Di angkringan Gunung Tidar lahir kepahlawanan sastra
Magelang (ANTARA) - Energi hening terasa memancar di angkringan "Wedangan Omah Ganten", membawa Sabtu (9/11) malam makin terasa di kawasan Gunung Tidar, Kota Magelang, tatkala puisi-puisi WS Rendra dibacakan melalui berbagai performa seni oleh para penyair dan seniman setempat.
Masjid "Fathul Huda" Kampung Ganten, Kelurahan Jurangombo Selatan, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah, di seberang warung itu, telah menyelesaikan saat isya. Sebagian kecil di antara 100-an penonton kegiatan bertajuk "Tribute to Rendra" menyimak juga secara saksama pembacaan puisi demi puisi sambil bersila di trotoar dan bersandar di tembok masjid.
Tentu saja pemilik warung angkringan yang juga penyair Kota Magelang Hudi Danu Wuryanto menyuguhkan aneka hidangan, camilan, gorengan, dan minuman hangat kepada mereka yang hadir dalam acara hingga persis tengah malam itu.
Penyair Rendra bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Narendra, lahir 7 November 1935 dan berpulang 6 Agustus 2009. Kalangan penyair dan seniman Magelang merasa memiliki kedekatan dengan sang penyair besar Indonesia itu.
Baik secara individu, membaca bersama, maupun penyajian musik puisi, sekitar 25 penyair senior maupun junior di daerah itu, dikurasi secara bergilir oleh pembawa acara Danu "Sang Bintang" Wiratmoko untuk membacakan karya-karya Rendra. Budayawan Magelang Sutanto Mendut menyampaikan pidato kebudayaan, sedangkan penyair Dudy Anggawi testimoni tentang Rendra pada penghujung acara.
Sebelum membacakan puisi "Serenda Merjan", penyair Magelang Haris Kertorahardjo (Lie Thian Hauw) menceritakan bahwa semasa hidup, Renda yang penyair, aktor, sutradara teater, dan dramawan itu, sering ke berbagai tempat di daerah tersebut untuk menghadiri agenda seni budaya, termasuk beberapa kali mengikuti Festival Lima Gunung yang diselenggarakan seniman petani Komunitas Lima Gunung.
Melalui "Tribute to Rendra", para penyair Magelang mengenangnya dalam rangka hari lahir Rendra. Meskipun demikian, acara itu sekaligus juga bagaikan menarik pemaknaan untuk peringatan Hari Pahlawan yang jatuh setiap 10 November, melalui puisi-puisi karya sang penyair. Pemerintah menghadirkan tema Hari Pahlawan tahun ini, yaitu "Teladani Pahlawanmu, Cintai Negerimu”.
Acara "Tribute to Rendra" digarap para penyair dan seniman Kota Magelang itu juga ditayangkan secara langsung melalui kanal Youtube "ARVI Multimedia" yang dikelola pegiat seni di daerah setempat, Freddy "Uwek" Sudiono.
Bertepatan dengan hari lahir Rendra, Kamis (7/11), di Studio Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang dikelola budayawan Sutanto Mendut, dipamerkan arsip "Perjalanan Rendra Bersama Lima Gunung".
Tanto Mendut, perintis lahirnya Komunitas Lima Gunung lebih dari dua dasawarsa lalu itu, memiliki kedekatan khusus dengan Rendra, termasuk pernah melakukan perjalanan kebudayaan ke beberapa negara di Eropa, bersama sang penyair berjuluk "Si Burung Merak" karena gaya penampilan di panggung itu.
Dari berbagai puisi Rendra yang mereka suguhkan, setidaknya disebut Danu yang juga pemerhati seni budaya Magelang itu, ada tiga kumpulan langgam karya sastra, yakni puisi cinta, balada, dan perjuangan atau perlawanan.
Oleh Hudi DW yang dalam acara itu membacakan puisi "Paman Doblang", karya-karya legenda penyair Indonesia itu, disebut membawa pesan kuat kepahlawanan tentang cinta Tanah Air, lingkungan alam, keagungan semesta dan spiritualitas, kemuliaan kemanusiaan dan solidaritas, serta perjuangan menghadapi ketidakadilan.
Barisan kalimat pamungkas puisi karya Rendra itu, saat dipenjara pada era Orde Baru, yang melekat di benak publik hingga saat ini, "Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata". Kalimat bernas itu bagai api penyulut semangat setiap insan menjalani perjuangan di berbagai medan persoalan, hingga terlahir nilai dan makna kepahlawanan.
Puisi "Gerilya" yang dibacakan penyair senior Magelang Es Wibowo, bukan soal semata-mata tentang kisah heroik peperangan dilakoni oleh sosok pejuang kemerdekaan dalam melawan penjajah.
Namun, puisi tersebut rupanya tentang sisi kuat yang menyentuh nurani kemanusiaan, ketika sosok pahlawan gerilya gugur karena ditembak serdadu Belanda saat hendak mengubur ibunya.
