yang sudah produksi sekitar 40 hektare. Kami tanam kopi sejak tahun 2010 dan mulai panen 2014, jenisnya Lini S795, arabika. Jumlahnya sudah 150 ribuan pohon termasuk penanaman bibit dari BI yang kemarin sebanyak 12.000 batang (tahun 2018, red.)," katanya.
Ia mengatakan produksi kopi yang dikelola koperasi pada tahun 2018 sebanyak 5 ton "green bean" (biji kopi) karena ada petani yang menggunakannya untuk kebutuhan sendiri dan panennya sedikit sehingga tidak dibawa ke koperasi.
Akan tetapi, kata dia, pengolahan sesuai dengan standar dilakukan di koperasi dengan menggunakan peralatan bantuan dari BI agar hasilnya dapat dipertanggunjawabkan.
"Koperasi berfungsi menampung, mengolah, dan memasarkan kopi. Kami membeli kopi petik merah dari petani sebesar Rp12.000 per kilogram, dijual sebagai 'green bean' sebesar Rp100.000 per kilogram, serta 'roasted bean' dan bubuk siap seduh sebesar Rp300.000 per kilogram," katanya.
Ia mengakui pasar kopi asli Babadan yang dikenal dengan nama "Java Bisma" telah menjangkau beberapa kota besar dan paling banyak Jakarta.
Oleh karena sempat tidak bisa mencukupi kebutuhan kafe-kafe lokal, kata dia, pihaknya pada tahun ini telah menyiapkan stok khusus untuk pasar lokal yang meminta secara rutin setiap minggu.
"Produksi mencapai 5 ton tetapi dari Jakarta sendiri masih kekurangan, sedangkan pelanggan yang sejak tahun 2014 tidak bisa putus. Padahal, pelanggan dari Jakarta punya jaringan kafe di seluruh Indonesia, sehingga kopi 'Java Bisma' tidak bisa berhenti dengan alasan tidak punya stok," kata dia yang juga Ketua Gabungan Kelompok Tani "Sida Makmur" Desa Babadan.
Terkait dengan karakteristik kopi khas Babadan, Turno mengatakan saat petani diajak ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka), kopi yang dihasilkan petani di Desa Babadan diketahui memiliki karakter tersendiri atau "specialty coffee" yang tidak ditemui di daerah lain, antara lain aroma dominan gula jawa dan bodi kuat.
Salah seorang petani kopi, Sugiman Darsono mengaku saat sekarang sedang mempelajari kopi dari hulu hingga hilir.
"Kopi di Banjarnegara khususnya di Desa Babadan memiliki potensi yang sangat besar, apalagi ditambah dengan bantuan dari BI yang satu juta pohon," kata dia yang juga Ketua Kelompok Tani Rukun Kinaryo Desa Babadan.
Menurut dia, mayoritas petani di Desa Babadan yang sebelumnya menanam sayuran saat sekarang telah beralih ke kopi.
Ia mengatakan hal itu disebabkan nilai ekonomi yang dihasilkan kopi lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman sayuran.
"Harga sayuran sangat fluktuatif karena ketika panen, harganya jatuh namun ketika harganya sedang tinggi, susah sekali ditanam. Kalau kopi cenderung stabil dan kalau sedang panen raya, bisa disimpan dulu untuk dijual pada waktu yang tepat," katanya.
Ia optimistis jika sejuta pohon kopi bantuan dari BI itu sudah ditanam semua, petani akan makmur.