Semarang (ANTARA) - Pada zaman Orde Baru, Partai Persatuan Pembangunan atau PPP pernah menjadi seteru sengit Golkar, yang menguasai secara dominan hampir di seluruh level legislatif, terutama di DPR.
Meski secara nasional PPP selalu kalah telak, partai yang kala itu berlambang bintang itu masih mampu mencetak kemenangan prestisius di provinsi yang selalu menjadi ajang persaingan sengit Golkar dan PPP.
Pada Pemilu 1977, misalnya, PPP menang di D.I. Aceh dan DKI Jakarta. Kemenangan yang sungguh fenomenal mengingat kala itu Golkar, yang menyebut dirinya bukan partai, tapi menjalankan sepenuhnya fungsi partai, didukung tiga pilar yang begitu kuat: ABRI, birokrasi, dan Golkar.
"Vokalis-vokalis" parlemen, sebut saja Aisyah Aminy dan Ridwan Saidi, opininya menebar spirit oposisi PPP di tengah bangunan sistem politik yang represif.
Sebelum Reformasi 1998, secara nasional, perolehan suara PPP dari pemilu ke pemilu memang selalu di posisi kedua di bawah Golkar, dengan selisih yang sangat timpang. Bahkan, akumulasi kursi PPP plus PDI di DPR dan MPR tidak mampu mengimbangi dominasi Golkar, namun setidaknya, selama rezim Orde Baru, PPP tetap eksis dan kiprah para politikusnya mampu mewarnai dinamika politik yang sejatinya monolitik itu.
Pada Pemilu 1999 yang diikuti 48 partai, yang disebut banyak kalangan sebagai salah satu pemilu paling demokratis di negeri ini, PPP masih tetap eksis dan berada di posisi keempat, dengan meraih 11.329.905 suara dan menempatkan 59 wakilnya di DPR.
Dalam perjalanan pemilu-pemilu selanjutanya, perolehan suara PPP fluktuatif. Konflik internal, hingga dua ketua umumnya (Suryadharma Ali dan M. Romahurmuziy) tersandung kasus korupsi, telah mencoreng nama partai dan menggerus perolehan suara PPP.
Puncaknya, pada Pemilu 2024, perolehan suara partai berlambang Kakbah ini hanya 3,87 persen atau 5.878.777 suara. Karena di bawah ambang batas minimal parlemen 4 persen, PPP gagal mengirimkan wakilnya ke DPR RI.
Upaya hukum mengajukan gugatan atas hasil Pemilu 2024 ke Mahkamah Konstitusi sejauh ini juga tidak membuahkan hasil. Sepertinya sudah tidak ada jalan lain wakil-wakil PPP bisa masuk DPR RI untuk masa tugas 2024 -- 2029.
Inilah kali pertama PPP sejak Pemilu 1977 gagal menempatkan wakilnya di DPR RI. PPP yang merupakan fusi dari empat partai Islam, yakni Partai NU, Perti, PSII, dan Parmusi, kini harus konsolidasi menggalang kekuatan jika ingin mengembalikan martabatnya sebagai partai "nasional".
Merujuk hasil survei beragam lembaga riset politik menjelang Pemilu 2024, PPP memang kritis. Hasil sigi itu, sebagian menyingkap raihan suara sedikit di atas 4 persen, sebagian lagi di bawah 4 persen. Namun, sinyal suram ini alih-alih disikapi dengan meneguhkan konsolidasi internal elite, yang terjadi justru sebaliknya.
Menjelang hajatan akbar elektoral, partai ini malah dilanda kemelut. Ketua Umum Suharso Monoarfa mendadak diganti M. Mardiono. Padahal, pada saat bersamaan, sejumlah partai besar intens menggalang konsolidasi internal menghadapi Pemilu 2024.
Keputusan PPP ikut mendukung capres-cawapres usungan PDIP Ganjar Pranowo-Mahfud Md., dianggap sebagai salah strategi. Pilihan dukungan ini diperkirakan ikut memerosotkan suara PPP.
Keputusan elite PPP bergabung ke capres nomor urut 3 itu belakangan tidak sepenuhnya diamini kader dan simpatisan akar rumput. Banyak di antara mereka memilih mendukung Capres-Caapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (nomor urut 1) dan Prabowo-Gibran (nomor urut 2).
Perolehan suara Ganjar-Mahfud Md. pada Pilpres 2024 yang hanya 16,47 persen mengonfirmasi bahwa banyak pemilih tradisional PDIP dan PPP malah memberikan dukungan ke capres-cawapres lain dan bisa jadi mereka juga memilih partai lain yang mendukung Anies-Muhaimin dan Prabowo-Gibran.
Masa depan PPP