Kesadaran atas pentingnya nilai kepahlawanan pendidikan dihadirkan penyair Wicahyanti, Keenan, Sheril, dan Tutik dari komunitas "Rumah Literasi Aruna", melalui pembacaan bersama-sama puisi berjudul "Sajak Seonggok Jagung".
Karya sang penyair pada 1975 tentang kesenjangan dunia pendidikan dan realitas kehidupan itu, dianggap komunitas tersebut masih relevan menyulut api kepahlawanan pada era kekinian, untuk menghadirkan jagat pendidikan Indonesia yang semakin kuat berkualitas dan relevan menghadapi tantangan perkembangan zaman.
Acara "Tribute to Rendra" oleh para penyair Magelang tersebut, terkesan jelas tak hendak meminta pemerintah memberikan sang penyair besar itu gelar pahlawan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Meskipun kriteria untuk ihwal itu bisa saja disematkan kepada Rendra pada masa mendatang, setelah diuji melalui kajian lengkap, mendalam, dan komprehensif, serta proses prosedural yang sahih.
Faedah perhelatan seni dan budaya sekitar empat jam yang memaku penonton dilingkupi aura hening menyimak karya demi karya Rendra itu, selayaknya menggali pemaknaan baru atas nilai kepahlawanan melalui jalur sastra.
Oleh budayawan Sutanto Mendut agenda malam itu diberi tetenger "Di angkringan, lahir sastra pahlawan Indonesia" untuk menjadikan puisi dan sastra sebagai karya pergulatan sosok penyair menghadapi tantangan zaman dan perjuangan untuk kebaikan masa depan bangsa dan negara.
Kemerdekaan Indonesia sebagaimana ditegaskan Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul), bukan hadiah dari penjajah kepada bangsa besar ini. Akan tetapi, hasil perjuangan para pahlawan secara tulus demi menghadirkan kemerdekaan itu untuk persembahan luhur kepada penerus bangsa.
Oleh karena itu, setiap generasi juga semestinya meneladani para pahlawan dengan melakoni perjuangan guna melahirkan pahlawan-pahlawan baru dari zamannya, untuk selanjutnya menjadi warisan keteladanan kepada masa depan bangsa.
Kesadaran terhadap pentingnya pewarisan nilai-nilai kepahlawan, bisa dihadirkan siapa saja kalangan pecinta negeri ini, pada era kekinian dalam berbagai pengemasan menarik dan mengena, termasuk melalui ajang sastra di warung angkringan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Di angkringan Gunung Tidar lahir kepahlawanan sastra
Masjid "Fathul Huda" Kampung Ganten, Kelurahan Jurangombo Selatan, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah, di seberang warung itu, telah menyelesaikan saat isya. Sebagian kecil di antara 100-an penonton kegiatan bertajuk "Tribute to Rendra" menyimak juga secara saksama pembacaan puisi demi puisi sambil bersila di trotoar dan bersandar di tembok masjid.
Tentu saja pemilik warung angkringan yang juga penyair Kota Magelang Hudi Danu Wuryanto menyuguhkan aneka hidangan, camilan, gorengan, dan minuman hangat kepada mereka yang hadir dalam acara hingga persis tengah malam itu.
Penyair Rendra bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Narendra, lahir 7 November 1935 dan berpulang 6 Agustus 2009. Kalangan penyair dan seniman Magelang merasa memiliki kedekatan dengan sang penyair besar Indonesia itu.
Baik secara individu, membaca bersama, maupun penyajian musik puisi, sekitar 25 penyair senior maupun junior di daerah itu, dikurasi secara bergilir oleh pembawa acara Danu "Sang Bintang" Wiratmoko untuk membacakan karya-karya Rendra. Budayawan Magelang Sutanto Mendut menyampaikan pidato kebudayaan, sedangkan penyair Dudy Anggawi testimoni tentang Rendra pada penghujung acara.
Sebelum membacakan puisi "Serenda Merjan", penyair Magelang Haris Kertorahardjo (Lie Thian Hauw) menceritakan bahwa semasa hidup, Renda yang penyair, aktor, sutradara teater, dan dramawan itu, sering ke berbagai tempat di daerah tersebut untuk menghadiri agenda seni budaya, termasuk beberapa kali mengikuti Festival Lima Gunung yang diselenggarakan seniman petani Komunitas Lima Gunung.
Melalui "Tribute to Rendra", para penyair Magelang mengenangnya dalam rangka hari lahir Rendra. Meskipun demikian, acara itu sekaligus juga bagaikan menarik pemaknaan untuk peringatan Hari Pahlawan yang jatuh setiap 10 November, melalui puisi-puisi karya sang penyair. Pemerintah menghadirkan tema Hari Pahlawan tahun ini, yaitu "Teladani Pahlawanmu, Cintai Negerimu”.
