"Keberadaan kolom agama di KTP untuk memperkuat sila pertama, kalau dihapus justru menampik keberadaan sila pertama," katanya, di Mataram, Selasa.
Melihat sejarahnya, menurut dia, kebijakan pencantuman kolom agama tersebut sudah bermanfaat bagi perkembangan masyarakat, yaitu sebagai identitas guna memudahkan dalam tata cara pengadministrasian umat beragama.
Lubis mengatakan, pemerintah memiliki pertimbangan terkait kebijakan pengosongan kolom agama di KTP, namun semestinya pertimbangan yang paling penting adalah harus melihat kepentingan masyarakat luas.
Sebab, satu peraturan yang dibuat harus melibatkan masyarakat banyak. Jika tidak, maka untuk apa peraturan dibuat jika masyarakat masih menolak.
"Jadi peraturan itu harus realistis. Artinya, harus nyata untuk kepentingan masyarakat. Yang keluar harus fleksibel atau luwes. Pemerintah boleh bertahan pada prinsip, di satu sisi harus santun juga pada yang lain," ujarnya.
Persoalan adanya umat beragama yang belum diatur di dalam enam agama yang sudah resmi keberadaannya di Indonesia, menurut dia, bisa didiskusikan atau dibicarakan tentang bagaimana supaya mereka tidak terdiskriminasi. Bukan dengan cara menghapus kolom agama di KTP.
Sebab, kalau dihapuskan justru akan merusak dan berpotensi menimbulkan kegoncangan sosial. Bahkan, bisa menimbulkan sikap apatis masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.