Menerawang masa depan PPP setelah gagal masuk Senayan
Lantas, setelah gagal menempatkan wakilnya di DPR RI dari hasil Pemilu 2024, masih adakah masa depan bagi PPP?
Pertanyaan itu memang layak diangkat, mengingat dua partai yang pernah masuk ke DPR RI lalu tersingkir akibat perolehan suaranya gagal memenuhi ambang batas parlemen, tidak ada yang bisa rebound alias sukses menempatkan kembali wakilnya di parlemen.
Partai Bulan Bintang dan Hanura yang kembali berlaga pada Pemilu 2024, misalnya, masing-masing hanya meraup 0,32 persen dan 0,72 persen. Kecilnya perolehan suara PBB dan Hanura tersebut mengindikasikan keduanya tidak memiliki infrastruktur organisasi yang solid hingga akar rumput. Keterbatasan sumber daya finansial tentu menjadi kendala partai untuk menembus kerasnya persaingan perebutan suara. Betapa pun, dengan luas dan sebaran penduduk, setiap partai dituntut memiliki dana dan infrastruktur di semua lini agar bisa menjangkau hingga tingkat rukun tetangga (RT).
Hanya saja, keberadaan PPP sesungguhnya tidak bisa disamakan dengan PBB dan Hanura, baik dari sisi kesejarahan, infrastruktur partai, hingga kuatnya ikatan emosional (militansi) para kader terhadap partai yang sama-sama berbasis massa Islam tersebut.
PPP yang berdiri pada 5 Januari 1973 atau sudah berusia lebih dari setengah abad itu hampir memiliki struktur kepengurusan partai hingga kabupaten/kota. PPP juga memiliki sayap-sayap partai yang bisa digerakkan.
Sebagian besar DPRD di kabupaten/kota dan provinsi juga masih menyisakan wakil rakyat dari PPP, bahkan masih ada yang sangat kuat, seperti di Jepara, Jawa Tengah. Dari sisi popularitas "merek", PPP juga masih kuat, setidaknya dibanding partai-partai lain yang juga gagal menembus DPR RI.
Meski tidak lagi menempatkan wakilnya di DPR RI, berdasarkan hasil Pemilu 2024, PPP masih memiliki 80 kursi DPRD provinsi serta sekitar 800 kursi DPRD kabupaten/kota se-Indonesia.
Masih eksisnya wakil rakyat PPP di DPRD provinsi dan kabupaten/kota dari hasil Pemilu 2024, setidaknya masih menyisakan "jembatan" antara rakyat dengan partai. Modal inilah yang bisa digunakan untuk merawat kantong-kantong tradisional suara partai ini.
Menyadari masih besarnya potensi suara PPP, apa yang ditekankan Sekjen PPP Muhamad Arwani Thomafi dalam Rapimnas pada 6 Juni lalu, menyiratkan kesiapan PPP menyongsong masa depannya.
PPP ditegaskannya akan fokus memperkuat keorganisasian dan eksistensi partai pasca-Pemilu 2024.
Bila struktur partai dari DPP hingga level terbawah bisa bergerak dengan satu tujuan merebut kembali pemilih lama dan membangun kantong-kantong baru berbasis pemilih muda, peluang para politikus PPP kembali ke Senayan tetap terbuka.
Dengan kiprah panjang sebagai partai yang menempatkan wakilnya di semua tingkatan, PPP memang punya kans mengirim kembali wakil-wakilnya di DPR RI dari hasil Pemilu 2029.
Pertanyaan itu memang layak diangkat, mengingat dua partai yang pernah masuk ke DPR RI lalu tersingkir akibat perolehan suaranya gagal memenuhi ambang batas parlemen, tidak ada yang bisa rebound alias sukses menempatkan kembali wakilnya di parlemen.
Partai Bulan Bintang dan Hanura yang kembali berlaga pada Pemilu 2024, misalnya, masing-masing hanya meraup 0,32 persen dan 0,72 persen. Kecilnya perolehan suara PBB dan Hanura tersebut mengindikasikan keduanya tidak memiliki infrastruktur organisasi yang solid hingga akar rumput. Keterbatasan sumber daya finansial tentu menjadi kendala partai untuk menembus kerasnya persaingan perebutan suara. Betapa pun, dengan luas dan sebaran penduduk, setiap partai dituntut memiliki dana dan infrastruktur di semua lini agar bisa menjangkau hingga tingkat rukun tetangga (RT).
Hanya saja, keberadaan PPP sesungguhnya tidak bisa disamakan dengan PBB dan Hanura, baik dari sisi kesejarahan, infrastruktur partai, hingga kuatnya ikatan emosional (militansi) para kader terhadap partai yang sama-sama berbasis massa Islam tersebut.
PPP yang berdiri pada 5 Januari 1973 atau sudah berusia lebih dari setengah abad itu hampir memiliki struktur kepengurusan partai hingga kabupaten/kota. PPP juga memiliki sayap-sayap partai yang bisa digerakkan.
Sebagian besar DPRD di kabupaten/kota dan provinsi juga masih menyisakan wakil rakyat dari PPP, bahkan masih ada yang sangat kuat, seperti di Jepara, Jawa Tengah. Dari sisi popularitas "merek", PPP juga masih kuat, setidaknya dibanding partai-partai lain yang juga gagal menembus DPR RI.
Meski tidak lagi menempatkan wakilnya di DPR RI, berdasarkan hasil Pemilu 2024, PPP masih memiliki 80 kursi DPRD provinsi serta sekitar 800 kursi DPRD kabupaten/kota se-Indonesia.
Masih eksisnya wakil rakyat PPP di DPRD provinsi dan kabupaten/kota dari hasil Pemilu 2024, setidaknya masih menyisakan "jembatan" antara rakyat dengan partai. Modal inilah yang bisa digunakan untuk merawat kantong-kantong tradisional suara partai ini.
Menyadari masih besarnya potensi suara PPP, apa yang ditekankan Sekjen PPP Muhamad Arwani Thomafi dalam Rapimnas pada 6 Juni lalu, menyiratkan kesiapan PPP menyongsong masa depannya.
PPP ditegaskannya akan fokus memperkuat keorganisasian dan eksistensi partai pasca-Pemilu 2024.
Bila struktur partai dari DPP hingga level terbawah bisa bergerak dengan satu tujuan merebut kembali pemilih lama dan membangun kantong-kantong baru berbasis pemilih muda, peluang para politikus PPP kembali ke Senayan tetap terbuka.
Dengan kiprah panjang sebagai partai yang menempatkan wakilnya di semua tingkatan, PPP memang punya kans mengirim kembali wakil-wakilnya di DPR RI dari hasil Pemilu 2029.