Indonesia-Thailand Kerja Sama Riset Pascapanen Buah
Badung, Bali ANTARA JATENG - Indonesia dan Thailand bekerja sama mengembangkan teknologi pascapanen buah.
"Buah-buahan Thailand dikenal luas di dunia. Ekspornya ke negara-negara lain sangat besar. Mereka memiliki teknologi pascapanen yang membuat buah mampu bertahan lama dalam pengiriman," kata Deputi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Dr Eniya Listiani di sela Science and Technology in Society Forum di Badung, Kamis.
Eniya menjelaskan bahwa untuk tahap awal kerja sama riset Indonesia dan Thailand memilih buah mangga, karena buah tropis ini memiliki banyak varietas dan sering terpilih menjadi makanan pendamping di berbagai acara.
"Mangga juga digemari masyarakat di berbagai negara, misalnya mangga Filipina yang terkenal di Jepang, padahal rasanya sepet, seharusnya Indonesia bisa mengekspor juga ke berbagai negara. Sayangnya mangga punya kelemahan, cepat busuk," katanya.
Thailand, dia menjelaskan, punya teknologi sulfurisasi menggunakan SO2 yang membuat mangga awet dalam perjalanan pengiriman ke tempat-tempat lain.
BPPT juga sedang mengembangkan teknologi pelapisan buah menggunakan senyawa sejenis madu dengan kandungan lilin karena dengan kemasan vakum buah masih tetap bisa teroksidasi dan membusuk. Hanya saja teknologi ini cukup mahal menurut Eniya.
Dana Riset
Di Forum Masyarakat Sains dan Teknologi 10 negara ASEAN dan Jepang itu Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Dimyati Markum mengatakan bahwa sejak 2016 sebanyak 43 persen anggaran penelitian dan pengembangan di Indonesia merupakan sumbangan dunia industri.
Biasanya industri maksimal hanya mau berbagi 20-25 persen dari anggaran riset per tahun, sebagian besar 75-80 persen pemerintah yang mengeluarkan, katanya.
"Peran serta industri tersebut dalam bentuk pendanaan riset dalam skema konsorsium, seperti konsorsium roket. Mereka luar biasa antusias. Kesepakatan 43 persen ini didasarkan panduan yang mengacu peraturan menteri keuangan No 106," jelas dia.
Ia mengharapkan, bentuk konsorsium bisa mengurangi ketimpangan antara lembaga riset dan dunia industri, khususnya di tengah minimnya anggaran riset nasional dan infrastruktur yang mulai menua.
"Buah-buahan Thailand dikenal luas di dunia. Ekspornya ke negara-negara lain sangat besar. Mereka memiliki teknologi pascapanen yang membuat buah mampu bertahan lama dalam pengiriman," kata Deputi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Dr Eniya Listiani di sela Science and Technology in Society Forum di Badung, Kamis.
Eniya menjelaskan bahwa untuk tahap awal kerja sama riset Indonesia dan Thailand memilih buah mangga, karena buah tropis ini memiliki banyak varietas dan sering terpilih menjadi makanan pendamping di berbagai acara.
"Mangga juga digemari masyarakat di berbagai negara, misalnya mangga Filipina yang terkenal di Jepang, padahal rasanya sepet, seharusnya Indonesia bisa mengekspor juga ke berbagai negara. Sayangnya mangga punya kelemahan, cepat busuk," katanya.
Thailand, dia menjelaskan, punya teknologi sulfurisasi menggunakan SO2 yang membuat mangga awet dalam perjalanan pengiriman ke tempat-tempat lain.
BPPT juga sedang mengembangkan teknologi pelapisan buah menggunakan senyawa sejenis madu dengan kandungan lilin karena dengan kemasan vakum buah masih tetap bisa teroksidasi dan membusuk. Hanya saja teknologi ini cukup mahal menurut Eniya.
Dana Riset
Di Forum Masyarakat Sains dan Teknologi 10 negara ASEAN dan Jepang itu Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Dimyati Markum mengatakan bahwa sejak 2016 sebanyak 43 persen anggaran penelitian dan pengembangan di Indonesia merupakan sumbangan dunia industri.
Biasanya industri maksimal hanya mau berbagi 20-25 persen dari anggaran riset per tahun, sebagian besar 75-80 persen pemerintah yang mengeluarkan, katanya.
"Peran serta industri tersebut dalam bentuk pendanaan riset dalam skema konsorsium, seperti konsorsium roket. Mereka luar biasa antusias. Kesepakatan 43 persen ini didasarkan panduan yang mengacu peraturan menteri keuangan No 106," jelas dia.
Ia mengharapkan, bentuk konsorsium bisa mengurangi ketimpangan antara lembaga riset dan dunia industri, khususnya di tengah minimnya anggaran riset nasional dan infrastruktur yang mulai menua.