Acara "Tribute to Rendra" digarap para penyair dan seniman Kota Magelang itu juga ditayangkan secara langsung melalui kanal Youtube "ARVI Multimedia" yang dikelola pegiat seni di daerah setempat, Freddy "Uwek" Sudiono.
Bertepatan dengan hari lahir Rendra, Kamis (7/11), di Studio Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang dikelola budayawan Sutanto Mendut, dipamerkan arsip "Perjalanan Rendra Bersama Lima Gunung".
Tanto Mendut, perintis lahirnya Komunitas Lima Gunung lebih dari dua dasawarsa lalu itu, memiliki kedekatan khusus dengan Rendra, termasuk pernah melakukan perjalanan kebudayaan ke beberapa negara di Eropa, bersama sang penyair berjuluk "Si Burung Merak" karena gaya penampilan di panggung itu.
Dari berbagai puisi Rendra yang mereka suguhkan, setidaknya disebut Danu yang juga pemerhati seni budaya Magelang itu, ada tiga kumpulan langgam karya sastra, yakni puisi cinta, balada, dan perjuangan atau perlawanan.
Oleh Hudi DW yang dalam acara itu membacakan puisi "Paman Doblang", karya-karya legenda penyair Indonesia itu, disebut membawa pesan kuat kepahlawanan tentang cinta Tanah Air, lingkungan alam, keagungan semesta dan spiritualitas, kemuliaan kemanusiaan dan solidaritas, serta perjuangan menghadapi ketidakadilan.
Barisan kalimat pamungkas puisi karya Rendra itu, saat dipenjara pada era Orde Baru, yang melekat di benak publik hingga saat ini, "Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata". Kalimat bernas itu bagai api penyulut semangat setiap insan menjalani perjuangan di berbagai medan persoalan, hingga terlahir nilai dan makna kepahlawanan.
Puisi "Gerilya" yang dibacakan penyair senior Magelang Es Wibowo, bukan soal semata-mata tentang kisah heroik peperangan dilakoni oleh sosok pejuang kemerdekaan dalam melawan penjajah.
Namun, puisi tersebut rupanya tentang sisi kuat yang menyentuh nurani kemanusiaan, ketika sosok pahlawan gerilya gugur karena ditembak serdadu Belanda saat hendak mengubur ibunya.
Kesadaran atas pentingnya nilai kepahlawanan pendidikan dihadirkan penyair Wicahyanti, Keenan, Sheril, dan Tutik dari komunitas "Rumah Literasi Aruna", melalui pembacaan bersama-sama puisi berjudul "Sajak Seonggok Jagung".
Karya sang penyair pada 1975 tentang kesenjangan dunia pendidikan dan realitas kehidupan itu, dianggap komunitas tersebut masih relevan menyulut api kepahlawanan pada era kekinian, untuk menghadirkan jagat pendidikan Indonesia yang semakin kuat berkualitas dan relevan menghadapi tantangan perkembangan zaman.
Acara "Tribute to Rendra" oleh para penyair Magelang tersebut, terkesan jelas tak hendak meminta pemerintah memberikan sang penyair besar itu gelar pahlawan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Meskipun kriteria untuk ihwal itu bisa saja disematkan kepada Rendra pada masa mendatang, setelah diuji melalui kajian lengkap, mendalam, dan komprehensif, serta proses prosedural yang sahih.
Faedah perhelatan seni dan budaya sekitar empat jam yang memaku penonton dilingkupi aura hening menyimak karya demi karya Rendra itu, selayaknya menggali pemaknaan baru atas nilai kepahlawanan melalui jalur sastra.
Oleh budayawan Sutanto Mendut agenda malam itu diberi tetenger "Di angkringan, lahir sastra pahlawan Indonesia" untuk menjadikan puisi dan sastra sebagai karya pergulatan sosok penyair menghadapi tantangan zaman dan perjuangan untuk kebaikan masa depan bangsa dan negara.
Kemerdekaan Indonesia sebagaimana ditegaskan Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul), bukan hadiah dari penjajah kepada bangsa besar ini. Akan tetapi, hasil perjuangan para pahlawan secara tulus demi menghadirkan kemerdekaan itu untuk persembahan luhur kepada penerus bangsa.
Oleh karena itu, setiap generasi juga semestinya meneladani para pahlawan dengan melakoni perjuangan guna melahirkan pahlawan-pahlawan baru dari zamannya, untuk selanjutnya menjadi warisan keteladanan kepada masa depan bangsa.
Kesadaran terhadap pentingnya pewarisan nilai-nilai kepahlawan, bisa dihadirkan siapa saja kalangan pecinta negeri ini, pada era kekinian dalam berbagai pengemasan menarik dan mengena, termasuk melalui ajang sastra di warung angkringan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Di angkringan Gunung Tidar lahir kepahlawanan sastra