Semarang (ANTARA) - Tuntutan dari Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) yang meminta agar pengemudi ojek online (ojol) dijadikan pekerja tetap sebenarnya telah menjadi topik diskusi dari berbagai pihak sejak lama.
Wacana tersebut muncul sebagai respons terhadap kekhawatiran mengenai perlindungan yang kurang memadai bagi para pengemudi, terutama dalam hal
jaminan sosial dan hak-hak pekerja lainnya.
Pendapat dari pihak aplikator mengenai wacana ini juga beragam, Tirza Munusamy, selaku Chief of Public Affairs Grab Indonesia, dalam pernyataan di Semarang, Jumat, menyampaikan bahwa kebijakan itu justru bisa merugikan ekosistem transportasi digital yang telah terbentuk.
"Jika pengemudi menjadi karyawan, maka akan ada seleksi, kuota, dan pembatasan
jam kerja. Saat ini, siapa pun bisa mendaftar dan langsung bekerja tanpa batasan waktu," katanya.
Ia mengingatkan bahwa skema kerja saat ini justru berfungsi sebagai bantalan sosial bagi banyak orang, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi.
"Jika kita ubah semuanya jadi karyawan, 'barrier to entry' akan naik. Hanya sebagian orang yang akan bisa bekerja, sementara jutaan yang lain kehilangan.akses untuk mencari nafkah," katanya.
Dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh para mitra pengemudi, tetapi juga pada banyak usaha kecil dan menengah (UMKM) yang bergantung pada layanan
GrabFood, GrabMart, dan lainnya.
Namun, di tengah perdebatan mengenai status pengemudi ojol, ada pula solusi yang dianggap sebagai jalan tengah yang tepat.
Seperti disampaikan Maman Abdurrahman, Menteri Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang mengusulkan agar pengemudi ojol dimasukkan sebagai bagian dari pelaku UMKM.
Gagasan tersebut mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, salah satunya Ekonom Senior Universitas Paramadina Wijayanto Samirin yang menilai bahwa itu adalah langkah yang sangat tepat.
"Driver ojek online akan mendapatkan keuntungan jika masuk dalam kategori UMKM, salah satunya pengembangan usaha dan kredit perbankan. Saya lihat ini justru bagus," katanya.
Dengan bendera sebagai UMKM, mereka bisa bertumbuh kegiatannya, dari sebagai driver saja hingga merambah aktivitas bisnis lainnya.
"Ada peluang berkembang, merambah bisnis lain. Selain itu, akses kredit bersubsidi untuk UMKM dan berbagai program di bawah Kementerian UMKM," kata Wijayanto.
Izzudin Al Farras selaku Head of Center Digital Economy and SMEs Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melihat gagasan itu sebagai jalan tengah yang memungkinkan para pengemudi untuk tetap mempertahankan fleksibilitas kerja sambil mendapatkan keuntungan dari berbagai program UMKM.
"Jika aspek tentang kerangka kebijakan yang memastikan bahwa pengemudi ojol harus terdaftar sebagai UMKM itu ada, maka ini membuka kesempatan bagi pengemudi untuk mendapatkan benefit sebagai pelaku usaha, misalnya terkait pelatihan literasi keuangan dan literasi digital," katanya.
Dengan menjadi bagian dari UMKM, kata dia, pengemudi ojol juga bisa memperoleh manfaat dari jaminan sosial yang lebih terjamin.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda juga mendukung gagasan itu, dengan catatan bahwa pengaturan yang lebih tepat harus berada di bawah Kementerian UMKM.
"Maka, sudah sewajarnya memang pengaturan untuk saat ini paling tepat di bawah Kementerian UMKM. Atas dasar itu pula, bentuk kemitraan tidak boleh seperti tenaga kerja yang mengharuskan bekerja sekian jam dan sebagainya. Aturan juga harus dibuat bersama dengan asosiasi driver dengan konsep setara, termasuk tarif," katanya.