Singgih Hadi Mintardja Bermahkota "Sang Hyang Kamahayanikan"
Siang itu, patung "Sang Hyang Kamahayanikan" sudah diprosesnya hingga 90 persen di rumah Ismanto, di lereng barat daya Gunung Merapi Dusun Ngampel, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Penghargaan yang berupa patung "multidimensi" itu dibuat Ismanto yang juga salah satu pemimpin seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Menoreh) Magelang dengan bahan baku, batu hijau setinggi 17 sentimeter, lebar 15 cm, dan tebal 5 cm, serta motif daun bodi berelief dari campuran perunggu dan kuningan.
Di patung itu, Ismanto menempatkan pelat logam dengan latar belakang warna hitam dan bertuliskan warna kuning keemasan "Sang Hyang Kamahayanikan Award 2012 Singgih Hadi Mintardja (1933-1999).
Penghargaan itu akan diserahkan panitia Borobudur Writers and Cultural Festival 2012 kepada S.H. Mintardja yang diwakili anaknya, Andang Suprihadi, saat penutupan pertemuan yang dihadiri ratusan penulis cerita silat dan sejarah Nusantara itu pada tanggal 31 Oktober 2012.
Borobudur Writers and Cultural Festival yang selanjutnya akan menjadi agenda tahunan di Candi Borobudur itu, berupa Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara diselenggarakan oleh Samana Foundation, lembaga nirlaba yang berbasis pengembangan budaya, terutama berkaitan dengan pengalaman sejarah Nusantara.
Sebagian besar agenda kegiatan itu pada tahun pertama, 28--31 Oktober 2012, di Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan sebagian lainnya di Yogyakarta. Agenda kegiatan itu, antara lain, diskusi, peluncuran buku, dan pemutaran film berlatar belakang sejarah Nusantara.
Pertemuan dengan tema "Memori dan Imajinasi Nusantara" itu dihadiri sekitar 300 peserta aktif, pasif, dan pembicara dengan berbagai latar belakang, seperti penulis peneliti, akademisi, pakar sejarah, arkeologi, rohaniwan, dan budayawan,
"Sepuluh hari terakhir ini, saya secara total mengerjakan patung ini. Saya gembira ikut berproses dalam penghargaan ini, makanya secara batin, ini juga penghargaan untuk saya," kata Ismanto.
Seorang kurator BWCF Dorothe Rosa Herliany mengatakan bahwa festival tersebut akan selalu ditandai dengan penyerahan penghargaan "Sang Hyang Kamahayanikan" kepada tokoh yang dinilai berjasa dalam pengkajian sejarah Nusantara.
Mereka, antara lain, bisa kalangan sejarawan, arkeolog, budayawan, novelis, penulis buku, dalang, rohaniwan, atau filolog dengan berbagai karyanya yang mampu menyajikan informasi mendalam atau mampu menyuguhkan imajinasi yang segar atas sejarah Nusantara.
Para anggota Samana Foundation yakni Seno joko Suyono, Yoke Darmawan, Dorothea Rosa Herliany, Imam Muhtahrom, Adi Wicaksono telah mengundang beberapa nama, yakni Mudji Sutrisno, Taufik Rahzen, dan Arswendo Atmowiloto untuk mendiskusikan siapa yang tepat dipilih mendapatkan penghargaan tersebut pada BWCF 2012.
"Penerima 'award' tahun 2012 ini adalah almarhum S.H. Mintardja, seorang pengarang cerita silat berlatar belakang sejarah Jawa, khususnya sejarah runtuhnya kerajaan Demak dan awal berdirinya kerajaan Mataram Islam," katanya.
Nama penghargaan itu diambil dari satu kitab Buddhis Jawa bernama Sang Hyang Kamahayanikan yang diperkirakan ditulis pada abad 14 Masehi. Di bagian belakang karya sastra prosa itu disebut seorang raja di Jawa Timur bernama Empu Sendok (929--947).
