Solo (ANTARA) - M. Abdul Fattah Santoso
Jutaan manusia beberapa hari terakhir ini tengah berkumpul di Arafah, Muzdalifah, Mina, dan Makkah untuk melaksanakan ibadah, legasi (warisan) dari bapak para nabi, yaitu Ibrahim a.s. Legasi Ibrahim tidak semata ibadah, namun juga akidah dan muamalah. Banyak dari legasi itu atas inisiatifnya, seperti pencarian Tuhan, atau datang dari Allah dalam bentuk cobaan dan pemenuhan kehendak-Nya.
Dalam konteks menyambut Idul Adha 1446 H, sebuah keniscayaan untuk melakukan refleksi. Ajakan refleksi kali ini adalah refleksi terhadap Nabi Ibrahim as. untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. dengan sepenuh hati. Lebih-lebih Idul Adha kali ini tidak baik-baik saja, karena seluruh kemanusiaan universal merasakan dampak dari global warming (pemanasan global), seperti menaiknya suhu sebesar 20 F (10 C) sejak 1850, dengan kenaikan rata-rata per dekade 0,110 F atau 0,060 C) (https://www.climate.gov.), dan fenomena anomali di negeri kita berupa musim hujan yang panjang. Sementara itu bidang ekonomi Indonesia sebagai penggerak kehidupan sekalipun tumbuh relatif stabil, 4,87%, namun pertumbuhan global melambat, yaitu 3,3% (Data World Economic Outlook: Update 17 Januari 2025), ditambah dengan peringkat satu pengangguran di Asean (Laporan IMF 2024).
Penyebab terbesar pemanasan bumi adalah emisi gas rumah kaca yang menyelubungi bumi, sehingga panas bumi terperangkap, sebagai dampak dari terutama pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas alam. Tampaknya ada yang perlu diperbaiki dalam memperlakukan alam. Dapatkah dari peristiwa Idul Adha, terutama dari perjalanan hidup Nabi Ibrahim as., kita mengambil pelajaran dan hikmah? Bukankah hari Idul Adha ini disebut juga Hari Raya Orang Beriman, Hari Raya Kekasih Allah Ibrahim, bapak para nabi dan rasul?
Mari belajar dari Idul Adha dengan tokohnya Nabi Ibrahim as. Hari ini adalah hari yang penuh berkah, hari yang sangat bersejarah bagi umat beragama di seluruh penjuru dunia, dan bagi umat Muslim pada khususnya. Karena hari ini merupakan hari kemenangan seorang Nabi penemu konsep ketauhidan dalam berketuhanan. Sebuah penemuan maha penting di jagad raya, tak tertandingi nilainya dibandingkan dengan penemuan para saintis dan ilmuwan. Karena berkat konsep ketauhidan yang ditemukan Nabi Ibrahim as., manusia dapat menguasai alam dengan menjadi khalifah di muka bumi, membangun peradaban. Setelah Nabi Ibrahim as. menyadari bahwa Allah Swt. adalah Dzat yang paling Esa, maka semenjak itu juga umat manusia tidak dibenarkan menyembah matahari, menyembah bintang, menyembah binatang, menyembah batu dan alam. Ini artinya manusia telah memposisikan dirinya di atas alam. Ajaran ke-Esa-an Tuhan yang diprakarsai Nabi Ibrahim as. telah mengangkat derajat manusia atas alam dan se-isinya, tanpa harus mengeksploitasi.
Sesungguhnya tidak berlebihan jika Idul Adha dijadikan sebagai salah satu hari besar kemanusiaan internasional yang harus diperingati oleh manusia se-jagad raya. Karena hari ini adalah momen yang tepat untuk mengenang perjuangan Nabi Ibrahim as. dan upayanya menemukan Allah swt. Bagaimana beliau bersusah payah melatih alam kebatinannya untuk mengenal Tuhan Allah Yang Paling Berkuasa. Bukankah itu hal yang amat sangat rumit? Apalagi jika kita membandingkan posisi manusia sebagai makhluk yang hidup dalam dunia kebendaan, sedangkan Allah Tuhan Yang Maha Sirr berada dalam dunia spiritual yang tidak dapat dicapai dengan indera? Bagaimana Nabi Ibrahim as. bisa menemukan-Nya? Tentu, melalui berbagai jalan yang panjang, melalui pembuktian empiri, penerimaan informasi wahyu, serta latihan dan penempaan jiwa yang berat yang memungkinkan datangnya kearifan atau hikmah dalam hati. Untuk itulah, mari kita simak rekaman sebagian perjalanan tersebut dalam surat Al-An‘m ayat 75-78 yang terkait dengan pencarian Tuhan dengan pembuktian empiri, dan ayat 79 dari surah yang sama yang terkait dengan penemuan Tuhan melalui datangnya kearifan atau hikmah dalam jiwa Ibrahim as., yaitu Dzat Pencipta bintang, bulan, dan matahari, yang tersurat dalam ayat sebagai Dzat Pencipta langit dan bumi.
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. (75)
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku," tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” (76)
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku." Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat." (77)
Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar." Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (78)
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (79)
Bila surat Al-An‘am ayat 75-78 terkait dengan pencarian Tuhan dengan pembuktian empiri, dan ayat 79 dari surah yang sama terkait dengan penemuan Tuhan melalui datangnya kearifan atau hikmah dalam jiwa Nabi Ibrahim as., maka ayat apa terkait dengan penguatan eksistensi Tuhan melalui penerimaan informasi wahyu? Dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 127, Ibrahim, dibantu Isma’il, diminta meninggikan fondasi baitullah (Ka’bah), sementara dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 125, Ibrahim diminta membangun baitullah sebagai tempat berkumpul manusia yang memberikan keamanan, dan sebagai tempat ibadah—mendekatkan diri kepada Allah, berupa shalat, thawaf, dan i‘tikaf. Untuk itu, baitullah diminta dijaga kebersihan dan kesuciannya.
