Magelang (ANTARA) - Istana telah mengumumkan tambahan lima tokoh untuk bermahkota Pahlawan Nasional bagi negeri Nusantara ini, menjelang tibanya peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2022.
Setelah Presiden Joko Widodo berdiskusi dengan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (3/11), kemudian memutuskan tentang mereka yang tahun ini beroleh gelar tersebut.
Mereka yang tahun ini memperoleh gelar Pahlawan Nasional tersebut, adalah Dr. dr. H.R. Soeharto (Jawa Tengah), K.G.P.A.A. Paku Alam VIII (Daerah Istimewa Yogyakarta), dr. Raden Rubini Natawisastra (Kalimantan Barat), H. Salahuddin bin Talibuddin (Maluku Utara), dan K.H. Ahmad Sanusi (Jawa Barat).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Mahfud MD mengumumkan keputusan yang telah diambil Istana berdasarkan ketentuan, kajian, dan proses usulan dari masyarakat secara berjenjang hingga tingkat pusat melalui Kementerian Sosial, untuk kemudian diseleksi.
Pengkajian itu juga berdasarkan nilai-nilai kepahlawanan dari setiap tokoh, sehingga mahkota tersebut memang layak mereka sandang. Nilai-nilai itu diharapkan untuk selanjutnya menjadi teladan, inspirasi, dan menjiwai kehidupan generasi penerus negeri kepulauan bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Presiden Jokowi dijadwalkan memimpin upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional tersebut di Istana Negara Jakarta pada Senin (7/11). Oleh karena itu, perwakilan terkait dari daerah asal para tokoh diminta segera menyiapkan diri untuk hadir dalam upacara tersebut di Ibu Kota. Pihak daerah juga bisa melakukan berbagai upacara penyambutan terkait dengan pemberian anugerah itu.
Berdasarkan penelusuran, tradisi pemerintah memberikan gelar resmi kenegaraan terhadap seorang tokoh menjadi pahlawan dimulai pada 1958. Hingga tahun ini, setidaknya 200 tokoh bangsa ini dengan berbagai latar belakang kehidupan dan daerah-daerah telah memperoleh gelar pahlawan dari negara.
Ada sejumlah perkembangan sebutan pahlawan untuk mereka, yakni pada 1958 sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, mulai pertengahan 1960-an diubah menjadi Pahlawan Nasional. Gelar khusus terkait dengan Gerakan 30 September 1965 diberikan kepada 10 korban peristiwa itu bernama Pahlawan Revolusi, sedangkan Soekarno dan Mohammad Hatta, pada 2012 memperoleh gelar Pahlawan Proklamator.
Oleh setiap pemerintah daerah, nama-nama mereka dipampang, antara lain sebagai nama jalan, gedung, lapangan, atau diwujudkan dalam monumen dan karya patung. Demikian pula bukti jejak dan peninggalan mereka di berbagai tempat dan daerah diselamatkan untuk dilestarikan menjadi koleksi museum.
Tidak semua pahlawan tersebut dikebumikan di taman makam pahlawan, akan tetapi ada yang di pemakaman khusus. Ada juga yang makam mereka tidak di Tanah Air, tetapi di sejumlah tempat di luar negeri. Namun, ada juga beberapa pahlawan yang disebut makamnya sebagai misterius atau tidak ditemukan jasadnya.
Riset makin mendalam dan kian banyak tentang mereka pun membuktikan sosoknya yang inspiratif, menjadi buku ilmiah dan populer, atau karya jurnalistik yang menarik dan catatan dokumenter lainnya. Kehadirannya secara kekinian sosok-sosok mereka juga bisa muncul dalam berbagai karya sastra, lukisan, teater, performa tari dan sendratari, atau film.
Dengan setiap tahun negara memberikan anugerah Pahlawan Nasional, tentu saja akan semakin banyak sosok resmi pahlawan dihadirkan negara untuk menyuburkan keteladanan kepribadian generasi penerus dalam berbangsa, bernegara, bermasyarakat pada masa-masa mendatang.
Sosok Pahlawan Nasional juga cermin kekuatan dan ketangguhan bangsa ini dalam menghadapi tantangan zaman. Namun, jasa-jasa dan perjuangan masa lalu mereka juga suatu pelajaran moral teramat penting bagi mereka-mereka yang telah melakukan kejahatan dan perbuatan tercela, mencoreng wajah negeri sendiri.
Setiap generasi bangsa akan menjalani tradisi menelusuri sosok-sosok teladan kepahlawanan tersebut karena kemanfaatan terkait dengan kesadaran bela negara, jiwa patriotik, wawasan nusantara, dan kebangsaan. Tokoh pahlawan memberikan inspirasi yang menarik, monumental, dan menjadi penuntun penting atas perjalanan Indonesia ke depan.
Kesadaran sejarah menjadi salah satu poin penting digenggam generasi bangsa karena ilmu tersebut, baik direguk melalui bangku pendidikan formal maupun nonformal, berperanan sebagai pisau tajam untuk membedah khasanah kesejarahan para tokoh, yang selanjutnya oleh negara pantas diputuskan memperoleh mahkota Pahlawan Nasional.
Belum lagi dalam kaitannya dengan era pascamodern, yang kiranya ditandai cairnya nasionalisme negara bangsa serta kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang menembus sekat-sekat paradigma lama geopolitik, menjadikan kehadiran pahlawan tak hanya sebatas dari negerinya.
Dunia semakin terbuka dengan globalisasi membuat setiap warga dunia bisa ditebari kisah-kisah kepahlawanan dari tempat di luar tanah airnya. Terlebih untuk sosok teladan kemanusiaan dan perdamaian yang memang bernilai universal, era kesejagatan menawarkan wajah kepahlawanan tersendiri.
Kehadiran para sosok kepahlawanan dalam metaverse yang dihadirkan dunia teknologi informatika, misalnya atau justru warisan kecerdasan nenek moyang bangsa ini dalam epos Mahabarata atau Ramayana, tetap saja memberikan tawaran tersendiri tentang pelajaran keteladanan kepahlawanan itu.
Demikian pula dengan karya-karya sastra kontemporer yang antara lain menghadirkan tentang nilai kepahlawanan sebagaimana novel "Anak Bajang Mengayun Bulan" (Sindhunata) dan "Kidung Anjampiani" (Bre Redana).
Belum lagi dalam lingkup pribadi per pribadi, secara natural tentu berkebebasan menyerap nilai-nilai kepahlawanan itu dari orang perorangan di dekatnya, orang tua, guru, pemuka agama, atau tokoh lokal.
Nilai-nilai kepahlawanan yang personal mereka pun mengambil peran signifikan dalam menyuburkan jalan hidup untuk seseorang meraih masa depannya menjadi lebih baik di tengah masyarakat Indonesia yang plural.
Era keterbukaan memang makin disadari bukan untuk dibendung. Dunia baru yang makin terbuka tentu untuk disikapi dengan terbuka pula menjadi kebijakan beradaptasi. Kebijakan beradaptasi dalam dunia global itu tentu saja salah satunya bisa berfondasi kesadaran terhadap nilai-nilai Pahlawan Nasional.
Bahkan, keteladanan para Pahlawan Nasional berpeluang menjadi kekuatan Indonesia mewarnai wajah dunia global, dengan menggaungkan jejak-jejak historis dan memperkaya kajian tentangnya, sehingga kian mendalam nilai kepahlawan yang bisa menjadi inspirasi dunia.
Dengan negeri ini makin merebakkan taburan kehadiran Pahlawan Nasional, kiranya Indonesia menghadirkan pula banyak investasiya bagi wajah peradaban dunia global.