Ia mengatakan bahwa kitab itu tentang cara pelaksanaan ibadat dalam ajaran Tantrayana (ajaran rahasia) yang ditulis dalam bahasa metafora.
"Oleh karena itu, apabila dibaca oleh seorang yang tidak dibimbing dengan benar oleh guru, akan bisa terjerumus," kata Rosa yang juga penyair Magelang dan pengelola Rumah Buku DuniaTera Borobudur itu.
Secara detail, kata dia, Sang Hyang Kamahayanikan juga menguraikan bagaimana seorang yogi, penganut Tantrayana, menyiapkan diri, melakukan ibadah, mulai pembaiatan, persiapan, sampai dengan pelaksanaan.
Dalam Sang Hyang Kamahayanikan disebut inti ajaran Tantrayana yakni meditasi terhadap Panca Tathagata, sedangkan melalui pemujaan terhadap panteon Tathagata, seorang yogi dapat menyucikan pikirannya.
Singgih Hadi Mintardja telah menulis cerita serial silat di beberapa surat kabar, seperti "Api di Bukit Menoreh", "Mendung di Atas Cakrawala", "Pelangi di Langit Singasari", "Hijaunya Lembah dan Hijaunya Lereng Pegunungan".
Ia mengemukakan, dengan berbekal pengetahuan sejarah dan pembacaan terhadap Babad Tanah Jawi, S.H. Mintardja melahirkan prosa silat 28 jilid berjudul "Nagasasra Sabuk Inten" yang digandrungi pembaca, khususnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Karya "Api di Bukit Menoreh", kata dia, sebagai cerita serial terpanjang yang terdiri 396 buku. Selain itu, "Tanah Warisan" (delapan episode), "Matahari Esok Pagi" (15), Meraba Matahari (9), "Suramnya Bayang-Bayang" (34).
Selain itu, "Sayap-Sayap Terkembang" (67), "Istana yang Suram" (14), "Nagasasra Sabuk Inten" (16), "Yang Terasing" (13), "Mata Air di Bayangan Bukit" (23), "Kembang Kecubung" (6), "Jejak di Balik Bukit" (40), dan "Tembang Tantangan" (24).
"Dapat dikatakan S.H. Mintardja ganerasi pertama penulis silat Nusantara yang berhasil menerbitkan buku-bukunya dan memperoleh pembaca yang luas," katanya.
Beberapa nama penulis buku silat lokal lainnya adalah Widi Widayat dengan karya "Cinta dan Tipu Muslihat" dan "Terbentur Nasib", Herman Pratikto "Bende Mataram", dan "Mencari Bende Mataram", serta Bastian Tito "Wiro Sableng".
"Karya-karya S.H. Mintardja unik dan bertolak pada kelindan antara kisah-kisah sejarah dalam permainan fiksi yang sangat merangsang. Dari segi fiksi, karya-karyanya disusun menjadi cerita yang kadang lepas dari apa yang sesungguhnya telah terjadi dalam sejarah.
Karya-karya S.H. Mintardja, kata dia, menghidupkan sejarah dalam bentuk prosa yang terus-menerus dikonsumsi oleh para pembacanya dan merupakan refleksi cara pandang masyarakat tempatnya hidup.
Ismanto menyebut S.H. Mintardja telah sampai kepada suatu pencapaian atas suatu pencerahan yang disimbolkan dalam patung "Sang Hyang Kamahayanikan".
Patung itu terlihat menggambarkan daun bodi yang keluar dari bagian sisi batu hijau berbentuk kotak. Selain itu, rangkaian patung tersebut juga tentang unsur kupu-kupu sebagai lambang ilmu metamorfosis.
"Lewat jalan menulis, S.H. Mintardja melewati proses untuk suatu pencapaian. Daun selalu bergerak mencari terang. Cara berpikir S.H. Mintardja keluar dari kelaziman, lalu bergerak dan bermetamorfisis, akhirnya moksa. Dan daun bodi identik dengan pencerahan," katanya.
Oleh karena itulah, S.H. Mintardja bermahkota penghargaan "Sang Hyang Kamahayanikan".