Jika kita lihat dokumen sejarah dalam al-Qur’an di atas, hal itu menunjukkan betapa proses pencarian yang dilakukan Nabi Ibrahim as. sangatlah berat. Tiga pendekatan telah dilakukan Nabi Ibrahim as. dalam menemukan Tuhan, yaitu pendekatan ilmu (melalui pembuktian), pendekatan teks (melalui penerimaan dan pembacaan teks wahyu), dan pendekatan hati/intuisi/kearifan (melalui penyucian hati/jiwa). Sebagai buahnya, Nabi Ibrahim as. berhasil menemukan Tuhan Allah Rabbil Alamin, bukan tuhan suku dan bangsa tertentu, tapi Tuhan seru sekalian alam yang menitipkan kepada manusia pemakmurannya. Itulah sejarah terbesar yang dipahatkan oleh Nabi Allah Ibrahim di sepanjang relief kehidupan umat manusia yang seharusnya selalu dikenang oleh umat beragama.
Tadi telah disebutkan, berkat konsep ketauhidan yang ditemukan Nabi Ibrahim as., manusia dapat menguasai alam dengan menjadi khalifah di muka bumi, membangun peradaban. Namun, penguasaan atas alam telah menjadikan manusia lupa daratan, tamak, dan melupakan Tuhan. Peradaban yang telah dibangun diuji dengan cobaan alam (pemanasan bumi), ketimpangan kesejahteraan negara-negara maju dan negara-negara terbelakang atau negara-negara utara dan negara-negara selatan, perlakuan neo-kolonial pada kemerdekaan negara-negara jajahan, egoisme transportasi (kendaraan-kendaraan pribadi yang memenuhi jalanan yang terbatas panjang dan lebarnya), dan wabah pandemi yang membuat manusia terhenyak, kaget, tidak percaya, dan menghadapinya dengan pendekatan anti-ilmu, padahal peradaban mereka dibangun dengan ilmu.
Belajar dari pengalaman Nabi Ibrahim as., pendekatan-pendekatan yang dilakukannya dapat ditransfer dalam kehidupan manusia dalam menjalankan tujuan penciptaannya oleh Tuhan, yaitu menjadi khalifah-Nya di muka bumi, dan dalam mengatasi problema kehidupannya, termasuk dalam mengatasi masalah lingkungan yang disinggung dalam pendahuluan tulisan ini.
Pendekatan ilmu tidak bisa ditawar. Bagaimana manusia, khususnya masyarakat Muslim, bisa menjalankan tugas kekhalifahan (memakmurkan bumi, membangun peradaban), bila tidak menguasai ilmu/sains? Berikan contoh masyarakat mana yang bisa membangun peradaban tanpa penguasaan ilmu/sains? Fenomena kemajuan peradaban China kontemporer adalah karena penguasaan ilmu mereka yang melampaui Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Dari pengalaman Barat membangun ilmu yang bermotto “The science is for the sake of science,” di mana ilmu (dibangun) demi kepentingan ilmu semata, tanpa dikaitkan dengan nilai, pertumbuhan ilmu menjadi liar. Temuan uranium sebagai bahan pembuatan nuklir, misalnya, telah digunakan untuk membuat bom daripada pembangkit listrik. Industri senjata api yang seharusnya hanya demi mempertahankan diri, tetapi manusia kontemporer menjadi saksi bagaimana senjata api menjadi sarana genosida (pemusnah) bangsa.
Belajar dari Nabi Ibrahim as., sudah waktunya manusia kontemporer, khususnya umat Islam, mengoreksi pendekatan Barat dalam pengembangan ilmu, yaitu “the science is for the sake of science” menjadi “the science is value bound”. Ilmu terikat dengan nilai. Inilah makna di balik pendekatan kedua Nabi Ibrahim as. pembacaan teks wahyu, karena—dalam fungsinya sebagai pemberi petunjuk dan bimbingan—teks wahyu sarat dengan nilai-nilai. Nilai-nilai Islam bisa ditelusuri dari tujuan syariat Islam diturunkan Allah kepada manusia (maqshid asy-syar‘ah), yaitu hifzh ad-dn (menjaga agama), hifzh an-nafs (menjaga jiwa), hifzh al-‘aql (menjaga akal), hifzh an-nasl ( menjaga keturunan), hifzh al-ml (menjaga harta/properti, dan hifzh al-b’ah (menjaga lingkungan).
Adapun pendekatan ketiga, intuisi/hati, tidak kalah pentingnya. Karena pendekatan ini melahirkan kearifan, hikmah, dan kebijaksanaan. Tidak sedikit masalah konflik di antara sesama manusia didekati dengan pendekatan ilmu yang ternyata lebih cenderung win-lose solution (solusi menang-kalah) daripada pendekatan intuisi/hati yang cenderung win-win solution (solusi sama-sama menang).
Demikianlah, belajar dari Nabi Ibrahim as., manusia dapat melaksanakan tugas kekhalifahan, memakmurkan bumi, membangun peradaban, dengan tiga pendekatan: ilmu/sains, teks wahyu, dan hati.