TGB: Presiden Jokowi pemimpin yang konsisten
Solo (Antaranews Jateng) - Mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi menilai Presiden Joko Widodo merupakan pemimpin yang konsisten dan sering berkunjung ke daerah untuk mengetahui apa yang dibutuhkan rakyatnya.
"Jokowi bukanlah pemimpin yang senang seremonial, tetapi lagsung bekerja dan beraksi di lapangan, termasuk saat mengunjungi warga NTB," kata TGB ketika menjadi pembicara dalam Diskusi Publik dan Bedah Buku Jalinan Keulamaan, Keumatan, dan Kebangsaan yang digelar DPP Asmindo dan Bravo 5 Jogja/Solo di Solo, Jumat.
TGB mengaku prihatin pada ajang pemilihan Presiden 2019 menguat isu politik identitas, di mana agama dijadikan jargon dan laku simbolik.
Agama, katanya, dieksploitasi sedemikan masif untuk menumbuhkan keraguan calon pemilih atas pasangan Capres Joko Widodo dan Cawapres Ma'ruf Amin.
Menurut TGB, serangan masif terhadap Jokowi dilakukan dengan menempelkannya sebagai label pemimpin yang pro-China (Aseng), asing, komunis, dan semua hal yang secara langsung berhadapan dengan aspirasi Islam.
Padahal, kata dia, Jokowi faktanya merupakan pemeluk Islam yang taat dan dalam perjalanan hidupnya dekat dengan jaringan keislaman dan keumatan.
Ia mengaku sedih jika ada Presiden yang dihina dizalimi, tetapi tetap bekerja dan tidak menanggapi hinaan itu.
Beberapa kali Jokowi meninjau bencana di NTB, mengajak salat Magrib di awal waktu di lokasi musala darurat. "Tidak ada itu pencitraan," kata mantan politikus Partai Demokrat itu.
"Pengalaman religiusitas seseorang adalah pengalaman yang sifatnya personal karena terkait hubungan antara Allah SWT dan hamba-Nya. Buku Jalinan Keulamaan, Keumatan, dan Kebangsaan yang ditulis ustaz Mukti Ali Qusyairi menjadi bukti," kata TGB.
Penulis buku Jalinan Keulamaan, Keumatan dan Kebangsaan, Mukti Ali Qusyairi, mengatakan buku tersebut berisi tentang kesaksian dari keluarga, teman dekat, kiai, dan nyai yang berinteraksi dengan Joko Widodo, baik sewaktu menjadi pengusaha furnitur hingga dengan menjadi tokoh publik.
Menurut Mukti, perspektif buku tersebut bukanlah dari penuturan Presiden Joko Widodo, tetapi dari orang-orang terdekat yang menjadi saksi perjalanan religiusitas Joko Widodo.
Jadi, katanya, buku itu bukan merupakan biografi keagamaan, tetapi justru sebuah 'life history' yang tersusun dari kesaksian-kesaksian orang lain yang mengenal Jokowi semenjak aktif sebagai pengusaha mebel dan mengelola organisasi permebelan di Solo.
Pembicara lainnya, KH Dian Nafi dari Pondok Pesantren Pompes Al Muayyad Solo dan KH Imam Aziz (PBNU) mengatakan sosok Jokowi menjadi panutan kepemimpinan yang tumbuh dan berproses dari rakyat biasa menempuh jenjang kepemimpinan yang panjang dari ketua asosiasi organisasi mebel, Wali Kota Surakarta, Gubernur DKI hingga Presiden RI.
Pada acara diskusi publik dan bedah buku tersebut juga dihadiri oleh aibunda Presiden Jokowi, Sudjiatmi Notomiharjo, paman Jokowi, Miono, dan tiga adik wanita Jokowi, Iit Sriyantini, Ida Yati, dan Titik Relawati.
"Jokowi bukanlah pemimpin yang senang seremonial, tetapi lagsung bekerja dan beraksi di lapangan, termasuk saat mengunjungi warga NTB," kata TGB ketika menjadi pembicara dalam Diskusi Publik dan Bedah Buku Jalinan Keulamaan, Keumatan, dan Kebangsaan yang digelar DPP Asmindo dan Bravo 5 Jogja/Solo di Solo, Jumat.
TGB mengaku prihatin pada ajang pemilihan Presiden 2019 menguat isu politik identitas, di mana agama dijadikan jargon dan laku simbolik.
Agama, katanya, dieksploitasi sedemikan masif untuk menumbuhkan keraguan calon pemilih atas pasangan Capres Joko Widodo dan Cawapres Ma'ruf Amin.
Menurut TGB, serangan masif terhadap Jokowi dilakukan dengan menempelkannya sebagai label pemimpin yang pro-China (Aseng), asing, komunis, dan semua hal yang secara langsung berhadapan dengan aspirasi Islam.
Padahal, kata dia, Jokowi faktanya merupakan pemeluk Islam yang taat dan dalam perjalanan hidupnya dekat dengan jaringan keislaman dan keumatan.
Ia mengaku sedih jika ada Presiden yang dihina dizalimi, tetapi tetap bekerja dan tidak menanggapi hinaan itu.
Beberapa kali Jokowi meninjau bencana di NTB, mengajak salat Magrib di awal waktu di lokasi musala darurat. "Tidak ada itu pencitraan," kata mantan politikus Partai Demokrat itu.
"Pengalaman religiusitas seseorang adalah pengalaman yang sifatnya personal karena terkait hubungan antara Allah SWT dan hamba-Nya. Buku Jalinan Keulamaan, Keumatan, dan Kebangsaan yang ditulis ustaz Mukti Ali Qusyairi menjadi bukti," kata TGB.
Penulis buku Jalinan Keulamaan, Keumatan dan Kebangsaan, Mukti Ali Qusyairi, mengatakan buku tersebut berisi tentang kesaksian dari keluarga, teman dekat, kiai, dan nyai yang berinteraksi dengan Joko Widodo, baik sewaktu menjadi pengusaha furnitur hingga dengan menjadi tokoh publik.
Menurut Mukti, perspektif buku tersebut bukanlah dari penuturan Presiden Joko Widodo, tetapi dari orang-orang terdekat yang menjadi saksi perjalanan religiusitas Joko Widodo.
Jadi, katanya, buku itu bukan merupakan biografi keagamaan, tetapi justru sebuah 'life history' yang tersusun dari kesaksian-kesaksian orang lain yang mengenal Jokowi semenjak aktif sebagai pengusaha mebel dan mengelola organisasi permebelan di Solo.
Pembicara lainnya, KH Dian Nafi dari Pondok Pesantren Pompes Al Muayyad Solo dan KH Imam Aziz (PBNU) mengatakan sosok Jokowi menjadi panutan kepemimpinan yang tumbuh dan berproses dari rakyat biasa menempuh jenjang kepemimpinan yang panjang dari ketua asosiasi organisasi mebel, Wali Kota Surakarta, Gubernur DKI hingga Presiden RI.
Pada acara diskusi publik dan bedah buku tersebut juga dihadiri oleh aibunda Presiden Jokowi, Sudjiatmi Notomiharjo, paman Jokowi, Miono, dan tiga adik wanita Jokowi, Iit Sriyantini, Ida Yati, dan Titik Relawati.